Saya pribadi tidak percaya minat membaca anak Indonesia rendah meski sebuah penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2019 menunjukkan rata-rata indeks Alibaca di Indonesia hanya sekitar 37,32 persen. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan tingkat literasi di Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei.
Anak Indonesia masih sangat hobi membaca. Hanya saja, pertanyaannya adalah apa yang mereka baca? Saya sepakat bila disebutkan bahwa Generasi Z dan Generasi Alpha memang sudah “meninggalkan buku”. Nasib Indonesia sebagai negara berkembang adalah gagap dalam transisi budaya, yang belum kembali membangun budaya tulisan (sejak genosida 1965) lalu gagap menghadapi budaya digital. Buku ditinggalkan ketika buku belum dipahami sebagai budaya.
Karena itu lebih tepat, bukan minat baca yang rendah, melainkan minat mendalami bacaan.
Literasi kerap dimaknai sempit sebagai aktivitas baca dan tulis. Padahal, literasi merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Kata kuncinya adalah “kemampuan dan keterampilan” yang dihasilkan dari sebuah pemahahan/pengetahuan.
Budaya digital tadi melahirkan efek samping berupa instanisme. Dunia menjadi serba cepat. Membaca pun dilakukan dengan cepat. Bila dulu membaca dilakukan urut per halaman untuk memahami keutuhan pemikiran, sekarang hanya bermodalkan mesin pencari (Google) semua informasi bisa dicari. Yang lebih tidak mau susah, semua informasi yang terbaca di layar (entah apa pun sumbernya) dipercaya.
Namun, usaha-usaha apa pun untuk memperbaiki itu patut diapresiasi. Meski banyak sekali yang masih di permukaan, tanpa menggali permasalahan. Dan yang luput adalah pertanyaan, apa yang ingin dibaca oleh Generasi Alpha dan Generasi Z, yang berbeda dengan generasi Y atau lebih dikenal dengan milenial yang masih punya akar bacaan?
Dalam rangka Hari Buku Sedunia dan mendukung Gerakan Literasi Nasional, Danone Indonesia bekerja sama dengan Tentang Anak meluncurkan program BACA. Program ini bertujuan untuk mengajak anak mencintai kegiatan membaca dan belajar kebaikan kepada anak-anak melalui sumbangan buku bacaan. Selain buku series “Sikap Baik”, Danone Indonesia juga turut mendonasikan buku Sampahku Tanggung Jawabku dan Isi Piringku. Masyarakat luas juga dapat turut berdonasi melalui @wecare.id.
Talk show dan launching project baca yang bertajuk “Dukung Anak Sehat Berliterasi Dengan Asupan Gizi Seimbang dan Pola Asuh Orang Tua” diselenggarakan pada hari Jumat, 23 April 2021 dengan nara sumber yaitu Arif Mujahidin ( Corporate Communication Director Danone Indonesia), dr.Mesty Ariotedjo, S.pA (Dokter Spesialis Anak dan CEO Tentang Anak), Fathya Artha, M.Sc., M.Psi (Psikolog, Co-Founder Tigagenerasi).
Arif Mujahidin (Corporate Communication Director Danone Indonesia ) menyampaikan dalam talk show ini bahwa Terpenting dalam meningkatkan tingkat baca yakni dengan berkerjasama melakukan hal yang sama dengan berbagai pihak. Indonesia memiliki jumlah anak sebanyak 25 juta, karenanya penting berkerjasama. “Kami yakin bahwa untuk mendukung anak hebat berliterasi, kita perlu menanamkan kecintaan terhadap literasi membaca pada anak sejak dini. Kami mengajak para orang tua agar membiasakan anak membaca dan berbuat kebaikan dengan memanfaatkan momen Ramadan. Sebab, selain memerlukan asupan gizi seimbang untuk mengoptimalkan imunitas dan tumbuh kembangnya, anak memerlukan dorongan berupa stimulasi agar daya pikir dan kemampuan sosial emosionalnya berkembang,” lanjutnya.
Dr. Mesty Ariotedjo, Sp.A, Dokter Spesialis Anak menyampaikan bahwa keluarga merupakan salah satu dari trisentra pendidikan sebagai tempat pendidikan yang pertama dan utama. Dr. Mesty menambahkan, “Orang tua dapat memanfaatkan momen Ramadan di masa pandemi ini untuk mengajarkan kebaikan pada anak agar dapat menyebarkan aksi kebaikan ke lingkungan sekitar. Untuk itu, selain mendukung tubuh yang sehat, mereka juga perlu dibekali kemampuan berpikir dan keseimbangan emosi. Ketiganya bisa diberikan melalui dorongan dari dalam berupa pemberian nutrisi dan stimulasi yang tepat, yang disesuaikan dengan tahapan tumbuh kembang anak, salah satunya melalui membaca.”
Di kesempatan yang sama, Fathya Artha Utami, M.Psi, Psikolog Anak memaparkan bahwa Ramadan di situasi pandemi memiliki tantangan tersendiri bagi anak. “Ruang gerak yang terbatas, pilihan kegiatan yang cenderung monoton, ditambah minimnya interaksi dengan teman bisa menjadi faktor anak merasakan stres. Stres anak bisa berpengaruh pada emosi yang tidak stabil yang bisa terlihat dari perilaku anak menjadi sulit diajak bekerja sama. Hal ini dapat menjadi tantangan bagi orangtua dalam melakukan ruitinitas bersama anak, misalnya kegiatan makan yang menjadi kunci utama dalam meningkatkan imunitas anak terutama di bulan Ramadan,” jelas Fathya.
Semoga saja program ini bisa meningkatkan literasi anak. Penting memang untuk menanamkan kemampuan literasi dalam tumbuh kembang anak. Bukan hanya sebagai bahan edukasi anak, melainkan juga tumbuhnya logika dan caranya memahami kehidupan.