Buku Anger Management itu sampai di mejaku. Akhir-akhir ini aku bermasalah dengan amarah. Lingkunganku sebelumnya, membuatku punya atasan yang dalam sejam punya 20.000 kata khusus untuk memarahi bawahannya. Mau tidak mau, energi negatif itu menular ke aku. Apalagi kondisinya melelahkan setiap pulang-pergi, naik KRL yang begitu padat, dan kadang-kadang ada orang yang miskin empati, berdiri tanpa pegangan, menyender, sambil main HP.
Aku pun harus setuju dengan isi buku ini, soal ransel emosi. Ransel emosi dari 3 dimensi waktu. Paling banyak ternyata bukan soal masa sekarang, apalagi masa depan. Melainkan masa lalu. Ada banyak hal yang kupaki di dalam ransel emosiku dari masa laluku.
Sejumlah kesalahan. Sejumlah kemarahan. Butuh waktu untuk memaafkan diri sendiri.
Buku ini sebenarnya mengajarkan aku mengatur amarah dalam posisiku sebagai orang tua. Di dalam buku ini aku belajar, setidaknya ada 2 fenomena yang berperan pada timbunan frustrasi dan luka emosi, yang kerap terjadi pada anak-anak, yang kemudian akan terus dibawa hingga dewasa.
Pertama, pengasuhan dan pendidikan yang berfokus pada pengasahan kognisi, bukan pengasahan emosional juga spiritual. Di sini aku bagai ditampar. Beberapa waktu lalu, aku memarahi anakku karena tidak bisa perkalian. Aku terlalu memandangnya seperti aku memandang diriku sendiri, yang jagoan dalam matematika. Ia memang anakku, tapi mungkin ia tidak sama denganku. Aku tidak boleh memaksanya menjadi sama denganku. Maafkan Ayah, Nak…
Kedua, pendidikan yang berorientasi pada standardisasi, bukan berbasis pada keunikan individu.
Salah Jurusan Bikin Emosi
Ada fakta yang mengejutkan di buku ini. Menurut Educational Psychologist dari Intergrity Development Flexibility (IDF) Irene Guntur, sebanyak 87% mahasiswa di Indonesia salah jurusan. Salah jurusan ini membuat multiplier frustrasi. Frustrasi saat kuliah. Frustrasi saat bekerja.
Aku nggak tahu aku salah jurusan atau nggak. Namun, kasusku boleh jadi unik.
Sejak kecil, prestasi akademikku terbilang cemerlang. Aku selalu masuk 5 besar. Dari semua mata pelajaran, aku dianggap paling jago di Matematika. Kemampuan menghitungku sangat cepat dan akurat. Karena itu aku maju mewakili SD-ku di lomba Matematika dan menang hingga tingkat Kabupaten. Untuk mata pelajaran umum pun aku ikut cerdas cermat sampai semi final se-provinsi.
Hal itu menjadi stempel. Pring, anak Matematika. Sampai kuliah pun aku memilih Matematika ITB. Namun, akhirnya gagal dan ya beralih ke Akuntansi STAN.
Aku sama sekali nggak punya latar belakang akuntansi, nggak mengerti dan nggak peduli. Nilai lulusku di mata kuliah akuntansi ya pas-pasan.
Namun selama di STAN aku menemukan dan mengembangkan passionku di bidang kepenulisan. Di situ aku berpikir, kuliah itu bukan berarti hanya soal belajar formal soal mata kuliah terkait, tetapi belajar mengenali dirimu.
Frasa “Salah Jurusan” buatku kurang tepat. Mengenali diri yang utama, dan memang lebih baik jika sudah diketahui sejak awal bahwa kuliah dan pekerjaan yang diambil sesuai passion. Namun, aku pikir seorang anak agak sulit menentukan passion yang benar-benar tepat untuk dirinya. Buktinya aku, yang dari kecil sudah bergelut di Matematika, tetap gagal di Matematika ITB.
Luka Membawa Makna
Kemarin aku menonton video Deddy Corbuzer dengan Uus. Ada satu kalimat mencengangkan ketika Uus membahas soal bullying. Katanya, “Berhentilah berpura-pura kalau kita tidak punya luka.”
Di buku ini pun ada kata mutiara tentang luka.
Setiap luka membuat kita semakin tangguh dan dewasa. Semakin mudah kita menerima setiap luka menjadi penuh makna dan membuat kita semakin bertakwa pada Maha Pencipta.
Aku setuju banget dengan kutipan itu.
Apakah dengan Tuntasnya Ragam Amrah Kita Lantas Jadi Bahagia?
Ada 4 cara agar kita bahagia dan baik-baik saja:
- Mental Switch dari Illness menjadi Wellness
- Kekuatan doa
- Kekuatan memaafkan
- Misi dan Kekuatan diri dengan Talents Mapping
Aku fokus pada poin ke-3. Kekuatan memaafkan. Aku bisa mudah memaafkan orang lain, tapi aku sulit memaafkan diriku sendiri. Ah penulis buku, mungkin bisa mengajari aku. 😀
Judul Buku : Anger Management, The Life Skill
Penulis : Dandi Birdy & Diah Mahmudah