Review Buku Alexandra Andrews: Who Is Maud Dixon? Novel Misteri Terbaik Tahun 2021 Versi The New York Times

Rekayasa Imajinasi ala Maud Dixon

Oleh Benny Arnas

Florence yang baru didepak dari penerbit tempatnya bekerja karena skandal dengan petinggi perusahaan, bagai dihadiahi keajaiban ketika penerbit terkemuka menawarinya pekerjaan yang ia sebut “kejutan terbaik sepanjang hidup”: menjadi asisten Maud Dixon, penulis yang paling dibincangkan di Amerika karena pertanyaan “Bagaimana bisa novel anonim bertajuk Missisippi Foxtrot mencuri perhatian publik di Amerika?”

Maud Dixon ternyata seorang gadis bernama Helen Wellcox dengan perawakan dan ciri fisik yang mirip dengan Florence. Kepribadiannya yang tak bisa ditebak, alih-alih membuat Florence repot, tapi makin bersemangat. Ia percaya, genius selalu punya cara tak pasaran untuk mengekspresikan diri.

Florence kerap menemani Helen ngopi, ngewine, dan sarapan atau makan malam. Tentu saja percakapan lintas topik pun mengembara ke sana-kemari. Sayangnya, pertanyaan Florence tentang kadar fiksi dalam Missisippi Foxtrot tak pernah dijawab Helen dengan meyakinkan. Florence juga percaya bahwa ia adalah penulis berbakat. Semua asisten penulis atau asisten editor, pada dasarnya, tak mencintai pekerjaan mereka sebab mereka selalu menunggu waktu yang pas itu: buku mereka dirilis ke pasaran!Sembari menunggu waktu-yang-pas-itu, mengasisteni penulis nomor satu di Amerika tentu previlege bagi Florence dalam belajar dan berproses. Gayung bersambut, Helen menyerahkan draf tulisan tangannya untuk diketik oleh Florence. Mulanya, Florence mengalami kesulitan membaca kata atau kalimat tertentu, tapi kata-kata Helen menyelamatkannya: “Isi dengan kata-katamu sendiri saja. Bahkan cerita yang kurang jelas batang tubuhnya, tulis ulang saja!” Begitu kurang lebih ujarannya.

Di bawah relasi kuasa, Florence menuruti saja apa yang Helen perintahkan. Lagi pula, ia merasa tak ada ruginya, karena Florence memang sudah menulis sebuah draf novel. Ia bahkan banyak menyusupkan kalimat dan narasinya dalam draf Helen, dan Helen tak pernah protes. Hingga momentum itu tiba. Florence yang memang sedang mencari-cari alasan untuk jauh dari ibunya—yang ia anggap sangat drama dan suka mengatur—terbang ke Maroko, menemani Helen untuk melakukan risetnya ke beberapa kota. Riset tentang penulisan kisah terbunuhnya sang asisten penulis di sebuah negara di Afrika!***

Lewat novel debutnya bertajuk Who is Maud Dixon, Alexandra Andrews sejatinya bukan sedang mengolok-ngolok Helen Wellcox, novelis yang justru meragukan kemampuannya menulis fiksi. Novel yang versi terjemahannya dirilis Bentang (2022) itu sebenarnya sedang menembak para (calon) penulis yang kerap membawa-bawa banyak alasan untuk menulis, untuk berkarya!

Ide bagi Wellcox

Kita kerap merasa tak bisa menyelesaikan tulisan (alih-alih menulis bagus!) karena merasa tak kunjung mendapatkan ide cemerlang, seakan-akan ide adalah burung yang terbang jauh di lapisan langit antara perbatasan Bumi dan Saturnus sehingga mustahil dijangkau.

Padahal, kesuksesan Missisippi Foxrot bukanlah murni keberhasilan sebuah ide dari seorang penulis anonim. Ia adalah kesuksesan Helen menuliskan apa yang ia alami dengan sangat baik. Ya, meminjam suara Helen Wellcox, novel misteri terbaik 2021 versi New York Times itu memberikan pernyataan kuat bahwa karya yang baik adalah karya yang tidak tercerabut dari realitas. Semakin berhasil penulis membumikan ceritanya di kepala pembaca, semakin berhasil ia bercerita, baik dalam menggambarkan keseruannya ataupun, secara impilisit, mengetengahkan argumentasi moralnya.

Bagaimana itu bisa dilakukan?

Siasat Helen adalah: menulis apa yang penulis sendiri alami, bukan sibuk mencari-cari ide di luar dirinya.

Strategi Berkarya dan Obsesi

Florence ataupun Helen sebenarnya adalah penulis yang rapuh. Florence mudah tergoda imannya ketika melihat jalan pintas untuk meroket, sementara Helen mengalami krisis kepercayaan diri sebagai penulis fiksi. Florence membutuhkan pesona Maud Dixon untuk menggapai cita-citanya. Dan Helen membutuhkan Florence untuk menjadi model dalam proses kreatifnya. Dalam ranah kreatif, yang mereka berdua lakukan adalah strategi berkarya. Tapi, dalam realitas moral, mereka berdua terperosok dalam perangkap obsesi.

Riset dan Penyuntingan

Menariknya, etos Florence dan Helen untuk menjadi penulis dan berkarya bisa saja menjadi antitesis atas usaha kita dalam mencapai hal serupa. Ya, jamak terjadi: ketika tebersit sebuah ide, kita tak sabar mengeksekusinya. Padahal upaya gila-gilaan Helen dalam riset (hingga harus terbang ke Maroko atau, dalam tataran yang lebih ekstrem, mengorbankan nyawa orang lain untuk menghasilkan energi fiksi yang nyata) adalah wujud kesungguhan itu. Penyiapan cerita adalah urusan fundamental yang kerap diabaikan karena ketaksabaran kita untuk berkarya.

Kita juga bisa melihat kerja penyuntingan-pengembangan (developmental editing [DE]) yang dilakukan Florence terhadap tulisan-tulisan tangan yang sulit terbaca atau kalimat yang menggantung karena ada kata yang hilang. Penyuntingan, khususnya dalam dunia penerbitan di Indonesia pada umumnya, jarang sekali menyentuh wilayah ini. Saking tak akrabnya kita dengan DE, begitu mendengar kata penyuntingan, yang ada dalam benak kita adalah sekadar membereskan saltik.

Berseberangan dengan Florence, kerja kepenulisan Helen dalam novel ini tak patut dicontoh. Bagaimanapun penulis harus menulis drafnya dengan tuntas, baik secara konten ataupun konteks. Menyerahkan draf-belum-selesai kepada asisten atau penyunting, terlepas bagaimana penerimaan publik/pasar nantinya, adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab sebagai kreator.

Rekayasa Imajinasi

Tapi, yang paling menyala dari Who is Maud Dixon? adalah metaforisme (metafora humanisme) alias nilai moral yang diketengahkannya. Bahwa imajinasi bukan hanya harus dipancing, tapi juga bisa direkayasa. Keberhasilan Missisippi Foxtrot adalah buktinya. Helen merekayasa imajinasi dengan menyusupkan tubuh pengalaman empirisnya dalam porsi yang sangat dominan ke dalam karya fiksi. Terlepas pilihan Helan yang sangat ekstrem dan berbahaya, rekayasa imajinasi dilakukan untuk membuat karya fiksi memiliki sepasang tangan yang bisa bersalaman dengan pembaca, mulut yang bisa menjadi teman bicara pembaca, atau telinga yang akan mendengarkan suara hati pembaca tanpa batas waktu, patut dijadikan pembelajaran.***

Menjadi Wellcox yang memberi perhatian lebih pada riset, tak percaya diri pada semesta fiksi hingga melakukan rekayasan imajinasi secara total (baca: membahayakan) atau menjadi sosok pembelajar tulen yang taklid buta pada mentor bukanlah pilihan yang mengasyikkan dalam semesta kisah Maud Dixon. Tah, kita bisa menjadi Dixon dengan sebagai identitas yang direkayasa. Atau menjadi Andrews yang menjadi otak utama karya tersebut (kenapa tidak?). Atau menjadi pembaca yang dapat sepuasnya menikmati dan berkomentar, tapi juga tak bisa berbuat apa-apa ketika diabaikan.(*)

Sumber: Kolom Tajar, Batam Pos, 15-10-2022

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

2 Comments

  1. Jadi penasaran ceritanya 😁. Aku suka cerita2 misteri soalnya. Jadi kalo ada yg mereview Buku A misterinya terbaik, biasanya LGS aku cari 😄. aku bener2 mau tahu apa yg dilakukan Helen utk merekayasa imajinasinya. Apalagi ada ditulis ‘mengorbankan nyawa orang lain utk menghasilkan energi fiksi yg nyata’. 😮

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *