Pelaksanaan Fungsi Treasury dalam Pengelolaan Keuangan Negara oleh Drs. Siswo Sujanto, DEA.

Masih adakah peran Bendahara Umum Negara (BUN) atau Treasurer dalam konstelasi lembaga pengelola Keuangan Negara di Indonesia dewasa ini? Pertanyaan semacam ini, bagi para elit pengelola keuangan negara mungkin dirasakan sebagai pertanyaan yang aneh. Bahkan, mungkin dianggap sebagai pertanyaan yang mengada-ada atau sebagai silly question. Namun, kalau saja para elit tersebut mau jujur dan mau sedikit memperhatikan praktik pengelolaan Keuangan Negara pada saat ini, pertanyaan yang sama, walaupun mungkin sangat samar akan muncul juga dalam pemikiran mereka.

Di sisi lain, pada tingkat mikro, pertanyaan tersebut menjadi sangat jelas, atau justru merupakan titik kritis, pada tingkat kajian teknis yang kini berkembang di republik ini. Berbagai pihak boleh saja berpendapat bahwa penyerahan kembali sebagian kewenangan Menteri Keuangan di bidang penganggaran kepada Bappenas adalah sebuah langkah maju. Penyerahan kewenangan penganggaran tersebut, yang konon telah menempatkan Bappenas seperti layaknya Office Management of Budget (OMB) dalam sistem pengelolaan Keuangan Negara di Amerika, menurut para elit pengelola Keuangan Negara di Indonesia, adalah sebuah kebutuhan di negara ini. It is a must! Apanya yang salah, kata mereka. Toh di Amerika Serikat, tempat kelahiran sistem yang menggunakan Lembaga OMB, pola tersebut tidak pernah menimbulkan masalah. Bahkan, masih kata mereka, berbagai negara, termasuk negara di Asia, seperti Korea Selatan dan Thailand, juga telah menerapkan pola tersebut sejak beberapa tahun lalu.

Oleh karena itu, usul yang digagas oleh Kementerian Keuangan, yang sudah tentu merupakan buah pikir para elit di Kementerian Keuangan, yang telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran, adalah merupakan langkah yang tepat menuju pola baru pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia. Walaupun, disadari atau tidak, langkah tersebut ternyata tidak sejalan dengan Undangundang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Tapi, untuk dan atas nama kemajuan, menurut mereka, langkah itu sah-sah saja. Kalau memang perlu, bahkan, harus dilakukan reformasi yang membawa perubahan yang sangat mendasar pada sistem dan tatanan kelembagaan pengelola Keuangan Negara di Indonesia.

Hal-hal tersebut di atas, menurut hemat saya, adalah merupakan wacana yang sangat menarik untuk dijadikan entry point dalam mengawali diskusi tentang Perbendaharaan atau Treasury, baik dari segi kelembagaan maupun perannya dalam sistem pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia, khususnya ditinjau dari segi makro konsep. Sementara itu, di sisi lain, berbagai permasalahan teknis yang muncul dalam pelaksanaan pengelolaan Keuangan Negara antara Kementerian Keuangan, dalam hal ini pemegang fungsi treasury, yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dengan pihak-pihak lain, yaitu Kementerian/ Lembaga dan masyarakat, merupakan segi mikro yang tidak kalah menariknya untuk didiskusikan. Terkait dengan itu, materi diskusi akan disajikan dalam dua bagian, yaitu: Pengaruh Sistem Politik Terhadap Lembaga Pengelola Keuangan Negara, dan Fungsi Treasury Dalam Pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia.

PENGARUH SISTEM POLITIK TERHADAP LEMBAGA PENGELOLA KEUANGAN NEGARA

Bukan seperti yang pada umumnya dipahami oleh berbagai pihak, bahwa ternyata menurut taxonomie (pohon keilmuan), Ilmu Keuangan Negara merupakan cabang dari Ilmu Hukum Tata Negara. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila ilmu Keuangan Negara banyak bersinggungan dengan Ilmu Politik dan Ilmu Hukum. Inilah praktek dan pemikiran yang hingga kini berkembang dan dikukuhi hampir sebagian besar Ahli Keuangan Negara di daratan Eropa.

Oleh karena itu, Anggaran Negara, yang merupakan inti dari Keuangan Negara, didefinisikan sebagai sebuah bentuk ‘kesepakatan’ antara Lembaga Eksekutif dan Lembaga Legislatif yang dituangkan dalam sebuah dokumen politik. Kesepakatan dimaksud berisi sebuah rencana kerja yang dituangkan dalam bentuk uang.

Atas dasar kenyataan tersebut, sistem politik di suatu negara sangat berpengaruh terhadap system kelembagaan pengelolaan keuangan negaranya. Hal ini dapat dilihat secara nyata di negara-negara yang menganut sistem politik dengan model Monochepalist atau yang lebih dikenal dengan system Presidentiel, dibandingkan dengan negara negara yang menganut system politik dengan model Bichepalist atau yang lebih dikenal dengan system parlementer.

Dalam system presidential di mana Presiden merupakan Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan, kewenangan untuk menyusun rencana anggaran mutlak di tangan Presiden. Dalam system ini, seorang Presiden hanya membutuhkan sebuah institusi yang mampu menerjemahkan janji-janji kampanyenya (presidential campaign) ke dalam rencana aksi yang akan diwujudkan secara berkesinambungan selama kepemimpinannya. Artinya, lembaga tersebut memiliki tugas menyusun perencanaan sekaligus menyusun penganggarannya. Pola ini dipelopori oleh Amerika Serikat. Dan institusi penerjemah janji-janji kampanye kepresidenan tersebut dikenal dengan nama Office Management of Budget (OMB). Sebagai lembaga penyusun perencanaan yang sekaligus menuangkannya dalam rencangan anggaran pendapatan dan belanja negara, OMB memiliki peran:  Menyusun asumsi ekonomi makro  Menyiapkan proyeksi penerimaan pajak, dan  Membahas berbagai aspek perencanaan dan penganggaran dimaksud dengan Presiden dan para pembantunya. Page 4 Dengan pola seperti tersebut, system pengelolaan keuangan negara di Amerika Serikat tidak memerlukan institusi Kementerian Keuangan. Sementara itu, yang dibutuhkan adalah sebuah Treasury Department.

Sementara itu, system politik dengan model Bichepalist dikenal dengan sitem politik parlementer. Dalam system ini, terdapat pemisahan antara peran Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Sistem politik semacam ini populer di berbagai negara di daratan Eropa, baik yang berbentuk republik maupun yang berbentuk kerajaan. Yang penting untuk dikemukakan dalam system ini terkait dengan masalah penganggaran, adalah bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan hasil kolaborasi antara Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan. Dalam system yang populer di daratan Eropa ini, peran Menteri Keuangan dalam penyusunan anggaran adalah sangat dominan. Dalam berbagai kepustakaan tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa Menteri Keuangan memimpin rapat pembahasan anggaran atas nama Kepala Pemerintahan. Dalam konstelasi kelembagaan pengelola Keuangan Negara dapat dilihat keberadaan Kementerian Perencanaan, Kementerian Keuangan yang memegang fungsi penganggaran dan perbendaharaan. Sementara itu, bila diperhatikan, di Perancis, di samping Menteri keuangan terdapat pula Menteri Anggaran yang membawahi Direktur Jenderal Perbendaharaan.

Fungsi Treasury Dalam Pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia

Kendati Indonesia menganut system politik dengan model monochepalist, di mana Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus juga merupakan Kepala Pemerintahan, system politik Indonesia ternyata berbeda dengan system politik Amerika Serikat. Salah satu perbedaan yang mencolok adalah kewenangan Presiden di bidang legislasi.

Sementara itu, walaupun system politik Indonesia tidak berbeda dengan pola system politik Amerika Serikat yang menganut pola Monochepalist, dalam tata kelembagaan pengelola keuangan negara, Indonesia lebih condong mengikuti pola Eropa.

Sejak kemerdekaan, Indonesia mengenal adanya institusi perencanaan, yang dulu dikenal dengan nama Depernas yang dalam perkembangannya kini menjadi Bappenas, dan Kementerian yang mengelola keuangan, yaitu Kementerian Keuangan. Di dalam Kementerian Keuangan itu sendiri, dari sejak dulu dikenal adanya pemegang fungsi treasury, yaitu yang bermula bernama Direktorat Thesauri Negara, kemudian menjadi Direktorat Perbendaharaan dan Tata Laksana Anggaran, yang kini bermetamorfosa menjadi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara.

Dalam perkembangannya peran treasury pernah berada pada posisi yang salah dari sudut konsepsi pengelolaan keuangan yang baik, yaitu ketika berada di bawah Direktorat Jenderal Anggaran. Pola Kelembagaan Pengelola Keuangan Negara sebagaimana disampaikan di atas sudah secara jelas dan tegas tertuang dalam Undang-undang No. 17 tahun 2003, yaitu Undang-undang Keuangan Negara. Sementara itu, peran treasury secara rinci telah dituangkan dalam Undang-undang no. 1 tahun 2004, yaitu Undang-undang Perbendaharaan.

Yang kini justru perlu dipertanyakan, adalah bagaimana implikasi terbitnya PP No. 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran yang konon menempatkan Bappenas dalam posisi seperti layaknya OMB dalam system Lembaga pengelola keuangan negara di Amerika ? Apakah peran Kementerian Keuangan juga akan disesuaikan sebagai Secretary of Treasury nya Indonesia ? Semua itu kiranya perlu diperjelas sejak hari ini, sebab siapa yang berani menyatakan bahwa kelembagaan pengelola Keuangan Negara, khususnya, di Kementerian Keuangan masih memiliki kewenangan yang utuh, walaupun secara de facto secara kelembagaan memang tidak berubah. Perubahan seperti apa yang akan dilakukan dalam kelembagaan ? Harusnya Kementerian Keuangan tidak perlu malu-malu untuk bertanya pada dirinya sendiri. Haruskah menjadi Bendahara Umum Negara ataukah harus tetap menjadi Kementerian Keuangan ?

Sebenarnya, peran Bendahara umum Negara, bila diperhatikan bukanlah peran yang sederhana. Dalam praktek selama ini, kendati telah dituangkan dalam undang-undang, peran Bendahara Umum Negara hanya bergerak dalam dimensi mikro. Hanya sekedar melaksanakan kegiatan terkait dengan penerimaan dan pengeluaran negara. Itu pun peran-peran pentingnya sudah tidak lagi ditangannya dengan alasan tertentu.

Dalam kaitan ini, bisa diperhatikan jargon yang menyatakan bahwa The Minister of Finance is the last resort of the Government expenditures kini sudah tidak lagi kedengaran. Padahal, itu adalah peran penting Bendahara Umum Negara yang dapat menghindarkan financial fraude dalam pengelolaan keuangan yang mungkin dilakukan oleh berbagai pihak. Jargon tersebut adalah sebuah cerminan dari prinsip mekanisme check and balance yang menjadi unsur dalam Fiscal Transparency.

Mengacu pada konsepsi yang tidak berbeda dengan negara-negara lain, harusnya, fungsi treasury dapat berkembang dalam dimensi yang lebih luas, yaitu dimensi makro. Bila berpatokan pada penelitian Adolf Wagner yang kemudian melahirkan dalil yang berupa the law of ever increasing government expenditures yang pada gilirannya menempatkan APBN sebagai alat kebijakan ekonomi Pemerintah, sudah seharusnya fungsi treasury menjadi sangat penting. Berbagai konsekuensi atas hal tersebut, sebagaimana dilakukan di berbagai negara Treasury atas nama Pemerintah melakukan kegiatan di bidang fiskal, moneter, dan ekonomi. Dengan peran yang dilakukan setiap saat ketika menghadapi terjadinya deficit anggaran, Bendahara Umum Negara adalah The Banker of The Government. Dan tugasnya bukanlah sekedar menangani cash mismatch. Dalam beberapa hal, tidak dipungkiri bahwa banyak fungsi treasury yang telah ada dan dilaksanakan di Kementerian Keuangan. Fungsi-fungsi tersebut terserak di berbagai Direktorat Jenderal. Keterserakan peran dan fungsi tersebut hari ini telah menempatkan Direktorat Jenderal Perbendaharaan menyandang nama yang terlalu besar. Padahal dalam kenyataannya, hanya melakukan fungsi dan peran treasury yang sangat kecil.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

3 Comments

  1. Ini kemarin kayaknya disampaikan di kampus pkn stan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *