Resensi Buku | Looking for the King of Fishing karya Zhang Wei


Tentang Impian dan Hal-Hal yang Dipertanyakan
oleh Wahid Kurniawan

Judul : Looking for the King of Fishing
Penulis : Zhang Wei
Penerjemah : Adistia Kartika Rini
Penerbit : Bhuana Sastra
Terbit : Cetakan Pertama, 2021
Tebal : 256 Halaman
ISBN : 978-623-04-0533-4

Hasrat dan kesederhanaan. Dua kata ini yang paling membekas ketika saya menamatkan sebuah novel karya penulis kontemporer Tiongkok, Zhang Wei, yang berjudul Looking for the King of Fishing ini. Sebagai karya literatur anak, Zhang Wei mengedepankan dua hal tersebut untuk membingkai dunia kanak-kanak yang gemerlap akan hasrat dan mimpi, tetapi mereka masih memandangnya dengan kepolosan dan kesederhanaan pemikiran. “Hasrat untuk pengetahuan,” katanya di halaman depan buku, seolah menegaskan bahwa hasrat menuntun anak-anak dalam pencarian pengetahuan, pengalaman, dan filosofi-filosofi kehidupan lainnya.

Baca Juga: Review Buku Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang

Menurutnya, kepolosan merupakan hal yang wajar bagi seorang anak. Makanya, orang dewasa diharapkan dapat mengarahkan atau menuntun mereka. Namun, ia menegaskan lagi, bahwa misi mengarahkan ini bukan berarti menguasai, menyetir, atau mendominasi arah pencarian si anak. Kita hanya mengarahkan, bukan menguasai, begitu kira-kira yang dikatakannya lewat kisah seorang anak yang ingin mencari Raja Ikan di dalamya.

Ditampilkan dengan ornamen dan ilustrasi yang cantik, saya sungguh sulit untuk tidak melirik novel yang satu ini. Soal ceritanya sendiri, sama seperti yang sudah saya singgung tadi, novel ini mengisahkan seorang anak laki-laki yang terosebsi mencari Raja Ikan untuk dijadikan guru. Apa istimewa dengan menjadi Raja Ikan? Sosok seperti apa pula yang dinamakan Raja Ikan? Dijabarkan, bahwa di tempat tinggal si anak tersebut, ikan menjadi barang yang sangat berharga. Nilainya setara atau bahkan melebihi emas sekalipun, sebab di desa itu, yakni di sekitar pegunungan, ikan sangat sulit didapat. Kata si ayah anak begini: “Gunung ini tidak bisa menyiman banyak air. Bila ada pun, air akan mengalir turun ke bukit atau dataran rendah di bawah. Tidak air berarti tidak ada ikan, lebih-lebih ada ikan besar. Akan tetapi, pegunungan ini begitu banyak seluk-beluknya. Ada berbagai tempat aneh, juga banyak teluk, ceruk, dan sungai kecil tersembunyi. Maka, ikan pasti ada saja. Akan tetapi, diperlukan keahlian khusus untuk bisa menangkapnya.”

Orang yang memiliki keahlian itulah yang disebut Raja Ikan. Dan si anak, yang sesungguhnya pun merasa suntuk dengan kehidupan sekolahnya yang tak asyik, juga ditambah terpukau dengan pesona Raja Ikan, mendesak ayahnya untuk pergi mencari Raja Ikan dan berguru kepadanya. Bagaimana ia bisa sampai ke pemikiran tersebut? Usut punya usut, rupanya, di masa lalu si ayah pun pernah berniat ingin menjadi Raja Ikan juga, dan sempat berguru kepada seorang tua yang dianggap seorang Raja Ikan. Sayangnya, ia merasa tidak memiliki kepekaan dan bakat khusus, sehingga memutuskan untuk berhenti.

Dari situ, bisa dikatakan, novel ini menunjukkan bahwa si anak pun menyunggi harapan ayahnya yang dulu tak tercapai.  Namun, alih-alih menjelaskannya sebagai beban si anak, Zhang Wei membabarkan kalau hal itu justru menjadi penguat dan motivisi si anak. Bagaimanapun, keinginan untuk menjadi Raja Ikan adalah obsesi besar si anak yang datang dari keterpukauannya terhadap figur penting tersebut, sehingga petualangannya kelak lebih ditopang oleh kemurnian keinginannya.

Lalu, apakah mudah menemukan Raja Ikan? Lebih-lebih, apakah mudah meyakinkan seorang yang dianggap Raja Ikan tersebut untuk menerima si anak sebagai muridnya? Tentu, dua hal ini bukan sesuatu yang mudah mereka dapatkan. Ketika memutuskan mencari si Raja Ikan, kedua ayah dan anak itu mesti mengarahkan upaya yang bukan main kerasnya. Mereka harus berkeliling desa, mendaki pegunungan dan perbukitan, melewati lembah dan rimba, dan harus rela bila sewaktu-waktu jalan setapak di hutan menyesatkan mereka. Namun, mereka pun tidak menyerah begitu saja. Sebab setelah berhari-hari menjelejah, rumah yang mereka cari ditemukan, dengan sosok yang diduga Raja Ikan muncul di ambang pintu itu.

Apakah kisah ini berhenti sampai di situ saja? Oh, tidak, menemukan rumah Raja Ikan itu justru menjadi awal bagi petualangan yang sesungguhnya bagi si anak. Perkara yang tadinya ia pikir sesederhana datang ke sekolah, duduk mendengarkan seorang guru, hingga dapat menguasai kemampuan tertentu; ternyata sama sekali tidak tepat. Ada banyak rahasia, kearifan hidup, dan intrik panjang terkait dengan kehidupan para Raja Ikan. Kelak, si anak pun mengetahui, kalau di pegunungan tersebut, terdapat dua jenis Raja Ikan. Pertama, mereka yang disebut Tangan Kering, atau yang memiliki kemampuan menangkap ikan di lembah, pegunungan, dan tempat-tempat yang minim kadar airnya. Sedangkan yang kedua, mereka yang disebut Tangan Air, atau yang memiliki kemampuan menangkap ikan di tempat-tempat yang memiliki banyak kandungan air.

Dua jenis Raja Ikan ini, tentu saja, memiliki kekuatan dengan kekhasan yang berbeda satu sama lain. Dari perbedaan ini pula, Zhang Wei menyisipkan banyak petuah dan filosofi kehidupan lewat kacamata dua tokoh penting di dalamnya, yakni Kakek Tua yang dikunjungi si anak, dan Nenek Tua yang kelak dikunjungi si anak. Berbagai ajaran soal kearifan hidup dituturkan secara tak langsung, tetapi lewat dialog dan komunikasi antartokohnya, sehingga tidak membuat Zhang Wei menyodorkan khotbah langsung yang membosankan.

Juga menarik, menyimak perubahan pemikiran si anak yang tadinya dipenuhi obsesi menemukan dan ingin menjadi Raja Ikan, tetapi lambat-laun ia pun mempertanyakan makna di balik julukan tersebut. Suatu kali, gurunya berkata: “Keahlian bukan hanya didapatkan dari orang lain, melainkan juga harus dicari sendiri. Sedikit demi sedikit menemukan beberapa, lalu melepaskannya. Lalu, yang tersisa paling akhir, keahlian yang sebenarnya berguna…”

Baca Juga: Review Buku Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo

Kalimat itu lantas membuat si anak terjebak dalam banyak pertimbangan penting: Apa aku sudah belajar dengan baik untuk menjadi Raja Ikan? Keahlian apa yang diturunkan guruku? Kalau ada, untuk apa aku menjadi Raja Ikan? Apa peran sesungguhnya dari Raja Ikan ini? Apa yang kukejar? Apa yang kujaga? Pada akhirnya, semua itu perkara belajar memahami banyak hal selama seumur hidup. Persis seperti yang dikatakan si Kakek Tua: “Orangtua menggandeng tangan kita untuk berjalan sejauh satu setengah kilometer, tapi ternyata kita sendiri telah berjalan sejauh tiga setengah kilometer. Seumur hidup berjalan lima kilometer.”

Seumur hidup berjalan lima kilometer, sungguh pesan yang dalam untuk kita renungkan. Dari pencarian dalam memenuhi hastrat seseorang, Zhang Wei lalu mengajak kita menelisik hal-hal yang tadinya kita pikir sederhana di sekitar kita. Sehingga jelas, pesan ini juga ditunjukkan kepada pembaca, bahwa Zhang We menebar beragam permenungan yang sejalan dengan kebimbangan dan kebingungan si anak laki-laki itu. Sampai akhirnya, kita, sebagai pembaca, diajak turut merenung, memikirkan ulang, apa tujuan kita sebenarnya? Kalau kelak mimpi kita tercapai, lantas selanjut apa?

Sampai sekarang, saya belum bisa menjawabnya.

Tentang Penulis

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *