Resensi Buku The Storied Life of A. j. Fikry karya Gabrielle Zevin

Satu Kisah Bergelimang Buku-Buku, sebuah resensi buku The Storied Life of A. J. Fikry karya Gabrielle Zevin. Ditulis oleh Wahid Kurniawan.

Judul : The Storied Life of A.J. Fikry

Penulis : Gabrielle Zevin

Penerjemah : Eka Budiarti

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : 2017

Tebal : 280 Halaman

ISBN : 978-602-03-7581-6

Island Books berdiri di pulau Alice. Toko buku itu kecil saja, ukurannya 55 meter persegi, dan tanpa pekerja paruh waktu. Penjaganya, sekaligus pemilik toko buku itu, adalah lelaki nyentrik dengan selera buku sastra khusus bernama A. J. Fikry. Di depan toko, terpajang papan pengenal dengan slogan tak kalah uniknya: Manusia Tidak Bisa Hidup Sendiri; Setiap Buku Membuka Jendela Dunia. Dan memang, bukulah yang menjadi elemen penting dalam cerita ini. Buku pula yang menjembatani hubungan para tokohnya.

Mulanya, pembaca bakal dikenalkan dengan dua tokoh penting dalam cerita. Pertama, ada perempuan bernama Amelia Loman yang bekerja sebagai divisi penjualan bagi sebuah penerbit, Knightley Press. Suatu hari, ia datang ke pulau itu untuk kunjungan rutin pihak penerbitnya. Ia pikir, kunjungan itu bakal mudah dan singkat saja. Kendati sulit untuk menganggap kunjungan itu sepadan mengingat sulitnya pergi ke pulau dan penjualan toko buku Island Books yang sebetulnya tak besar-besar amat, tetapi Amelia tetap optimis. Bagaimanapun, Island Books telah lama menjadi langganan pihak yang menjual buku-buku terbitan Knightley Press, dan Amelia tidak ingin kerja sama itu terputus.

Tiba di sana, pembaca kemudian bakal dikenalkan dengan tokoh lain, yang menjadi sentral dari cerita ini, yakni pemilik Island Books, A.J. Fikry. Sebagai pemilik toko buku yang punya selera personal yang sulit ditebak, Amelia salah mengira bahwa Fikry akan tertarik dengan buku di katalog musim dingin yang ditawarkannya. Terutama, untuk buku andalan pada katalog itu: Sebuah memoar berjudul The Late Bloomer. Buku itu tipis saja, menceritakan kehidupan seorang bujangan tua berusia 70-an tahun yang ditinggal istrinya karena kanker. Amelia suka buku tersebut, setidaknya, ia yakin bahwa Fikry bakal menyukai juga. Namun, ia salah. Fikry menolaknya, bahkan komentarnya cukup membuat perempuan itu tersinggung dan sedikit menyesali kunjungannya ke toko buku itu.

Sepeninggal Amelia, fokus pembaca sejenak ditekankan terhadap eksistensi Island Books dan kehidupan pemiliknya. Kita akan tahu bahwa hidup Fikry berjalan dengan memandang sekian hal dalam kehidupan dengan kesinisan yang unik. Fikry pembaca buku yang lahap,  tentu saja, tapi seleranya yang khusus itu juga membuatnya tak ragu-ragu mengomentari karya lain dengan sindiran yang tajam. Figurnya keras kepala dan blak-blakan. Di sisi lain, kita pembaca sangat mungkin berpikir bahwa selain tersebab seleranya itu, sifat Fikry yang demikian juga disokong dengan penyesalan yang mengendap dalam hidupnya.

Penyesalan itu terbit sepeninggal kematian istrinya dalam sebuah kecelakaan tragis. Suatu ketika, istrinya itu mengantar penulis yang baru selesai diajak temu-pembaca di toko mereka, tapi karena jalanan licin musim dingin, mobil yang dikendarai istrinya, Nic, oleng dan nyawa perempuan itu tak selamat. Sejak itu, hidup Fikry berjalan bagai kesuntukan yang sarat, kendati ia tinggal bersama buku-bukunya. Sulitnya kehidupan Fikry bisa tergambarkan dalam narasi sinis berikut: “Sulitnya hidup sendirian adalah kau harus membereskan sendiri semua kekacauan yang dibuatnya. Bukan, kesulitan sesungguhnya dari hidup sendirian adalah tidak seorang pun peduli apakah kau kesal. Tidak seorang pun peduli mengapa pria berumur 39 tahun melemparkan wadah plastik vindaloo ke dinding seperti balita.” (Hal. 23)

Tapi, sepertinya, justru bukulah yang membuatnya tetap hidup. Kita patut mencurigai hal ini setelah membaca kutipan: “Kita membaca untuk mengetahui kita tidak sendirian. Kita membaca karena kita sendirian. Kita membaca dan kita tidak sendirian. Kita tidak sendirian.” (Hal. 263)

Kendati situasi yang memicunya tidak melulu peristiwa yang baik, nyatanya bukulah yang mengantar kehidupan Fikry ke arah yang tak disangka-sangka. Misalnya, saat tragedi pencurian yang terjadi di Island Books. Kronologinya, suatu hari, Fikry menghabiskan malam dengan mabuk dan paginya, ia mendapati bahwa koleksi paling berharganya, yaitu buku puisi perdana Edgar Allan Poe yang berjudul Tamerlane, raib. Ia kelimpungan mencari buku itu. Ia mengutuki setengah mati maling yang mencurinya sebab buku itu sedemikian berharga, baik lantaran harganya yang fantastis maupun sejarah yang dimilikinya.

