Puisi Pringadi Abdi Surya di Manifesco

Puisi Pringadi Abdi Surya di Manifesco

Aku mengirimkan 5 puisi ke Manifesco, dan alhamdulillah, 3 puisi dimuat di sana. Berikut puisi Pringadi Abdi Surya di Manifesco pada 31 Januari 2020 (3 teratas yang dimuat, 2 puisi setelahnya tidak dimuat).


Kura-Kura dalam Tubuhmu

Malam-malam sekali ada ombak berjalan ke tubuhmu. Aku pikir itu laut yang tiba-tiba kalut dan takut kalau hujan tak lagi mau turun. Hujan pasir. Hujan lambaian nyiur  di pantai itu, yang diam-diam memanggil kura-kura ke pinggiran. Meninggalkan telur.  Menyampaikan rindu yang lain dari bekas-bekas tetasan yang tak pernah kembali.

Kura-kura itu berjalan ke tubuhmu. Aku takut kura-kura itu akan memakanmu yang sedang  lelap dalam tidur memimpikan sepasang kepiting yang tak lagi berjalan miring. Kepiting anjing  yang menggonggong malam-malam. Kepiting kuda yang meringkik meminta penggembalaan seperti domba-domba lain yang pernah kauceritakan dalam suratmu itu.

Malam-malam sekali bantal itu berkhianat pada janji untuk  memberimu sepasang mimpi  lain tentang caranya bercinta sambil melenguh-lenguhkan namaNya sebelum ada kura-kura  yang berjalan ke tubuhmu. Kura-kura itu mungkin sekali adalah gadis empat belasan yang pernah kau cumbui di halaman sekolah. Lalu kau bekap ia dengan sebuah bantal yang kini berkhianat di tidurmu.


Selamat Natal, Mrs. Pringadi

Aku berikan hatiku kepadamu. Barangkali seperti matahari yang tujuh tahun lalu masih sama saja terbit dan terbenamnya di jendela itu yang kusam dan berdebu. Matahari yang keluar dari televisi yang hitam putih. Matahari dari lampu teplok yang genit. Matahari yang lenyap di sofa tua, meja makan, kursi roda, karpet bulu domba, dan ingatan. Aku rindu perapian. Perapian kehilangan matahari. Matahari lari lewat jendela. Kau juga.

Yesus mati di bulan Juni. Aku ucapkan selamat Natal padanya. Kau cemberut. Padahal aku sudah berikan hatimu kepadamu. Tetapi kau minta ucapan selamat Natal juga. Aku bedoa pada cemara supaya Natal tidak di Juni saja. Aku takut Juni marah-marah. Aku takut Juni tidak hujan lagi. Aku takut Juni akan melupakan aku. Aku meratapi kalender yang memerangkapi Juni. Aku coba jadi tanggal tiga satu. Aku tersungkur di ujung sepatu laki-laki.

Laki-laki itu berseragam merah. Janggutnya putih. Dia bilang habis membunuh. Mantel putihnya jadi merah semua. Dari mana kamu, dia bilang dari kutub utara naik rusa. Aku tidak percaya sebab cuma ikarus yang bisa terbang dari kutub utara. Kutub utara boleh jadi ada di cerobong asap katanya seperti ceramah. Aku tertidur.

Aku bangun. Ada amplop cokelat di meja makan. Aku sudah beberapa jam tidak makan dan merasa tidak kelaparan. Aku makan salju. Aku makan perapian. Aku makan jendela. Aku makan matahari itu. Aku makan istriku, ya istriku yang meminta ucapan selamat natal itu.


Sajak Kemarin

Kemarin ingin membunuhku. Kemarin mengendap-endap di atas atap. Kemarin menyamar jadi bayang bulan. Kemarin mengetuk pintu, “Selamat Malam, Bapak Pringadi, Anda belum tidur juga?” ucapnya sambil menodongku dengan sebuah pistol.

Aku kebal senjata, kecuali garpu. Aku takut garpu. Aku takut meja makan. Aku takut sepiring tenderloin. Aku takut bau kokain. Tapi, aku tidak takut pistol. Aku tidak takut bom. Aku tidak takut nuklir. Setiap hari aku makan nuklir di kolong tempat tidur. Setiap hari aku minum bensin di kamar mandi. Bensin yang ngalir dari kran itu, kecuali darah. Aku tidak mau gosok gigi dengan darah.

