Puisi Iwan Simatupang

POTRET

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!

Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.

Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!

Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.

Kini dara sudah lama dalam biara.

Baca dulu: Puisi Acep Zamzam Noor

BALLADE KUCING DAN OTOLET

Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet
Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru

Dan manusia buru-buru
Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan
Bangke makin rata
Di aspal panas
Penumpang gigimas
Bercanda

Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan

GEMERCIK GERIMIS DI RETAK NISAN

Pada satu kemarau berkepanjangan
Di kerajaan padang hanya padang
Bersabda baginda satu hari:

Dari semua degup dan warna berlalu
Satu harus utuh selalu:
Lembut dan putih dari domba

Rakyat gembala segera gali sumur
Peras air dari lumpur
Penyiram hijau padang-padang

Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Domba kian kurus kian haus

Pada suatu hari gembala terakhir meninggal
Di sumur-sumur tak setitik air pun tinggal
Baginda dan domba hanya di padang tandus kering

Kini baginda tukar singgasana dengan seruling
Domba demi domba beliau iring
Cari hijau cari penjuru

Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala kian hening kian hening
Akhirnya hanya baginda yang tinggal

Di satu subuh bercuaca sangsai
Sampai baginda di satu pantai
Tanpa domba tanpa mahkota

Berakhir kini kasih dari singgasana kekeringan
Pada mula dari satu kebasahan
Sedang kemarau kian gerah, kian gerah

Di pantai ada kini nisan dari gembala bangsawan
Yang dalam menunggui kemarau berkepanjangan
– Kian retak kian retak

Akhirnya mengguntur guruh satu senja
Bawa berita dari kemarau mencerah
– gerimis sehembus hanya jatuh

Di jauhan, segumpal mendung iseng berlalu…

APA KATA BINTANG DI LAUT

Cerita buat Bayu Suseno, bayi Bu Tono

Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dari suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak bernama tak bersebut

Ia tuan tak bernobat
dari daerah tak berpunya
di mana kesunyian dan kegemuruhan
bersipongah dalam suatu kisah
tak berawal tak berakhir

Siap dekat siapa rapat
tujuh kali tiarap ditimba ruang
siapa lupa siapa alpa
nakhoda, pala dan janda-janda
kena angin pusaran
atau pitam

Ia panglima dari suatu pasukan
tak berbilang tak bernegeri
ia sekutu dari segala hantu
datu badai pengasuh pelangi

Ia berasal dari pegunungan
dari puncak mengabut selalu
– di mana jurang, tebing dan bukit
berkisah seharian dalam sepi menggelepar
tentang bayang mengejar sinar
tentang redup memagut cuaca
– di mana air terjun dari tinggi menjulang
menghempas diri dalam suatu hisak
tentang titik yang demi titik
tiada jemu cari butir perhentian
– di mana bulbul sayu berseru
menghari siamang sepi kerinduan
dan angin lautan swara-swara
di suatu swarga tiada bidari

Ah, ini semua ia telah tinggalkan
ketika ia pada suatu hari
dapati orang pantai depan pintunya
bawa kabar:

“Ibumu tiada akan pulang lagi, kawan,
ia telah dibawa pergi oleh orang-orang
datang merompak ke pekan nelayan
dan bawa segala gadis dan janda
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak”

Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
– yang ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari dongeng-dongeng ibunya

Sejak itu –
ia telah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke laut lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia telah tanya
segala nelayan ia telah sapa
tiada berita
tiada ibu

Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu pencarian tak berkedapatan
dalam suatu bumi tak bermentari
– menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam suatu gurun tak berkelengangan

Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi ahli waris dari
ayah tiri yang ia tak kenal
pembawa lari ibunya dari pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak

Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dalam kegemuruhan
pencari kegemuruhan dalam kesunyian

PADA KEPERGIAN BERSAMA ANGIN

buat murid-muridku di Surabaya

Irama dari bahaya dan bencana

Lagi-lagi gentayangan dari jauhan

Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali

Dan

Berlari jingkat telanjang bulat ke muka

Dengan tembilang

Memupus segala jejak di belakang?

