Resensi Buku Hari Terakhir di Rumah Bordil karya Bode Riswandi

Hal-Hal yang Tak Selesai di Rumah Bordil Itu
Wahid Kurniawan

Judul : Hari Terakhir di Rumah Bordil
Penulis : Bode Riswandi
Penerbit : Basabasi
Terbit : 2020
Tebal : 128 Halaman
ISBN : 978-623-7290-63-6

Baca Dulu: Beda Pengertian Resensi, Sinopsis, Blurb, dan Review Buku

Topik pelacuran bukan barang baru dalam skema tema karya sastra di Indonesia. Tentu kita mengakrabi beberapa judul yang dipandang moncer, dari “Cantik Itu Luka” karya Eka Kurniawan sampai “Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur” karya Muhidin M. Dahlan. Di bidang penulisan pendek, tema pelacuran juga tak menemukan penyurutan untuk terus digali oleh para pengarang. Kita mengenal Agus Noor atau Djenar Maesa Ayu—sekadar menyebut beberapa—yang kerab mengakrabi tema itu dalam cerpen-cerpen mereka. Menimbang fakta tersebut, saat saya mendapati novela Bode Riswandi ini, saya disergap pertanyaan, hal baru apa yang ia tawarkan?

“Hari Terakhir di Rumah Bordil”. Dari judulnya, saya mencoba menebak-nebak ke arah mana jalan cerita ini akan dibawa. Dari kalimat itu setidaknya, saya berasumsi ada seorang pelacur yang tiba dalam waktu terakhirnya di sebuah rumah bordil. Perkara apa yang membuatnya berhenti, atau persoalan apa yang membuatnya menyudahi pekerjaan itu, saya sama sekali tak tahu. Oleh sebab itu, berdasarkan ketidaktahuan saya, bolehlah berharap menemukan sesuatu yang menghentak saya dalam ceritanya.

Saya akui, premis cerita ini sebenarnya menarik. Bode—semoga memang begitu panggilan beliau—membawa misi untuk menyingkap dunia perlendiran itu dengan mencoba menawarkan alternatif sudut pandang dalam memandang mereka. Setidaknya, saya bisa menyimpulkan satu hal mendasar: Dari ceritanya Bode berharap kita berhenti menghakimi para perempuan yang berada di dunia malam itu secara sepihak. Katanya: “Betapa ringannya mulut kita melabeli seorang itu pelacur, lantaran kerjanya menjajakan kehormatannya. … Sungguh kejam dunia membiarkan buah pikiran picik ini betah bertahan dalam batok kepala kita. … Padahal tidak ada perempuan yang menghendaki nasibnya berakhir seperti ini. Di rumahnya, mereka adalah buah hati yang dilahirkan orang tuanya dengan penuh doa dan harap. Di rumahnya, mereka adalah ibu bagi anak-anaknya yang dihidupi dari kerjaanya hari ini. Di semesta raya ini, mereka tidak beda dengan diri kita, hanya nasib Saudara barangkali yang kebetulan lebih baik dari mereka. Nasib! Bukan takdir!”

Misi itu lantas ia tuang dalam kisah ini. Berupa romansa yang ditiupkan dalam tokoh-tokoh yang berkecimpung di dunia perpelacuran itu. Dalam kisah rekaannya, Bode membagi kisah romansa itu dalam dua pasangan yang berbeda: Yanti dan Firman, kemudian Dahlia dan Sukat. Kedua pasangan itu dihubungkan oleh satu tokoh penting, yaitu perempuan bernama Magdalena. Dikisahkan, ada sebuah rumah makan yang disebut RM. Adem Ayem. Sekilas, orang-orang yang baru melihatnya bakal mengira kalau itu rumah makan biasa, dengan ruang tamu dijadikan tempat ngopi. Namun, bagi orang tak asing dengan tempat itu, RM. Adem Ayem adalah tempat pelisiran yang dikelola oleh Magdalena.

Di sana, kita bisa menemukan lusinan perempuan yang menjual jasa diri mereka. Tempat itu juga dilengkapi kamar-kamar khusus bagi siapa pun yang ingin menggunakan jasa mereka. Saban hari, kehidupan itu terus berputar. Kalau siang hari, rumah makanlah yang memutar roda perekonomian mereka, sedang malam harinya menjadi waktu bagi penghuni kamar yang berperan sebagai roda perekonomian Magdalena. Ya, sebagai seorang muncikari, sosok Magdalena-lah yang paling diuntungkan dari usaha itu. Kendati tiap beberapa waktu ia bakal diciduk pihak kepolisian, tapi tak memerlukan waktu yang lama ia bakal bebas kembali. Selalu begitu. Dikatakan, “Orang sekitar perlahan-lahan mulai paham, kalau penangkapan itu hanyalah drama yang mereka ciptakan. Jika tempat itu benar-benar ditutup, jelas hilang pemasukan mereka. Kalau dihitung-hitung bisa lebih besar dari sekadar yang dikasih negara.”

Dan dari sekian kamar di tempat itu, Yanti pernah menempati salah satunya. Ia menjadi salah satu perempuan yang terpaksa bekerja di sana. Sama seperti perempuan lainnya, ia pun menjadi korban penipuan dilakukan kaki tangan Magdalena. Modusnya begini, ada seorang lelaki suruhan Magdalena yang berperan sebagai pencari mangsa. Laki-laki ini akan mengincar gadis-gadis lugu—yang kebanyakan datang dari desa untuk mencari pekerjaan, mendekati gadis itu, menjeratnya dengan perhatian dan kasih sayang, lalu suatu kali menjebaknya dengan satu drama hingga si gadis berada dalam cengkraman Magdalena. Mengapa mereka tidak memilih kabur ketika menyadari kalau mereka dijebak? Dijelaskan, kalau sosok Magdalena ini adalah figur yang kuat dengan berbagai ancaman. Ia tidak segan-segan untuk membunuh para gadis yang berusaha kabur.

Namun, Yanti adalah sosok yang lain. Yanti adalah anomali dari gadis-gadis lainnya. Yanti adalah pemberontak yang menolak tunduk. Dan, semua usaha itu ia lakukan demi cintanya kepada Firman. Di sisi lain, sifat pemberontak juga ada pada diri Dahlia. Sama seperti Yanti, kedatangan Dahlia tempat itu lantaran dijebak, dan yang menjebaknya adalah lelaki bernama Sukat—salah satu kaki tangan Magdalena. Yang agak unik, sosok Sukat ini sebenarnya terjebak dalam kekalutan cintanya sendiri dengan Yanti. Prahara kedua pasangan ini ada pada diri Sukat, yang mesti menentukan pilihan antara menunaikan pekerjaannya menjebak Yanti atau memilih menyelamatkan gadis itu.

Lalu, apa yang terjadi dengan mereka? Apa yang terjadi dengan kisah Sukat dan Yanti yang dari pembacaan saya mengambil porsi terbesar dari novela ini?

Saya tidak akan membocorkannya. Saya lebih ingin membahas bahwa novela ini sama sekali tak menawarkan sesuatu baru dan tidak menghentak diri saya. Pertama, dengan premis yang menarik itu, penulis terkesan tak begitu baik menuangkan dalam kisah yang baik. Penokohan yang ia hasilkan tidak kuat, sehingga dalam beberapa adegan yang semestinya membuat saya tersentuh, kesal, atau gregetan, saya dibuat merasa datar-datar saja. Hal itu ditambah pula dialog yang dihasilkan tokoh-tokohnya kurang padu dan mengalir, di beberapa bagian bahkan saya membaca cepat saja sebab tak menemukan ada emosi di dalamnya. Parahnya lagi, masih saya dapati beberapa kesalahan penulisan terkait tanda baca dan dialog tag.

Sementara yang kedua, penulis kerab menebar kalimat dakwah dalam narasinya. Ini sungguh menganggu kenikmatan membaca, sebab suaranya mengintervensi bangunan narasi cerita hingga membuatnya kurang padu. Narasi seperti ini bukannya dilarang sama sekali, tapi biasanya, para pengarang lain menyisipkan dalam dialog sehingga menjadikannya wajar dan ditulis sebagai bagian dari keperluan komunikasi antartokohnya. Itu misalnya, ada pada kalimat berikut, “….Di semesta raya ini, mereka tidak beda dengan diri kita, hanya nasib Saudara barangkali yang kebetulan lebih baik dari mereka. Nasib! Bukan takdir!”

Ketika membacanya, saya seperti sedang diceramahi oleh penulis yang menudingkan jarinya ke muka saya sambil berkata, “Nasib! Bukan takdir!”

Lalu, yang ketiga, hal yang mengganjal dari novela ini adalah ada beberapa hal yang dibiarkan menggantung oleh penulis. Tidak. Ini bukan sesuatu seperti open ending dalam ceritanya biasanya, tapi lebih kepada upaya penulis meninggalkan sesuatu yang tak diselesaikannya begitu saja. Bagian ini ada pada kisah pertama, yakni tentang Yanti dan Firman. Penulis seperti mengesankan kisah kedua tokoh itu sebagai cerita selintas lalu. Ia dibiarkan menggantung, sementara pembaca tidak diberi petunjuk atas kelanjutan kisah tersebut. Mungkin, penulis ingin kisah mereka sebagai pembuka untuk kisah yang lebih luar biasa lagi. Atau, sengaja membuatnya begitu sebab untuk pengesan atas dunia perpelacuran yang ia bangun. Mana pun niatnya, bagi saya, itu tidak ada yang berhasil.

Sebab untuk kisah kedua, yakni antara Sukat dan Dahlia, saya pun tak menemukan keberhasilan yang mungkin diharapkan penulis. Bahwa kisah mereka mengesankan sisi lain dunia perpelacuran, saya sepakat. Namun, perkara keberhasilannya dalam membangun romansa yang mengena, atau berhasil menggaet simpati pembaca, saya cukup ragu. Saya sulit merasakan emosi apa pun terhadap keduanya. Dus, harapan saya tak terpenuhi. Novela ini, sekali lagi, memang berangkat dari premis yang menarik. Misi yang dibawa penulis pun baik. Sayangnya, itu tidak diimbangi dengan kepengrajinan merajut cerita yang memukau. Sebagai pembaca, saya merasa datar-datar saja. Begitulah.

Baca Juga: Review Buku Si Anak Badai Karya Tere Liye

Tentang Penulis

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *