Dalam Serentetan Duka Tak Berkesudahan
oleh Wahid Kurniawan
Judul : Silsilah Duka
Penulis : Dwi Ratih Ramadhany
Penerbit : Basabasi
Terbit : September 2019
Tebal : 134 Halaman
ISBN : 978-623-7290-6
Klimaks itu sedemikian pedih, disuguhkan di bab pembuka novela ini. Pembaca, tahu-tahu didamparkan pada situasi muram di rumah duka, dengan jenazah melintang di ruang tamu, gema dzikir dan pembacaan ayat yang memenuhi udara, isak tangis anak-anak, dan wajah-wajah yang memancarkan kesedihan. Narasi bergerak, membuka tabir sekelumit persoalan yang tengah terjadi: Perempuan bernama Ramlah meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Pilihan cara bunuh diri yang diambil pun kelewat ngeri, sebab sebelum menggorok lehernya sendiri dengan pisau, terlebih dahulu ia menelan cairan malam (cairan untuk membatik) yang panas hingga membanjuri mulut, tenggorokan, leher, dan bagian lain tubuhnya. Sejenak tubuhnya menggelempar, lalu terbujur kaku di hadapan anaknya.
Baca Dulu: Review Buku It’s My MIAW, Marketing In A Week
Pertanyaan yang dilontarkan Ratih di bab ini sungguh mengusik: Mengapa Ramlah sampai senekad itu? Tekanan macam apa yang mengantarkan perempuan itu ke cara mati yang sama sekali tak indah? Siapa sosok di balik tindakan yang diambil Ramlah? Ratih menyebar sekian pertanyaan ini dalam satu bab, yang terhitung pendek. Padat, tapi membentangkan misteri. Di samping, tentu saja, sebuah gambaran ngeri yang agak surelis untuk hitungan adegan yang digambarkan begitu realistik. Dengan itu semua, selain terbaca mengentak diri, ia pun seperti tengah menjejali misteri dan pertanyaan yang tak tanggung-tanggung terhadap para pembacanya.
Setelah adegan itu, pembaca lantas dibawa ke peristiwa yang sama sekali lain. Saya langsung menduga kalau cerita ini tidak berjalan secara linear dan, benar saja, Ratih mengemasnya dalam potongan-potongan peristiwa yang kadang berurutan, tapi kadang juga acak. Strategi ini cukup asyik, sebab pembaca seperti diajak bermain puzzle sembari menyimak tuturan kisah utamanya. Dan, kalau kita berpikir strategi seperti ini terpandang memusingkan, agaknya Ratih sudah mengantisipasi hal tersebut dengan meletakkan kata kunci, baik dalam bentuk adegan-peristiwa ataupun narasi-cerita yang menghubungkan ke bab selanjutnya.
Sisi lainnya, kalau kita melihat novela ini dari kacamata sosio-cultural, terbaca jelas, baik secara terang-terangan maupun menyisipkannya, Ratih tengah mengangkat banyak persoalan di masyarakat, khususnya masyarakat Madura. Kita mungkin tak asing dengan banyaknya literatur dari karya sastra sampai penelitian akademik yang menggambarkan bahwa masyarakat di daerah ini terpandang patriarkis, penuh dengan tradisi lokal yang mengentalkan hegenomi laki-laki, atau memiliki kultur Islam yang memposisikan laki-laki lebih tinggi. Stereotif itu terdengar layaknya narasi tunggal yang sedemikian deras arusnya.
Namun, Ratih dalam novelanya ini, yang bertajuk Silsilah Duka, tampak melompat dari pakem tersebut. Ia bahkan membalik sekian anggapan yang selama ini kadung sering dianggap sebagai narasi tunggal. Apa yang diangkat oleh Ratih, yakni kebudayaan dalam keluarga yang matriarkat atau yang terpusat pada ibu, terbaca sebagai narasi yang berlawanan sekaligus elegan. Dominasi sosok Ibu kepada anak dan mertuanya, oleh Ratih, digambarkan dengan segala kepahitan yang tersebar di sana-sini. Kekuasaan itu mencengkram kepala anak dan mertuanya, dan seringkali, bersembunyi dalam balutan nilai-nilai agama yang dicatut sebagai legitimasi dari tindakan yang ditunjukkan.
Dari situ, pembaca lagi-lagi diusik dengan hal-ihwal kemanusian yang patut dipertanyakan. Ratih memancing tanya pembaca terhadap sejauh mana batas seorang orangtua mencampuri urusan keluarga anaknya, atau sejuah mana ia berhak mengadili, mengkritik, atau bahkan memberi nasihat kepada mereka. Dan, sekian tanya tersebut terselip dalam cerita yang, sesuai judulnya, mengandung duka yang tersebar di banyak fragmen kisahnya ini.
Namun, sebelum membawa pembaca ke tamasya duka yang lain, setelah bab pertama, pembaca diajak terlebih dahulu menengok mundur ke sekian tahun sebelum adegan mengerikan tersebut. Pembaca mulai mengindentifikasi tokoh-tokoh penting: Farid suami Ramlah, Juhairiyah ibu Farid, Kholila adik Farid, Mbok Jum dukun pijat, dan Majang serta Mangsen, kedua anak Ramlah. Sejak bab ini pula, pembaca sudah diberi petunjuk kalau Juhairiyah memegang otoritas tertinggi dalam keluarga ini. Ia senyatanya tokoh matriarkat, yang memegang kuasa terhadap anaknya, Farid, dan terbaca menganggap menantunya, Ramlah, sebagai rival.
Intervensi Juhairiyah, atau yang dipanggil Ebo’ (panggilan nenek dalam bahasa Madura), menjalar ke berbagai ranah dan persoalan keluarga Farid. Sebetulnya, sekilas, intervensi itu bisa saja dipandang sebagai kepedulian semata. Namun, cara dan pemilihan kata yang dipilih Juhairiyah lebih kerap seperti olok-olok atau caci-maki, alih-alih sebuah nasihat kasih sayang. Imbasnya, si menantu, Ramlah, mengalami tekanan yang luar biasa. Lambat-laun, tekanan tersebut pun mengendap, menjadikan dirinya stres. Itu, misalnya, tergambarkan saat Ramlah melahirkan anak kedua dengan cara operasi:
Tak pernah terbayangkan bahwa dia akan melahirkan dengan cara operasi, dengan sakit tiada terkira yang tak jauh berbeda dengan persalinannya yang pertama, juga dengan biaya yang tidak murah, serta dengan diiringi hujatan-hujatan yang membuatnya merasa kehilangan harga diri. Namun, sakit yang menyerang tubuhnya sama sekali tidak sebanding dengan hunjaman caci-maki yang masuk melewati gendang telinganya, kemudian mengendap di dasar hatinya. (Hal. 31)
Sikap Juhairiyah itu pun tidak saja berimbas pada Ramlah. Namun, Farid, sebagai anaknya, kerap merasa kalau tindakan Juhairiyah itu kelewatan. “Neraka adalah tempat bagi anak-anak durhaka, Farid selalu mengingat itu. Tetapi, apakah berlaku sebaliknya apabila orangtualah yang menyebabkan derita batin pada anak-anak mereka, tanpa sadar telah menyiksa meraka? Tentu pertanyaan itu tidak sampai hati dia lontarkan pada ibu maupun ustaz mengajinya.” (Hal. 67)
Narasi itu, setidaknya menunjukkan kalau Farid masih meletakkan hormat paling tingginya kepada sang ibu. Kendati tahu, bahkan turut mengalami pahit dan kedukaan yang dirasakan istrinya atas perlakuan Juhairiyah, tetapi Farid selalu ingat batas untuk tidak melakukan tindakan yang terkesan “anak durhaka”. Farid selalu berada di sisi Ramlah, itu benar. Ia selalu membela Ramlah, apa pun kondisinya. Namun, tetap saja, pembelaan itu dilakukan dengan batasan. Dan, batasan ini, kerap kali terbaca sebagai belenggu yang memposisikannya dalam pilihan: Membela Ramlah atau ibunya.
Baca Juga: Resensi Buku Hari Terakhir di Rumah Bordil karya Bode Riswandi
Sikap berani justru ada pada diri adik Farid, yakni Kholila. Pembaca bakal tahu, sejak kematian Ramlah, perempuan inilah yang membantu Farid merawat kedua anaknya itu. Dan, Kholila jelas saja turut merasakan imbas dari dominasi ibunya. Rasa pahit dan kedukaan Ramlah ia pahami betul dari mana hulunya. Ia pun ikut dibuat kesal dan marah pada ibunya itu. Ia ingin membalasnya dengan satu tindakan yang bakal mempermalukan ibunya. Sebab, ia berkeyakinan, “Dia tak punya cara selain menceburkan diri sendiri ke dalam kubangan duka. Sebab dengan begitu dia yakin, mau tidak mau ibunya pun akan ikut terjun dan merana. Dengan begitu dia yakin, ibunya akan mengerti dan jera.” (Hal. 101)
Dari situ, benar, duka dalam cerita ini menjerat kepala tiap-tiap anggota keluarga Farid. Tanpa terkecuali, dalam hidup Juhairiyah sendiri. Lalu, bagaimana memutus rantai duka tersebut? Ratih rupanya, menyimpan jawaban ini di akhir kisah. Peran itu ada pada diri anak-anak Ramlah. Harapan itu, yang dikemukakan semasa Ramlah hidup, ternyata menjadi kenyataan. Tenang saja, anak-anak kita takkan pernah menurut neneknya, batin Ramlah. (Hal. 21)
Balasan itu mungkin tampak kejam. Bahkan, tak kalah mengerikan dengan gambaran yang disuguhkan Ratih di bab pertama novelanya ini. Namun, pesan Ratih juga jelas terbaca: Bahwa racun dari orang-orang terdekat bisa berujung pada satu tindakan nekad yang keluar dari logika kita. Lewat novelanya ini, Ratih berperan sebagai penyuguh cerita-yang-jadi-bagian-dari-kenyataan sekaligus pengkritik atas sekian perlakuan yang acap kita anggap biasa tapi bisa menghadirkan petaka. Dengan caranya yang ngeri sekaligus elegan, novela ini seperti mimpi buruk yang meninggalkan kesan mendalam: Daya kejut sekaligus renungan.