Usah duga

Mana tugu ujung segala pencarian

Hanya

: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat

Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –

Datang, datanglah kau

Ziarahi aku dalam bayang terkulai

Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer…

Dan aku

Akan ziarahi semua

Penziarah

Dengan senyum –

Seribu-kiamat

MERAH JAMBU DI MELATI

Kepada Sitor Situmorang

Ada darah tiris

Dari hati atas melati

Satu satu

Ada melati tumbuh

Diciuman segara dengan gurun

Jauh jauh

Darah beku

Melati layu

Tapal sayu

Ada murai atas cactus

Ada cactus dalam hati

Ada kicau berduri

Sunyi sunyi

PENGAKUAN

Aku ingin memberi pengakuan:

Bulan yang gerhana esok malam

telah kutukar pagi ini

dengan wajah terlalu bersegi

pada kaca yang retak oleh

tengadah derita kepada esok

Kulecut hari berbusa merah

Jambangan di depan jendela terbuka

menyiram kesegaran pagi dengan

pengakuan:

esok adalah bulan purnama

Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961

REQUIEM

Mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!

Aku tiada dapat katakan

apakah pergimu pada fajar atau senja

aku hanya tahu

kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,

kami berkesulitan menghalau gagak-gagak

ingin berhinggapan di lembah kami

dan berseru seharian dalam suatu lagu

yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung

bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik

tapi oleh kawanan gagak

yang kian tutupi celah-celah terakhir

dari kebiruan langit jernih

dan kecuacaan mentari

Kawan

kami kini memikirkan

pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami

untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan

yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami

sebab

sejak kau pergi

pemuda-pemuda gembala dan petani kami

berlomba-lomba meninggalkan lembah

dan pergi lari ke kota

jadi penunggu taman-taman pahlawan

atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah

di sini ada tantangan dari suatu kemuraman

yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan

dengar

di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas

yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak

dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan

kami tiada akan mencari pelarian kami

ke dunia tempat mantera berserakan

walau kami tahu

bahwa mantera ditakuti gagak-gagak

dan akan buat langit kami

kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera

kami benci semua yang bukan datang

dari kelenjar dan darah kami

sebab kami tahu

kekuatan yang dalam tanggapan

adalah jua kelemahan

Tidak kawan

kami akan tantang pertarungan ini

tanpa sikap dan gita kepahlawanan

sebab kami tahu

pahlawan berkehunian

bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan

kesudahan dari pertarungan ini

kebenaran bukan lagi dalam

ramal, tenung ataupun renung

Tapi

andaikata lembah kami

menjadi lembah dari gagak-gagak

dan belulang kami mereka jadikan

bagian dari sarang-sarang mereka

ketahuilah

di sini telah rebah

manusia-manusia yang tiada akan

memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi

andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu

dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali

o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan

dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit

kami

sambil menatap kerinduan ke udara kosong

dan membacakan mantera-mantera …

Pun tiada akan kami kutuki

pemuda-pemuda kami yang lari ke kota

mencari kegemuruhan dalam menunggui kelengangan

sebab

kami mengibai semua mereka

yang tiada tahu dengan diri

pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami

kepenginjakan suatu bumi baru

di mana kami bukan lagi tapal

dari kelampauan dan keakanan

tapi

kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama

dalam penghirupan udara di suatu jagat baru

di mana nilai-nilai ketakberhinggaan

bukan lagi terletak dalam

ramal, tenung ataupun renung

tapi:

dalam kesegaran dan keserta-mertaan!

Aku tiada dapat katakan

apakah pergimu pada fajar atau senja

aku hanya tahu

kau pergi berlangit merah mencerah,

pahlawan!

Surabaya, 29 Januari 1953

BINTANG TAK BERMALAM

(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)

Bertengger atas risau lembayung

Bintang tak tahu

Ke mana pijar hendak dipenjar

(Siang telah reguk segala warna

Bahkan kelam

Tak lagi bagi malam)

Dan pada pelangi

(Yang hanya di siang)

Tak ada berwakil

Warna bintang jatuh

Baca Juga: Beberapa Renungan Tentang Puisi

TENTANG IWAN SIMATUPANG

Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 18 Januari 1928 dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Tahun 1949 pernah menjadi komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara, tahun 1950-1953 bekerja sebagai guru di Surabaya. Tahun 1977 Iwan Simatupang menerima Hadiah Sastra ASEAN. Dramanya: Bulan Bujur Sangkar (1957), Taman (1958), RT Nol/RW Nol (1966), Petang di Taman (1966) dan Cactus dan Kemerdekaan (1969). Novelnya: Merahnya merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Cerpen-cerpennya dibukukan oleh Dami N. Toda dengan judul Tegak Lurus denga Langit (1982).

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *