Tatkala membaca Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau karya M. Aan Mansyur ini saya langsung teringat dengan puisi W.S. Rendra yang berjudul Kangen.
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
Kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
Aku tungku tanpa api.
Di situ saya menduga-duga, Aan Mansyur tengah memberi respons atas Rendra. Sang Pisau yang telah bersembunyi itu tidak akan dimaafkan oleh Sang Pisau.
Terus terang, aku membaca buku ini dengan kepedihan. Sejak mengenal Kak Aan, barangkali ini adalah buku puisinya yang sangat mengena buatku sejak buku pertamanya yang kubaca: Aku Hendak Pindah Rumah.
Aku melihat seorang ayah, sekaligus seorang anak yang membayangkan sosok seorang ayah. Seperti yang pernah ia ceritakan, Aan tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Kini, Aan menjadi ayah, dan dalam puisi-puisinya, aku menangkap kegamangan itu, bagaimanakah caranya menjadi seorang ayah yang baik?
Lebih jauh, aku merasakan Kak Aan menjadikan sosoknya sebagai metafora. Kita tahu, kita kerap mendengar istilah Ibu Pertiwi. Tapi tak pernah mendengar istilah ayahnya? Apakah bangsa ini juga tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah?
Jika Ayah menyimbolkan sesuatu, mungkin itu juga persoalan kepemimpinan, soal arah dan tujuan, keyakinan, juga ketegasan. Ketiadaan Ayah akan mengombang-ambingkan kita.
Ciamiknya, keterombang-ambingan itu disajikan dalam permainan diksi yang sangat menarik. Dan di dalamnya, selalu ada ironi.
Di puisi pertama saja, kita akan menemukan diksi-diksi semacam
meluapkan air mata
melupakan air mata
atau juga
merawat
melayat
diri
sendiri
Begitu pandainya Aan memilih kata-kata, yang tampak sederhana, tetapi sebenarnya ini membutuhkan kecermatan tertentu. Cara-cara Aan yang sanggup merengkuh ironi dalam rima yang disiplin ini adalah sesuatu yang selalu aku sukai.
Tentang kegamangan itu, aku pun tengah mengalami hal yang sama. Seringkali aku berpikir aku tidak bisa menjadi ayah yang baik. Menjadi seorang ayah sebenarnya juga harus bersiap meleburkan diri, tidak ada lagi egoisme… karena ada dunia baru bersama anak-anak kita.
Apa yang terpenting bagi seorang laki-laki yang sudah berkeluarga? Aku menemukannya dalam puisi Pelajaran Menulis Puisi dari Ibuku:
“setiap pagi
lukislah satu luka dunia
yang kautemukan di tanganmu
& di mata istrimumalam hari
pinjamlah krayon
& mimpi anak-anakmu
untuk mewarnainya”
Aku kebetulan baru baca buku Trip to Forgive. Apa yang harus paling dijaga oleh seorang laki-laki adalah kebahagiaan istrinya. Sebab istri adalah jantung rumah tangga. Jika ia terluka, seluruh anggota keluarga akan terluka. Dan akan sangat sulit membasuh luka itu.
Baca Juga: Review Buku A Little Book About You
Lagi-lagi aku selalu punya kecurigaan bahwa puisi Aan selalu berbicara lebih luas. Ia tengah menyinggung kepemimpinan. Tidak mudah jadi pemimpin, tetapi seorang pemimpin harus selalu ingat kepentingan ibu pertiwi… dan untuk tahu seperti apa itu, dengarkan suara rakyat.
Dan seperti apa seorang pemimpin yang memiliki cinta? Kata Aan, menjelaskan suatu hal adalah setidaknya mengakui dua kegagalan. Aku pikir, Aan juga tengah menyinggung setiap Pemerintah menjelaskan sesuatu, malah banyak kesalahannya. Eh.
Dan cinta itu juga kerap disalahpahami, bahkan oleh orang yang merasakannya sendiri. Padahal, kata Aan, aku adalah selembar kertas yang terbakar, tetapi aku gegabah menganggap diriku api. Keren, ya?
(2021)
One Comment