Kemarin diam saja. Mungkin kehabisan ide. Aku bawakan kertas dengan pensil. Ia miminta sepasang bolpoint. Ia mendongku dengan bolpoint. “Selamat Malam, Bapak Pringadi, tolong tandatangani kematian Anda di sini?” Aku lupa caranya tanda tangan. Aku menawarkan cap jempol. Aku menawarkan kecupan bibir. Aku menawarkan seks kertas lima menit saja.

Aku buka baju buka celana buka lemari yang menyimpan kelaminku tetapi kosong aku cari di laci baru ketemu dan kupasang pada tempatnya. Sepertinya kemarin kebingungan. Aku ambil kesempatan menembakkan pistol itu ke wajahnya yang ditutup-tutupi.

Kemarin mati. Aku membunuh kemarin. Wajahnya aku kenali. Aku.


Whitman Membunuh Malna di Kamar 103

 Perpustakaan bangga pada Whitman. Malna masih duduk di beranda, memandangi pohon mangga. Whitman lahir dari mulut ikan. Tetapi tidak bisa berenang. Malna keluar dari lensa kamera, dari cat lukis, dari batok kepala. Malna bingung siapa ibunya. Whitman tak peduli siapa bapaknya. Keduanya janjian ketemu. Di kamar 103. Di pinggir pantai selatan.

Whitman memesan bir. Tetapi tak ada bir di pantai selatan. Whitman melihat menu, ada jus asin ombak. Dia pesan satu. Malna memesan kopi. Whitman tidak melihat pohon kopi. “Kopi dari mana ini?” Whitman kebingungan. “Kopi dari Brazil,” jawab Malna sekenanya. Whitman suka Ronaldo. Tetapi Whitman tidak suka Malna. Meski keduanya botak semua. Malna tidak suka apa-apa, kecuali Whitman, yang membawa sekantung kenari dan angin dari seberang. “Itu sebenarnya kentutku,” Whitman mengaku.

Malna takut laut. Malna takut gunung. Malna takut kamar hotel 103. Malna takut gedung runtuh. Malna takut rasa garam. Tetapi, Malna tidak takut ombak. Malna bisa berselancar. Tiap hari dia berselancar, di dunia maya maksudnya. Tetapi, Whitman lari-lari dikejar ombak. Whitman suka marathon. Whitman pakai pantalon. Malna lebih takut dikejar polisi. Sebab Malna tidak suka pakai helm. Kepala Malna sudah seperti helm.

Jam dua belas malam, kerbau masuk ke kamar 103. Anjing mengonggong di kamar 103. Whitman mabuk-mabukan di kamar 103. Malna sedang shalat tahajud. Whitman ikut-ikutan bersujud, “Hei, apa yang kau sujudi sih?” teriak Whitman. “Tuhan,” bisik Malna.

Sejak saat itu Malna mati. Tuhan memburu Whitman.


In Absentia

Saya tidak hadir di pengadilan. Kepala saya sakit. Hidung saya sakit. Ibu saya masuk rumah sakit. Bibi, pembantu, sopir, satpam, kucing peliharaan saya pun sedang sakit-sakitan. Tetapi kelamin saya takut menjenguk mereka, apalagi pergi ke pengadilan. Celana tidak mampu menahan kelamin saya yang menegang. Saya berdiam diri di kamar, pura-pura mencari inspirasi. Para penggemar sudah tidak sabar menunggu kapan album baru itu keluar. Saya penyanyi. Lahir dari mikrofon.

Mikrofon itu Maria. Tiba-tiba saya ada dan sudah bisa berjalan di atas dua kaki. Kelamin saya sudah segini sejak bayi. Jangan-jangan tuhan salah mengalamatkan kelamin kuda di selangkangan saya. Atau kelaminnya sendiri yang kesepian. Saya tidak takut kesepian. Saya penyanyi dan saya tampan. Perihal perempuan itu gampang lah. Toh saya lahir dari mikrofon. Perempuan suka saya jadi mikrofon.

Saya takut bunyi palu. Saya takut video 3gp. Saya takut internet. Saya takut anggota DPR. Saya takut presiden. Sudah cukup ketakutan saya itu jadi buat apa saya takut tuhan. Tapi kepala saya sakit. Hidung saya sakit. Cuma hati yang tidak pernah sakit. Aduh, ke mana hati saya itu.

Saya pindah ke beranda. Baca berita. Lady Gaga mau bercinta sama saya. Sok atuh.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *