Kau terbang. Aku terbang. Tetapi pesawatku pesawat kertas. Kata-kata yang luput diucapkan, tertulis berantakan.
Aku tahu setelah ini tak akan ada malam yang sama lagi. Sebelum aku mengunci pintu kamar, kau bertanya, “Apakah ada yang kita tinggalkan?”
Aku spontan menjawab, “Kenangan.”
Tapi bahkan kenangan pun ingin aku bawa, mengemasnya, sampai tak ada sedikit pun yang teringgal.
“Jadi aku harus menunggu di bandara? Sendirian?” tanyamu kemudian. Penerbanganmu yang pukul 16.25 memang di luar rencanaku. Seharusnya dua jam setelah penerbanganku. Namun ketika masih asik bermain dengan pasir pantai Kuta yang seperti merica, ponselku bergetar. Jadwal penerbanganku dimajukan menjadi pukul 12.15.
Aku berniat membantumu memegangi koper. Kau tampak kelelahan setelah sejak pagi-pagi sekali kita menjelajahi pantai-pantai di Lombok Selatan. Tapi, kau menampik niatku itu dengan mengatakan, “Nggak usah, Kak. Laki-laki tidak cocok membawa koper berwarna pink…”
Hal yang paling kubenci adalah penyesalan. Penyesalan untuk tidak mengatakan hal yang ingin kukatakan. Bahkan sampai kita berpisah, hanya ada dua jabatan tangan. Tak ada pelukan.
~
Aku takut ketinggian. Tinggimu 170 cm, menjulang seperti menara. Melihatmu sampai tuntas ke ujung kepala, aku harus mendongakkan mata beberapa derajat. Perbedaan ini, meski 5 cm, melukai harga diriku.
Tak sulit menemukanmu di antara hiruk-pikuk yang ada di bandara.
Aku lupa, di Bali, selain sedang ramai acara Miss World, juga ada APEC. Hal itu mengakibatkan sulitnya mendapatkan tiket penerbangan. Juga jadwal penerbangan yang berubah-ubah.
Aku tak tahu bagaimana nanti Dahlan Iskan menghadiri konvensi calon presiden Partai Demokrat sementara dia harus hadir pada forum ekonomi Asia Pasifik itu. Dia pasti akan datang terlambat ke kovensi.
“Susah ya ngobrol dengan orang yang terbiasa mengurusi negara?” tanyamu dengan penekanan setelah obrolan kita hanya seputar kejadian-kejadian politik dan ekonomi di negara ini.
Sepanjang perjalanan dari bandara, kita masih begitu canggung. Aku bicara ngalor-ngidul mengenai banyak kejadian ekonomi dan kau akhirnya menyela ketika aku menyebut nama mantan Dirut PLN itu.
Ini pertemuan pertama kita setelah sebelumnya kita hanya berinteraksi di media sosial. Keakraban kita memunculkan wacana untuk liburan bersama, yang baru sekarang dapat terwujud.
“Aku ingin minta maaf, biasanya tiket ke Denpasar, tidak pernah selangka ini. Aku juga minta maaf, semalam aku malah menyalahkanmu karena tidak membeli tiket jauh-jauh hari,” kataku penuh penyesalan.
Namun kau kembali sibuk sendiri. Bunyi notifikasi dari ponselmu itu terus menyibukkanmu. Pasti laki-laki. Perasaanku mengatakan demikian.
Sementara aku masih memandangimu. Aku terpana melihatmu. Rambutmu yang tak sampai sebahu, bibirmu yang mungil dan tipis, matamu yang bulat yang terlihat begitu simetris antara kanan dan kiri membuatku terkejut juga, kau secantik ini. Dan aku yakin, seorang pramugari sepertimu pasti memiliki banyak penggemar.
Kau melempar tubuhmu begitu sampai di hotel. Ini pertama kali aku satu kamar dengan pramugari. Aku mau tidak mau harus sembunyi-sembunyi menelan air liur tatkala mellihat kakimu yang jenjang hanya berbalut selembar hot pant.
“Nanti kita cari ayam taliwang ya? Sate rembiga juga!” katamu antusias.
“Rembiga?” Kata itu baru aku dengar.
“Iya, Kak… tiap transit di Bali aku sering beli sate rembiga. Ada yang bilang daging kuda, ada yang bilang daging sapi. Aku suka.”
“Aku tahunya sate belayak, ada di Senggigi.”
“Jadi nanti kita ke Senggigi?”
Aku menggeleng. Aku tak tahu banyak tentang Lombok. Perjalanan ke Lombok adalah hanya waktu senggang di sela posisiku sebagai pegawai negeri. Penempatanku di Sumbawa. Dan kadangkala aku memiliki waktu untuk transit di Lombok sebelum melanjutkan perjalanan ke Denpasar, Surabaya atau Jakarta.
Yang kutahu, Senggigi ada di Lombok Barat. Praya ada di Lombok Tengah. Sementara sekarang kita berada di Kuta, selatannya Lombok Tengah.
“Itu jauh, Nggi,” jawabanku membuat mukamu tampak kecewa. Sementara bunyi-bunyi dari ponselmu masih terus-terusan berdatangan. Aku pun kembali teralihkan.
~
Keesokan harinya kita segera ke Seger, pantai yang menurutku terindah di Lombok. Apalagi tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada kita berdua, menjadikan pantai ini seperti milik kita pribadi.
Dengan segera kau berlari-lari mendekati ombak seperti anak kecil. Pada dasarnya, kau memang masih anak kecil. Usiamu 21 tahun dan masih begitu labil.
Semalam kau bertanya, selain bisa membaca garis tangan, apa aku bisa menilai karakter seseorang. Penilaianku pada seseorang tentu sangat subjektif apalagi jika aku belum pernah bertemu dengannya. Kau pun menunjukkan foto seorang lelaki dari ponselmu. Gagah. “Dia anak Bea Cukai, baru lulus tahun lalu,” kau menerangkan.
“Berarti dia seangkatan dengan mantanmu itu?”
“Tidak, dia D1.”
“Jadi dia pacarmu sekarang?”
“Bukan.”
“Bukan atau belum?”
“Belum. Dia jauh. Di Pekanbaru.”
Takdir apa yang menyebabkan kau selalu memiliki hubungan dengan anak-anak STAN. Tidak tahu kenapa, ada sesak di dadaku. Melihatmu lagi, mendengarkan cerita-ceritamu lagi, berada sedekat ini denganmu, membuatku menyadari, aku masih begitu laki-laki. Pakaianmu yang minim, dengan belahan yang menampilkan nyaris secara sempurna buah dadamu, membuat segala sesuatu milikku berdesir tak karuan.
“Boleh aku pindah ke kasurmu, Nggi?” tanyaku konyol. Menyesal aku tak menerima tawaran single bed petugas hotel.
Kau pun menatapku. Malam itu, rasanya kau hanya 5 cm dari napasku. Namun, 5 cm ini lebih jauh dari 2 cm perbedaan tinggi badan kita.
Seger istimewa juga karena ceritanya. Siapa pun yang berada di Seger seharusnya tahu Putri Mandalika. Tidak jauh dari bibir pantai, sebuah batu karang seperti sebuah jantung.
“Kamu tahu legenda Nyale, Nggi?” aku bertanya sambil memegangi kamera. Memang perjanjian kita bertemu juga adalah untuk memotretmu. Cahaya pukul delapan pagi masih amat lembut.
Tentu saja kau menggeleng. “Nyale?”
“Kecantikan tidak menjamin kebahagiaan…” aku tidak lagi membidikmu. Kuarahkan pandangan pada debur ombak yang tertahan bebatuan. “Nyale itu sejenis cacing laut. Penangkapan nyale sudah menjadi tradisi di Seger ini. Bila saja kamu datang ke sini pada bulan Februari, atau pada tanggal 20 bulan 10 penanggalan Sasak, pantai ini akan sangat ramai,” lanjutku.
“Lalu?”
“Kamu cantik. Seperti Putri Mandalika.”
“Jadi aku tidak akan bahagia?”
“Bukan. Kamu lihat batu besar itu?” Aku menunjuk ke tengah. “Putri Mandalika meloncat dari sana. Kecantikan putri yang tesohor itu jadi rebutan banyak pangeran. Tetapi sang putri tidak memilih siapa pun. Kadang-kadang kita memilih untuk tidak memilih ketimbang memilih salah satu namun malah menghasilkan dampak yang lebih buruk.”
“Aku masih belum paham, Kak. Hubungannya dengan Nyale apa?”
“Putri itu lalu berubah menjadi nyale. Ketika dia melompat, seketika ombak menelannya. Semua orang mencarinya, tapi tak ada yang menemukan tubuhnya. Yang bermunculan adalah nyale-nyale itu.”
Kau tampak tertegun, ikut memandangi batu itu. Tapi lalu maju, menenggelamkan kakimu sampai batas betis. Sempat aku berpikir, kau akan berjalan lurus menuju batu itu, tapi sebelumnya kau sudah bilang, tidak akan berbasah-basahan di sini. Pukul setengah 11 kita sudah harus check-out. Rutinitas mandi-dandan-catokanmu saja minimal menghabiskan waktu 1 jam. Tidak akan sempat.
Lalu kau mengubah arah. Sembilan puluh derajat. Kembali ke pasir. Sampah rumput laut bertumpuk di sepanjang pantai. Aku mengikutimu dari belakang. Aku harus puas dengan punggungmu, dan kusaksikan bayanganku yang pas menimpamu seakan-akan tengah memelukmu. Kau tentu tidak sadar, setiap langkahku kusesuaikan agar bayanganku itu selalu memelukmu.
“Mau ke mana?” tanyaku.
“Ke sana…” Kau menunjuk karang-karang. Tidak ada siapa pun. Hanya kita berdua. Keindahan ini milik kita berdua.
~
Penerbanganmu pukul 16.25. Penerbanganku pukul 12.15. Ada selisih 4 jam 10 menit.
Aku merasa bersalah akan meninggalkanmu. Tapi barangkali inilah waktunya kau akan melihat punggungku.
“Aku harus ngapain, Kak?” Ada nada takut dari pertanyaanmu. Meski ini bukan kunjungan pertamamu ke Lombok, tapi ini adalah perjalanan pribadi pertamamu selain saat kau bertugas.
Aku menatapmu lagi. Aku terlalu sering menatapmu. Entah apa kau sadar, mata ini bersepakat menyatukan pandangannya ke arahmu. Selalu ke arahmu.
Bayangan ketika kau melompat dari batu ke batu yang licin, kakimu yang panjang, matamu yang menyipit karena silau matahari, setiap ekspresi yang lebih sering kuabadikan dalam retina, melupakan tujuan semula, meski sudah lebih dari 200 foto hanya berisi dirimu.
Seolah-olah Tuhan memberiku izin kembali muda.
Tapi Tuhan meletakkan waktu yang tersisa di telapak tangan. Hitungan mundur menunjukkan betapa singkat kebersamaan ini akan tersudahi. Aku lebih banyak diam. Aku lebih banyak memandangmu. Tapi sial, bibirku terkunci rapat. Bibirmu juga tak juga berkata-kata dan asik dengan Z10 terbarumu. Terkutuklah benda itu, telepon seluler, yang memperburuk kondisi berprikehidupan manusia!
Kemudian kau terbang. Aku terbang. Begitu saja.
Tetapi pesawatku pesawat kertas, kata-kata yang tak sempat diucapkan, tertulis berantakan.
Baru kusadari pula, aku tak pernah benar-benar sanggup mengucap penuh namamu. A N G G I, yang juga nama cinta pertamaku. Ketika kuceritakan hal ini kepadamu, kau menjawab, “Ini sudah ketiga kalinya kakak cerita itu…”
Tiga tahun di SMP itu, tak sekalipun aku mengungkapkan cinta. Sepuluh tahun setelah itu, aku berkenalan denganmu, dengan tak sengaja. Dan aku melihat citraan yang sama dari dirinya di dirimu.
Bila benar cinta adalah kebetulan, ada bagian diriku yang jatuh cinta padamu. Entah ruang mana.
Kita berjabat tangan lagi. Tak ada pelukan. Tak ada pertanyaan sederhana semisal, “Apa kau bahagia bersama denganku satu hari ini?”
Bunyi pengumuman kedatangan. Bunyi pengumuman peringatan untuk masuk ruang tunggu. Bunyi ponselku yang bergetar kali ini. Sebuah pesan singkat masuk. Menanyakan kabar. Istriku.
Ya, aku telah menikah. Aku hampir lupa aku telah menikah.
(2013-2015)
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #Jalan2INDONESIA yang diselenggarakan Nulisbuku.com, Storial.co, dan Walk Indies.