Oleh sebab itu, Fikry pun melapor ke kepolisian setempat. Laporannya dibuat, lalu pihak kepolisian berjanji akan mengusut kasus tersebut sampai tuntas. Seorang Kepala Polisi di pulau Alice, bernama Lambiase menjadi pihak yang meyakinkankan Fikry. Namun, kasus tersebut lama tidak terpecahkan sampai peristiwa mengejutkan lain terjadi di Island Books. Suatu malam, saat berkeliling di rak bagian buku Anak dan Remaja di tokonya, Fikry mendapati seorang balita perempuan tengah asyik membuka halaman-halaman buku anak berjudul Where The Wild Things Are karya Maurice Sendak.

Anak itu bernama Maya, tampak pintar dan sudah bisa diajak bicara. Dan segera pula Fikry tahu bahwa seseorang, setidaknya terduga ibunya, yang sengaja meninggalkan bocah itu di sana. Itu terbukti dengan didapatinya pula secarik kertas yang bernada menitipkan anak tersebut supaya dapat dibesarkan oleh Fikry sebab, sebagaimana yang ditulis di dalam surat, sang ibu ingin anaknya tumbuh dengan gairah membaca yang tinggi. Fikry kebingungan: Lelucon apa lagi ini? Belum tuntas urusannya dengan buku berharga yang hilang dicuri, tapi malah kini tambah satu perkara yang bahkan lebih merepotkan.

Dan lagi, Fikry melaporkan anak itu ke pihak kepolisian. Namun, ia mesti menunggu sampai seseorang dari dinas sosial datang ke pulau Alice. Itu artinya, seseorang mesti merawat anak itu sembari menunggu mereka. Dan, bukan orang lain, kandidat paling memungkinkan hanyalah Fikry seorang! Apalagi, segera saja, Maya tampak lengket dengan lelaki itu. Sejak itulah, sesuatu yang hangat merambat di benaknya tanpa disadari oleh Fikry. Sejak itulah, sesuatu yang membuat hari-harinya tidak berjalan monoton hadir dalam hidupnya. Sejak itulah, sesuatu yang bisa menambal lubang di benak Fikry muncul dan membuatnya percaya bahwa makna kata keluarga, kasih sayang, kepedulian, dan kehangatan hubungan tidak benar-benar raib dari hidupnya.

Seperti yang sudah dikatakan, segalanya bermula dari sebuah buku. Halaman setelahnya pun makin meyakinkan pembaca bahwa kalimat itu bukan isapan jempol belaka. Bak halaman pertama, keberadaan Maya bagai pembuka bagi lembaran baru dari kehidupan A.J. Fikry. Yang membuatnya berbeda bukan saja lantaran ada gairah hidup yang perlahan menggeliat dalam dirinya, melainkan pula Maya seperti sosok magnet yang menghidupkan Island Books dan terutama, hidup Fikry sendiri. Dari situ, pembaca dibuat kian percaya bahwa buku memang bisa memicu banyak hal dalam kehidupan seseorang. Dari Kepala Kepolisian, Lambiase, yang jadi suka pembaca fiksi kriminal, sampai sosok Amelia yang kemudian muncul lagi, turut mewarnai kehidupan Fikry selanjutnya.

Namun, penulis bukannya tidak menyimpan rahasia besar di balik kisah yang hangat ini. Ia paham betul, bahwa salah satu hal yang bisa membuat pembaca terkesan adalah mendapati sesuatu yang mengejutkan, tak disangka-sangka, atau sesuatu yang mengentak pembaca  hingga mereka berujar, “Astaga, ternyata…” Itulah yang dilakukan penulis. Ia merajut kejutan itu sedemikian rapi hingga hampir terlupakan, bahkan tak terdeteksi oleh pembaca. Dengan begitu, keberadaannya lebih tampak seperti sesuatu yang melengkapi, bak kepingan puzzle yang tadinya dilupakan, tetapi muncul di akhir dan keberadaannya memang dibutuhkan bagi kerangka cerita itu sendiri.

Selain itu, di samping menghadirkan kesan pas bagi cerita di dalamnya, kejutan itu pula berada dalam jalur yang sudah dikatakan tadi: Bahwa buku bisa menghadirkan sekian perubahan dalam kehidupan seseorang. Lagi, hal itu membuat pembaca percaya akan eksistensi premis itu. Dan itu merujuk ke hal yang lebih besar dan pasti: Bahwa buku ini, secara baik, menunjukkan kisah kehidupan penuh tragedi dan kehangatan yang saling bertautan dengan kelimpahan buku-buku di sekitarnya.

Penulis

Wahid Kurniawan, penikmat buku. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

2 Comments

  1. Woah, makin penasaran sama bukunya. Apalagi di ulasan disebutkan kejutan. Hemm, kejutan apa kira-kira ya? Tadinya saya menyimpulkan kalau buku ini hanya membahas Fikri yang punya kehidupan suram, kemudian memulai petualangan yang baru dengan adanya kejadian-kejadian tak terduga yang menimpanya. Rupanya ada rahasia besar pula. Harus jadi wishlist ini mah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *