Orang Miskin Jangan Mati di Kampung ini adalah buku terakhir yang saya beli sebelum dirumahkan akibat pandemi Covid-19 ini. Tadinya, saya pikir buku itu tak jadi dikirimkan karena alamat pertama yang saya tulis asalah alamat kantor. Namun, sang penulis, yang merupakan rekan saya di Kementerian Keuangan, meski beda Eselon I, Riza Almanfaluthi, berkenan mengirimkannya ke alamat rumah.
Saya menyebut buku ini sebagai kumpulan hikmah. Peristiwa sehari-hari yang dialami oleh Mas Riza, ternyata menyimpan banyak hikmah yang luar biasa. Konklusi hikmah yang disampaikan Mas Riza kebanyakan saya sepakati dan membuat saya banyak bersyukur sekaligus mengingatkan saya untuk banyak beristighfar.
Buku ini dibagi 3 bagian yakni Spirit, Kulasentana, dan Nuraga. Spirit berarti semangat. Kulasentana berarti sanak keluarga. Nuraga berarti simpati atau berbagi rasa.
Saya pribadi sangat menyukai kisah-kisah Spirit yang Mas Riza tulis. Kisah pertama yang berjudul “Karena Gengsi dan Kehormatan” justru adalah kisah yang tidak saya sepakati tafsirnya.
Di kisah ini, Mas Riza memulai tulisan dengan membandingkan tingkat kebahagiaan antara Cile dan Honduras. Mana yang lebih bahagia antara orang miskin di Cile atau orang miskin di Honduras? Ternyata indeks kebahagiaan orang miskin Cile yang perekonomiannya lebih bagus kalah dengan orang miskin di Honduras. Sebabnya, kesenjangan sosial justru terjadi di negara yang perekonomiannya bagus. Hal ini menyebabkan orang miskin frustrasi karena jarak sosial antara si kaya dan si miskin sangat jauh. Beda dengan di Honduras, jarak antara miskin dan kaya tidak jauh-jauh amat.
Pada titik ini, keadaan tersebut telak menjadi kritik bagi pertumbuhan ekonomi yang selalu digadang-gadang menjadi ukuran kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi (juga banyak diulas oleh ekonom alternatif) adalah ekonomi kanibalistik yang tidak bisa secara jujur menampakkan situasi sebenarnya dari masyarakat. Pertumbuhan ekonomi justru memfasilitasi orang kaya makin kaya dan orang miskin tetap dalam kemiskinannya.
Ketika fenomena itu dijadikan analogi untuk kebahagiaan yang lain, dalam hal ini soal prestasi akademis, di situlah aku tidak sepakat. Mas Riza melanjutkan pengandaiannya dengan seorang anak pintar yang bersekolah di tempat bagus adalah ikan kecil di kolam besar, dan seorang anak pintar yang sekolah di tempat biasa saja adalah ikan besar di kolam kecil.
Lantas apa bedanya dengan katak dalam tempurung?
Sikap terhadap ilmu pengetahuan adalah “lex specialis”. Kebahagiaan sejati dalam ilmu adalah ketika kita mengejar ilmu itu. Usaha untuk mengetahui adalah kebahagiaan itu. Tidak peduli bagaimana perjuangannya.
Kutukan ilmu pengetahuan adalah ketika kita membedakan sifat. Sebab, semua orang sama di hadapan ilmu pengetahuan. Tidak ada ikan kecil. Tidak ada ikan besar. Semua orang harus memiliki kerendahan hati untuk belajar.
Saya jadi ingin bercerita sedikit. Saya pernah dalam usaha mengejar hal yang saya sukai betul. Matematika. Saya ikut perlombaan dan bertemu orang-orang yang lebih pintar dari saya (karena saya dikalahkan). Namun, itu tidak membuat saya stress karena saya tahu yang membuat saya bahagia adalah ilmu pengetahuan itu.
Termasuk ketika akhirnya saya lulus SMA dan masuk Matematika ITB. Meminjam istilah Mas Riza, saya menjadi ikan kecil di kolam besar.
Namun, saya akhirnya paham setelah akhirnya saya kena drop out, kesalahan terbesar saya justru karena saya menganggap diri saya ikan besar sehingga saya lengah, bersantai, tidak melakukan usaha sebagaimana mestinya. Saya pintar tetapi saya malas. Bukan karena ada banyak ikan besar lain di sekitar saya. Justru keberadaan para pemenang olimpiade itu membuat saya bahagia.
Ya, saya bahagia mengenal orang-orang hebat di sekitar saya. Bahkan sampai sekarang banyak teman seangkatan saya di Matematika ITB 2005 yang sukses. Salah satunya Pamitra Eka, yang mendirikan Tanihub.
Analogi Monet bukanlah tentang menghindari kolam besar itu. Monet adalah tentang spesialisasi. Kesadaran untuk memilih jalan.
Ketiga hal tersebut (kemiskinan, ilmu pengetahuan, spesialisasi) memiliki konteks yang berbeda yang tidak bisa menjadi analogi.
Tulisan yang paling saya sukai berjudul Mel. Terima kasih sudah mengingatkan kembali arti Mel. Hehe.
Penggambaran tukang asongan yang mengakali kereta agar berhenti sebelum masuk stasiun itu epik banget. Apalagi di tulisan yang lain, Mas Riza menegaskan ia menjadi saksi hidup dan mengalami sendiri kejadian itu.
Buat saya itu adalah pengalaman yang sangat menarik. Sesuatu berbau kereta selalu menarik karena saya berasal dari kampung yang tidak ada jalur kereta apinya.
Cerita-cerita lain dengan latar kereta juga tak kalah menariknya. Misalnya tentang kereta di jalur tiga. Saya jadi ingat dulu teman saya, Mas Khrisna Pabichara selalu bilang ada kereta cepat yang berangkat dari Gambir ke Bojonggede. Ternyata kereta itu diceritakan kembali oleh Mas Riza.
Saya juga suka cerita tentang kehilangan tas. Percaya atau tidak, membaca tulisan itu, saya otomatis beristighfar. Apalagi dalam kondisi serbapanik di tengah pandemi. Terima kasih sudah mengingatkan saya untuk beristighfar.
Saya pun jadi teringat saat-saat saya kehilangan. Pernah saya kehilangan STNK saat habis ke Masjid Agung di Alun-alun Kota Bandung. Sesampainya di rumah rasanya galau. Tahunya nggak lama kemudian ada orang mengantarkan STNK tersebut.
Saya mengagumi keluasaan pengetahuan Mas Riza dan saya serasa melihat sosok Dahlan Iskan dalam gaya yang berbeda saat membaca tulisan Mas Riza.
Di dalam hati, saya bermimpi punya keteguhan seperti manusia pembabat gunung dari India. Suatu hari saya ingin menulis kisah pengalaman seperti yang Mas Riza tulis. Kira-kira bisa nggak ya?
3 Comments