Pentingnya Digitalisasi Bagi Keberlangsungan Wirausaha Kuliner

Menurut kalian, apa yang menyebabkan Indonesia tidak hancur pada saat krisis ekonomi 97-98?

Pertanyaan dari dosenku itu mengiang-ngiang di kepalaku. Dalam mata kuliah Kepemimpinan, ia bercerita sebenarnya ada pihak-pihak yang menginginkan Indonesia hancur lebur saat krisis ekonomi itu terjadi. Namun, meski krisis terjadi, Indonesia tidak hancur lebur. Apa yang menyebabkan itu?

Ada variabel yang tidak diperhitungkan yakni mereka yang tidak bergantung pada akses moneter. Mereka adalah para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Para penjual gorengan tahu di pinggir jalan itu, mereka-mereka itulah yang menyelamatkan bangsa ini…

Pemerintah setelah reformasi pelan-pelan menyadari peran para pelaku UMKM itu. Perhatian demi perhatian diberikan. Bahkan Pemerintah beberapa tahun meluncurkan Pembiayaan Utra Mikro (UMi) yang diprakarsai Direktorat Sistem Manajemen Investasi di Kementerian Keuangan.



Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) ini adalah program bantuan sosial dengan tujuan kemandirian usaha yang menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah. Ya, mereka yang belum bisa difasilitasi perbankan kemudian dapat dibantu melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). UMi memberikan fasilitas pembiayaan maksimal Rp10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).

Tidak main-main, jumlah penerima bantuan ditargetkan mencapai 800.000 pelaku usaha dengan dana 3,24  triliun tahun lalu.

Namun, Pemerintah tidak boleh sendirian. Keterlibatan swasta juga diperlukan dalam membangun infrastruktur bagi para pelaku UMKM dan UMi tersebut.

Wirausaha Kuliner

Salah satu usaha yang nggak ada matinya adalah usaha kuliner. Aku juga berkeinginan dalam waktu dekat, jika jadi balik kampung ke Palembang, akan membuka usaha kuliner. Tempat sudah ada. Tidak muluk-muluk, aku ingin buka warung kopi + mi ala anak kos-kosan mengingat tempat yang tersedia dekat dengan kampus Universitas Sriwijaya.

Tentu di era reformasi industri 4.0 digitalisasi layanan semakin penting. Intinya memang tetap menyediakan tempat untuk para mahasiswa nongkrong menyegarkan pikiran di sela mengerjakan tugas. Namun, digitalisasi layanan itu tak bisa dihindarkan.

Pemikiran tradisional dalam membuka wirausaha kuliner adalah lokasi, rasa, fasilitas tempat. Lalu pusing-pusing menarik pelanggan agar mau datang dan betah.

Namun digitalisasi keuangan membuat pertimbangan yang harus dimasukkan bertambah. Digitalisasi keuangan seharusnya juga membuat kita menjadi lebih mudah dari sisi pembayaran bahkan hingga ke rekapitulasi penjualannya.

Tidak semua pelaku usaha kuliner yang mikro dan kecil paham hitung-hitungan. Mereka harus dibantu dengan semacam aplikasi kasir yang mampu mengerjakan pekerjaan “komputerisasi” itu.

Plus sekarang ini pembayaran tidak hanya tunai. Gerakan nontunai dalam menciptakan cashless society yang dicanangkan Bank Indonesia juga harus menjadi pertimbangan.

Mengenal SPOTS

SPOTS menjadi jawaban itu. Ia punya multifungsi. Aplikasi ini milik GOJEK untuk semua kebutuhan pelaku UMKM di Indonesia. Aplikasi ini bisa berguna dari terima pemesanan GO-FOOD, pembayaran GO-PAY, hingga laporan harian dari beragam tipe pembayaran dan cetak resi secara instan.

Coba bayangkan kalau pekerjaan itu memakai aplikasi mesin kasir biasa. Bakal lebih lama selesainya. Aplikasi kasir SPOTS menghemat waktu dan uang dengan mengotomatisasi banyak tugas penjualan sehari-hari. Selain itu, harganya sangat terjangkau. Biaya aktivasinya hanya Rp290.000 dan biaya pemeliharaan Rp. 2.900/hari).

Simpelnya gini, dengan aplikasi kasir ini, jadi ada nota. Kita jadi tahu Point of Sale kita. Detail makanan apa saja yang sudah terjual, berapa jumlahnya. Transaksi harian pun bisa tersaji dengan rapi. Sehingga kita jadi tahu tepat keuntungan yang kita dapatkan.

Dari Kuliner hingga Krisis Ekonomi

Pasti banyak yang tidak mengira bahwa keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah adalah kunci perekonomian Bangsa. Terlebih usaha kuliner.

Saya suka dengan frasa “feeding the nations”. Ketika usaha kuliner justru berkembang dan dikembangkan oleh UMKM dan UMi, itu sebenarnya cerminan bahwa bahan pokok makanan kita masih bisa disediakan dengan murah dan stok memadai. Atau dalam sudut pandang lain, ketika UMKM dan UMi berkembang, permintaan bahan baku makanan juga akan berkembang. Berkembangnya permintaan ini akan memicu produksi bahan baku untuk memenuhi permintaan tersebut. Jangan sampai impor tapi ya.

Dan tidak ada krisis ekonomi yang dipicu sektor riil seperti itu. Justru kerjasama Pemerintah dan swasta dalam akses pembiayaan hingga ke infrastruktur teknologi hendaknya menciptakan sinergi untuk pembangunan sektor riil sebagai pilar perekonomian. Sehingga bila ada tekanan ke moneter, kita tidak akan goyah.

Artikel ini didukung oleh SPOTS

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *