oleh: Maria Widjaja
Judul | : | Phi |
Penulis | : | Pringadi Abdi Surya |
Penerbit | : | Shira Media |
Cetakan | : | Cetakan Pertama, September 2018 |
Tebal | : | 368 halaman; 13x19cm |
ISBN | : | 978-602-6657-88-6 |
“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” – Soe Hok Gie
Saya tak pernah tahu apakah Phi merasa beruntung ada di dunia ini.
Ketika bayi, ia dibuang oleh orang tua biologisnya. Kemudian, sepasang suami istri yang baru saja kehilangan anak kandung menemukan bayi Phi dan lantas mengangkatnya sebagai anak. Mereka kemudian menganggap pertemuan itu adalah takdir. Maka dari itu, sang suami menberinya nama Phi. Phi berarti rasio emas. Berdasarkan rasio tersebut, semua hal di dunia ini sudah ada aturannya, rasio bakunya. “Kita bertemu itu sudah diatur Tuhan. Takdirmu adalah menjadi anak kami. Tuhan mengirimkanmu untuk menghapus kesedihan kami. …Tapi jangan kautanya aku, golden ratio itu bagaimana menghitungnya. Aku tah paham (hlm. 37),” ujar sang suami, ayah angkat Phi.
Yang juga tidak dipahami sang ayah adalah dampak dari ucapannya tersebut. Kebenaran yang ia sampaikan itu membentuk lapisan baru dalam benak Phi. Kesadaran bahwa kehadiran Phi tak pernah diinginkan. Jika selama ini orang tua angkat tersebut selalu merawat dan mencukupi kebutuhan Phi, semua itu hanyalah pengalihan dari cinta pasturi tersebut kepada Nani, bayi mereka yang meninggal sesaat setelah dilahirkan.
Bagi Phi, cinta orang tua angkatnya adalah cinta yang substitutif.
Kesadaran baru itu memang bisa Phi kesampingkan dengan memikirkan banyak hal, tetapi tak akan pernah hilang. Sepanjang perjalanan menuju kedewasaan, Phi selalu dikelilingi perasaan resah. Apakah cinta sungguh-sungguh akan ada untuknya?
Bahkan, ketika Phi SMA, ia merasa bahwa cinta kekasihnya adalah cinta yang pragmatis. Apalagi, saat sang pacar mengancam untuk memutuskan hubungan mereka lantaran Phi menolak untuk memberikan sontekan.
Namun, saat Zane memasuki kehidupan Phi, sesuatu berubah.
Zane adalah seorang mahasiswi fisika. Namanya mengingatkan Phi pada lambang unsur seng, Zn. Seng merupakan zat mineral yang esensial bagi tubuh manusia. Dampak dari kekurangan zat seng pada manusia sama seperti akibat ketidakhadiran Zane dalam keseharian Phi.
Tanpa Zane, Phi tak mampu berfungsi. Jangan tanya mengapa. Bagi Phi, cinta tak pernah butuh rasio. Belum ada rumus fisika yang menjelaskan kenapa seseorang dapat jatuh cinta, merasakan kedekatan yang luar biasa sejak kali pertama berjumpa. Tidak perlu menunggu delapan koma dua detik untuk membuat semuanya terjadi – atau lebih lama dari itu (hlm. 185).
Zane tak perlu penjelasan apa pun untuk menyadarkan Phi bahwa cinta itu ada. Bahkan, cinta pantas diperjuangkan melampaui batas ruang dan waktu. Tanpa peduli seberapa jauh masa lalu, Phi tetap kembali untuk mencintainya lagi dan lagi.
Phi dan Pringadi
Kisah Phi memang tidak bisa begitu saja dilepaskan dari sosok penulisnya, Pringadi Abdi Surya (Mas Pring). Kehadiran Mas Pring begitu santer di setiap lembar cerita. Hal ini paling nyata terlihat dari tanggal lahir Phi yang sama persis dengan tanggal lahir Mas Pring, 18 Agustus 1988.
Novel ini memang terinspirasi dari pengalaman pribadi penulis. Jadi, tak heran jika (seperti dalam kumpulan cerita Mas Pring yang pernah saya sebelumnya, Hari Yang Sempurna untuk Tidak Berpikir), pembaca kerap disuguhkan teori-teori sains, matematika, sejarah, dan filsafat pada adegan-adegan cerita. Semua itu tak lain adalah referensi pengetahuan penulis sendiri.
Untungnya, Mas Pring begitu cerkas menempatkan muatan pengetahuan tersebut dalam gerbong cerita. Informasi tersebut tak menjadi sekadar tempelan. Pembukaan pada bab dua adalah salah satu contohnya. Mas Pring membuka bab ini dengan adegan proses mengajar di kelas. Teori Mendel disisipkan. Tujuan dari adegan ini adalah mengkritik sistem pengajaran saat itu yang hanya satu arah. Para guru hanya membaca langsung dari diktat dan murid-murid mencatat. Saat Phi, seorang murid, mengajukan pertanyaan atau mengoreksi pernyataan seorang guru, sang guru malah kesal dan menyuruhnya menghadap guru BK di mana ia mendapat wejangan berikut.
“Seorang murid harus selalu patuh kepada gurunya. Kau, sekali pun, tidak boleh menentang gurumu. Itu kurang ajar!” bentaknya.
“Termasuk jika cara mengajarnya membosankan dan tidak ada hal baru yang bisa saya ketahui darinya?” Aku tersenyum simpul.
“Besok panggil orang tuamu ke sini! (hlm. 32)”
Orang-orang memang sering menilai segala sesuatu dari usia dan pengalaman. Dan apalah aku jika dipandang dari kedua sisi itu (Hal 33)
Bagian ini membuat saya teringat desaparecidos dan beredel yang marak terjadi terhadap oknum yang dianggap kritis terhadap pemerintahan. Untuk mencegah merebaknya bibit-bibit yang kelak akan mengusik kekuasaan pemerintah, pembodohan massal sudah dilakukan semenjak bangku sekolah. Melawan pihak penguasa (dalam hal ini guru dan orang yang lebih tua), dianggap tabu.
Jembatan antara Sastra, Sejarah, dan Generasi Muda
Ketika membaca novel ini, saya juga jadi teringat akan pernyataan Budi Darma dalam acara Menjadi Manusia dengan Sastra. Menurut Budi Darma, sastra mampu membuka cakrawala pikiran para pembaca dan membuat mereka menjadi dewasa dengan lebih cepat lantaransastra banyak memasuki wilayah humanisme suatu kejadian.
Sayangnya generasi muda saat ini masih sangat berjarak dari sastra, ungkap Seno Gumira Ajidarma pada acara yang sama. Alasannya ada pada mitos tentang karya sastra itu sendiri. Salah satu mitos tersebut adalah bahasanya yang rumit dan mendayu-dayu. “Selama sastra masih belum bisa beranjak dari mitos tersebut, sastra akan sulit diperkenalkan kepada generasi muda,” papar Seno.
Phi bisa menjadi jembatan yang menghubungkan sastra dengan generasi muda. Diceritakan dari sudut pandang generasi milenial sekaligus alumni fakultas MIPA, kisah cinta Phi diceritakan dengan bahasa yang lugas. Tanpa diksi yang rumit ataupun penjelasan yang mendayu-dayu. Bahkan, ketika Mas Pring membangun adegan ketika Phi tengah cemburu melihat Zane bersama laki-laki lain. Mas Pring malah menghubungkan kecemburuan Phi dengan salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Indonesia.
“Komunis sering disalah artikan oleh oknum-oknum yang hendak memecah belah bangsa ini, Phi.”
“Maksudmu, Thom?”
“Iya, komunis selalu diidentikkan dengan ateis, tidak punya Tuhan, antiagama. Tapi bukan itu artinya. Komunis, secara etimologis adalah common, artinya umum, communal artinya bersama – mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan golongan. … Hanya tragedi 65 yang membuat kesalahpahaman itu. Ada banyak cerita anti-Tuhan yang disebarkan. Ini untuk mengadu domba kelompok agama dengan komunis (hlm. 157).”
Saya tersentak. Bukankah siasat adu domba masih sering mewarnai negeri ini?
Saat ini, permusuhan daring di antara netizen kerap terjadi hanya kaena satu hal. Perbedaan kepercayaan terhadap suatu peristiwa. Pasalnya, banyak dari warganet membaca demi mencari kata kunci untuk menebar rasa benci ataupun mencari pembenaran atas pandangan mereka sendiri. Pembenaran. Bukan kebenaran. Permusuhan terhadap mereka yang tak sependapat pun pada akhirnya menjadi tak terhindarkan. Fenomena otoritas yang absolut seperti UU ITE dan perang saudara yang kerap berujung pada persekusi pun akhirnya merebak di mana-mana saat ini.
Wahai warganet dan anak muda di seluruh penjuru Tanah Air, bacalah buku ini untuk mempelajari sejarah negeri dengan cara yang menyenangkan. Belajarlah dari paristiwa lampau itu agar sejarah kelam negeri ini tidak berulang. Mengapa? Karena di dalam dunia nyata kita tak bisa seperti Phi yang bisa pergi ke masa lalu dan mengubah sejarah hidup. Kita, sebagai sebuah bangsa, hanya bisa belajar dari masa lalu dan melakukan perubahan demi masa depan yang lebih baik. Menjadi dewasa dan membangun masa depan bersama-sama.
Jika tidak, kita akan seterusnya terperangkap dalam masa silam. Seperti Phi yang terus hidup dalam lingkaran masa lalu. Memperalat waktu demi cinta yang belum tentu ditakdirkan untuk bersatu.
Sampai kapankah kau akan terus bermain-main dengan waktu untuk mengubah peruntunganmu, Phi? Apakah kau sudah merasa lebih beruntung dari pada kami?
***
Jakarta, November 2018 – Februari 2019
Tentang Pringadi Abdi Surya:
Lahir di Palembang pada 18 Agustus 1988, ia adalah Duta Bahasa Sumatera Selatan 2009. Pringadi juga menjadi salah satu emerging writer di Makassar International Writers Festival 2014 dan salah satu penulis terpilih dalam ASEAN-Japan Residency Program di ASEAN Literary Festival 2016. Sekarang, Pringadi bertugas di kantor pusat Ditjen Perbendaharaan, Kementrian Keuangan. Hobinya jalan-jalan. Foto jalan-jalanya ada di akun Instagram @pringadisurya. Sedangkan catatan pribadinya, bisa dilihat di http://catatanpringadi.com/