Menjemput Memori Masa Kanak-Kanak, Resensi The Railway Children
Wahid Kurniawan
Judul : The Railway Children (Anak-Anak Kereta Api)
Penulis : E. Nesbit
Penerjemah : Widya Kirana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2020
Tebal : 312 Halaman
ISBN : 978-602-06-3884-3
Ada lelucon menggelitik yang kerap dilontarkan oleh generasi milenial zaman sekarang. Begini bunyinya, “Saat kecil, kita ingin lekas-lekas tumbuh besar. Punya uang, bisa bepergian ke mana-mana, dan menjalin hubungan. Tapi kenyataannya, di usia yang sudah dewasa ini, kita justru ingin menjadi kucing. Tidak perlu kerja, belajar, ataupun bersekolah. Hanya perlu meow-meow saja.”
Baca Dulu: Resensi Novel Eka Kurniawan | Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Kita tentu mahfum, sebab menjadi orang dewasa bukan perkara yang sesederhana bertumbuhnya usia semata. Menjadi dewasa berarti mesti siap dengan pilihan-pilihan, keputusan-keputusan, dan menghadapi sekian permasalahan hidup. Itulah sebabnya, kita kadangkala berpikir, alangkah menyenangkannya bila bisa kembali menjadi kanak-kanak lagi. Itu baru satu pikiran konyol pertama. Di tahap yang lebih absurd, seperti lelucon tadi, kita justru ingin menjadi kucing saja.
Tidak. Itu jelas tidak mungkin terjadi. Kita tidak hidup di semesta Haruki Murakami yang hidup berjalan santai saja dengan hujan ikan sarden, dua matahari yang bersinar, atau sekelompok kucing yang bisa berbicara. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang dipenuhi hukum-hukum sains. Kita bersisian dengan semesta yang realistis. Maka barangkali, alih-alih mengandaikan diri menjadi sesuatu yang sepenuhnya mustahil atau kembali ke masa yang sudah lama lampau, kenapa kita tidak saja membohongi diri dengan memasukkan semesta-semesta itu ke dalam pikiran?
Ya, saya bicara soal kehidupan yang tidak suntuk lagi menyenangkan di dalam buku-buku atau film-film. Diakui atau tidak, buku dan film telah menjadi sarana pelarian yang ajaib dari masa ke masa. Apakah buku-buku berhenti dicetak sebab tidak ada lagi yang membaca? Tidak. Apakah film-film berhenti diproduksi sebab kita tidak lagi mempunyai penonton? Tentu saja tidak. Ya, keduanya tetap eksis sampai sekarang, sebab di samping menjadi sarana hiburan yang cukup dicari, buku dan film telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan umat manusia.
Kemudian, di dalam deretan karya yang senantiasa diperbarui dari waktu ke waktu itu, kita menemukan kotak khusus yang berlabel “Klasik”. Secara khusus, biasanya orang mengidentikkan karya-karya dengan label ini sebagai karya yang tak pernah usang dibaca beragam generasi. Lalu, apa yang membuatnya sedemikian spesial sampai-sampai terkesan tak pernah usang?
Kita bisa mengambil salah satu contohnya. Pada kurun waktu 1905, majalah The London Magazine secara berseri menampilkan sebuah kisah anak-anak yang berjudul “The Railway Children”. Penulis dari kisah ini seorang perempuan, Edith Nesbit namanya. Mendapat sambutan yang antusias, kisah ini diterbitkan sebagai buku utuh satu tahun kemudian. Buku itu pun tak kalah meledaknya. The Railway Children tercatat sebagai salah satu karya paling laku dari Edith Nesbit.
Sebagai buku anak, The Railway Children tentu bukan cerita mahaberat yang membuat kita ingin berujar “Aku tidak mengerti” di bab pertama kisahnya. Buku itu seutuhnya berisi kisah yang sederhana, penuh kehangatan, juga diselipi beberapa petuah hidup. Syahdan, di pojok kota London yang bergerak sibuk pada masa awal-awalnya perang Dunia Pertama, kita dikenalkan dengan sebuah keluarga bersahaja yang tak kekurangan suatu apa pun. Segala hal yang kita bayangkan cukup membuat bahagia ada pada diri keluarga itu: Baju-baju bagus, perapian yang hangat, kamar bermain yang penuh mainan, dan dinding kamar berlapis kertas dinding bergambar tokoh-tokoh dongeng (Hal. 8). Itu pun masih ditambah ibu yang lebih suka menghabiskan waktunya bersama anak-anak alih-alih menggosip dengan tetangga, dan ayah berpenghasilan tetap yang bisa membetulkan apa saja.
Ketiga bersaudara itu, Roberta (kemudian dipanggil Bobbie), Peter, dan Phyllis, berpikir kehidupan mereka akan selamanya seperti itu. Setiap malam, ibunya akan membacakan cerita untuk mereka. Lalu, di kala hari ulang tahun mereka tiba, si ibu akan membacakan puisi paling manis yang pernah diciptakan. Tak lupa, ayah mereka akan memberi hadiah paling spesial yang tak pernah mereka duga. Itulah yang selama ini mereka dapatkan. Itu pula yang mereka pikirkan ketika Peter berulangtahun yang kesepuluh dan ia mendapatkan hadiah mainan Lokomotif kereta.
Baca Juga: Resensi Buku Love Yourself
Sial bagi Peter, sebab belum lama ia mendapatkannya, mainan itu justru rusak. Mendapati mainan anaknya rusak, si ayah—yang dipercaya bisa melakukan segala hal—hendak membetulkanya sesegara mungkin. Namun, pada malam ia akan memperbaiki mainan itu, datang dua orang tamu asing ke rumah mereka. Si ayah lantas dibawa pergi tamu itu. Dan keesokan harinya, keluarga itu mulai mengemasi barang-barang mereka. Kita jelas berpikir bahwa, “Kau akan mengira, mereka seharusnya amat bahagia. Ya, mereka memang bahagia, tapi tidak menyadari betapa bahagianya mereka sampai suatu saat kehidupan yang menyenangkan di Vila Edgecombe itu terpaksa ditinggalkan. Mau tak mau mereka harus menjalani kehidupan yang amat berbeda (Hal. 9).”
Sejak saat itu, mereka kemudian pindah ke sebuah rumah di pedesaan yang asri. Kelak, oleh warga sekitar, rumah itu dikenal dengan Pondok Tiga Cerobong. Di rumah barunya itu, mereka tinggal berempat saja, sementara seorang pembantu diperkejakan hanya di pagi dan sore hari. Dan jelas, kehidupan mereka berubah di banyak hal. Ibu mereka menjadi sosok irit dan tidak lagi menghidangkan makanan yang mewah-mewah. Mereka juga mengirit penggunaan batubara untuk bahan perapian kendati cuaca sedang sangat dingin. Namun, kasih sayang ibu mereka sama sekali tidak berubah. Perempuan itu tetap menjadi sosok yang menyenangkan dan penuh cerita. Dari cerita-cerita itulah nafkah keluarga ia peroleh.
Dikatakan, “Kini, sepanjang hari Ibu sibuk menulis. Ibu sering mengirim amplop-amplop biru panjang yang tebal, berisi cerita-cerita karangannya—dan amplop-amplop besar ukuran dan warna datang silih berganti, untuk Ibu. Kadang-kadang Ibu mendesah kecewa ketika membukanya dan berkata, “Satu cerita dikembalikan untuk dibakar. Sial! Sial!” Kadang-kadang Ibu melambai-lambaikan sebuah amplop dan berkata riang, “Hore! Hore! Inilah editor yang tidak ngawur. Dia bersedia menerima ceritaku, dan ini proof-nya.” (Hal. 57-58)
Selagi si ibu sibuk menulis setiap hari, ketiga bersaudara itu pun mencari kesibukan lain. Hal yang menyenangkan lantas mereka dapati di sekitar rel kereta api dan stasiun. Mereka segera menyadari bahwa melihat lokomotif yang lewat tiap beberapa saat ternyata cukup mengasyikkan. Dari situlah, julukan Anak-Anak Kereta Api atau The Railway Children mulai melekat di dalam diri mereka. Julukan itu pun bukannya tanpa makna, sebab kini hampir separuh hari mereka dihabiskan di sekitar rel kereta api ataupun stasiun. Di kedua tempat itu, mereka mendapatkan petualangan dan pengalaman yang tak ternilai harganya. Di sana, mereka pula mulai banyak mengenal orang-orang yang kelak menjadi sahabat mereka. Dan dari orang-orang itu, mereka kelak mendapat jawaban atas misteri perginya ayah mereka.
Tentu, seperti khasnya tokoh anak-anak di banyak cerita dari pengarang lain, karakter ketiga anak itu menampilkan formula yang tak jauh berbeda. Mereka penuh kepolosan, niat baik yang tulus, ingin selalu bersahabat, dan banyak akal. Namun, kecenderungan ini tidak selalu sejalan dengan nilai atau norma yang sebenarnya atau yang dianut orang dewasa. Itu wajar, sebab mereka toh memang anak-anak. Bertindak dengan akal dan ide mereka sendiri menjadi bagian dari proses belajar mereka. Hal itu misalnya, ditunjukkan saat ibu mereka sedang sakit dan tak bisa menulis cerita apa pun. Keadaan itu diperparah dengan untuk sembuh dari penyakitnya, si ibu membutuhkan obat dan makanan yang cukup mahal, sementara mereka tidak bisa mendapatkannya.
Lalu, berdalih untuk kesehatan si ibu, mereka menyetuskan sebuah ide yang mungkin hanya terpikirkan oleh mereka. Dipotongnya sebuah seprai, kemudian mereka bubuhkan tulisan “Cari di Stasiun”. Seprai itu ditempelkan di pagar pinggir rel kereta api. Karena sudah sering mendapati ketiga anak-anak itu melambai-lambai kepada mereka, penumpang dan Pak Tua—orang jawatan kereta api yang memang sudah dikenal tiga bersaudara itu—pun penasaran atas apa yang akan mereka dapati di stasiun. Namun, mereka tidak menemukan sesuatu hal yang spesial. Hanya si Pak Tua yang bertemu dengan Phyllis yang menyerahkan sebuah surat kepadanya. Surat itu berisi permintaan pertolongan atas kesulitan yang sedang mereka alami.
Pada akhirnya, ibu mereka memang sembuh dari sakitnya. Tapi, tebak, apa yang ia lakukan terhadap ketiga anak itu? Berterimakasih? Tidak. Ia justru cukup kecewa, “Kita memang miskin, tapi kita masih punya cukup uang untuk hidup. Kalian tidak boleh menceritakan kesulitan kita pada siapa pun—itu keliru. Dan kalian tidak boleh, sama sekali tidak boleh, meminta sesuatu pada orang asing yang tidak kalian kenal. Ingat kata Ibu? Janji?” (Hal. 79)
Ya, di balik figur yang ramah dan menyenangkan, si ibu adalah orang yang bijaksana. Ia tahu pasti, kapan sebaiknya ia meluapkan amarahnya. Di luar perkara marahnya itu, ia sebenarnya tahu benar bahwa ketiga anaknya berbuat begitu untuk kebaikan dirinya. Oleh karena itu, setelah meluapkan amarahnya, buru-buru mereka berpelukan bersama. Tak lupa, ia pun memuji tindakan ketiga anaknya itu.
Apakah tindakan tadi akhir dari petualangan mereka? Oh, tentu tidak. Mereka terus melakukan banyak hal baik, kendati tak jarang semua itu terdengar seperti ide yang konyol bagi orang dewasa. Disadari atau tidak, bukankah itu sifat anak-anak yang leluasa berbuat sesuai gagasan mereka tanpa memikirkan banyak hal? Ya, mereka mungkin terlihat konyol dengan pikirannya. Mereka juga bertindak dengan polos, kadang juga naif. Namun, hal-hal seperti inilah yang kadang membuat kita rindu akan masa kecil. Kita rindu melakukan sesuatu hal tanpa banyak pertimbangan, sebab yang dipikirkan hanyalah kesenangan semata. Oh, sungguh indahnya masa kecil.
Ya, membaca kisah ini memang tidak membuat kita begitu saja berubah menjadi kanak-kanak. Tidak. Tidak begitu. Tapi, satu hal yang pasti, kita benar-benar diajak “menjadi” seperti mereka (lagi). Sepanjang tiga ratus halaman lebih, kita dibuat sejenak lupa akan realitas yang kita miliki saat ini. Kisah mereka sedemikian hangat, sehingga terasa sungguh membetahkan. Oleh sebab itu, alih-alih terpuruk dan mengandaikan diri menjadi seekor kucing atau anak-anak, kenapa tidak sejenak menenggelamkan diri pada petualangan mereka saja?
Tentang Penulis
Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.
One Comment