Mengapa Saya Menulis Puisi?

Mengapa Saya Menulis Puisi berjudul asli 24 Pengakuan Subagio Sastrowardoyo, disarikan oleh Hasan Aspahani.


Subagio Sastrowardoyo“HASRAT akan kelanggengan itu juga yang mendorong saya menulis,” kata Subagio Sastrowardoyo dalam esainya “Mengapa Saya Menulis Sajak?”. Esai itu menyertai bukunya “Keroncong Motinggo” (Balai Pustaka, Cet. 1, 1985, Cet. 2 1992). Esai itu adalah terjemahan naskah ceramahnya dalam seminar pengarang-pengarang Ausralia, 6 Oktober 1972.

Sebenarnya, kata Subagio, hasrat yang sedemikian itu terdapat pada semua orang, sekalipun umumnya kita tidak menyadarinya. Yang harus dilakukan oleh seorang penyair untuk itu adalah memperkembangan daya cipta dalam dirinya dengan cara melatih jiwa mencapai keheningan serta kecerahan. Keheningan dan kecerahan adalah “… saat keadaan batin yang paling baik buat ilham timbul,” ujarnya.

Esai ini penting. Dari esai ini kita mendapatkan pelajaran tentang kenapa seorang menjadi menulis puisi, bagaimana penyair bekerja dan mempersiapkan batinnya untuk masuk ke proses penciptaan, dan apa arti puisi bagi penyair. Untuk itu saya menyarikannya dalam 24 butir – ah, sebagai sebuah ringkasan tulisan ini masih panjang sekali – karena nyaris tak ada yang tak bernilai dari “pengakakuan” Subagio Sastrowardoyo ini.

 

Kenapa Menulis Puisi?

1. Adakecenderungan asasi dan alamiah dalam diri manusia untuk menjadi tokoh. Pada seniman ditambah keriaan lain yang khusus yaitu cita-cita hendak mencapai nilai yang kekal.

2. Seniman hendak menciptakan nilai-nilai seni yang kekal yang sanggup bertahan menghadapi pertimbangan-pertimbangan estetik yang berubah-ubah menurut perbedaan waktu.

3. Dengan pikiran yang terlibat para nilai-nilai yang kekal denderung membatasi daerah perhatian seniman sehingga menciut dan menunggal, dan kemampuannya memusatkan pikiran menyanggupkan dia mencakup secara intuitif intipati-intipati, baik pada kenyataan batin maupun lahir.

4. Dengan kesusasteraan saya dapat mengucapkan diri secara penuh sebagai manusia, sekalipun saya insaf bawah bayangan yang terlukis lebih kekal dan universal daripada bahasa sebagai sarana sastra.

5. Di dalam kesusasteraan pengalaman estetik tidak hanya melibat saat-saat jasmaniah, penginderaan dan perasaan dari kehidupan kita sebagi insan, tetapi bersangkutan juga dengan masalah-masalah, pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan yang menjadi ciri khas kehidupan manusiawi.

 

Kenapa Menulis Puisi

6. Roman dan cerita pendek, apapun gayanya, bersendi pada realisme, dan sekali kita telah mengatasi tahap penyuguhan itu dan bergerak dalam penulisan sajak – tahap yang merupakan alam bayangan angan-angan yang tidak terikat pada norma-norma obyektivitas, “akal sehat” dan kewajaran logika – maka sukarlah kita untuk berpaling lagi.

7. Di dalam penulis sajak keterpukauan saya pada nilai-nilai keindahan yang kekal tidak saja merupakan desakan untuk menulis, tetapi juga mempengaruhi pemilihan pokok karangan.

8. Makin kuat saya berpegang pada keinginan akan kehadiran yang langgeng, makin mengerikan hantu kebinasaan tampak merundung saya. Saya seperti mengalami semacam katarsis, semacam pembersihan batin yang meredakan ketakutan itu, kalau saya sedang menulis tentang kematian.

9. Pada saat saya mengalami kecerahan penglihatan filsafat saya sanggup mengatasi ketakutan itu dengan menangkap secara intuitif kebenaran bahwa kelanggengan meniadakan batas yang nyata antara hidup dan mati.

10. Kemasygulan tentang nilai-nilai kekal yang memberikan ilham kepada saya untuk menulis sajak, tetapi yang disamping itu telah mendatangkan rasa hidup yang sedih, tidaklah selalu menyuruki pikiran saya. Kebanyakan waktu saya normal dan dapat menikmati hidup dengan tinggal pada permukaan dan pinggir kehidupan.

Tentang Bayangan Batin

11. Sajak ditulis dari penglihatan bayangan batin, bayangan yang timbul pada waktu saya terlibat secara emosional pada sesuatu peristiwa atau pada waktu jiwa saya sedang tenang dan hening.

12. Ketika saya mendapat ilham, kata-kata dengan sendirinya menetes dari batin saya dan menyusun sendiri menjadi sajak. Kerapkali saya merasa seperti mabuk kata-kata, dan pedoman yang saya pakai dalam menguasai desakan aliran kata-kata itu adalah irama yang melekat padanya.

13. Waktu menerima luapan ilham saya tidak amat peduli adakah apa yang saya katakan di dalam sajak dapat dimengerti oleh pembaca ataupun dapat diterima oleh ukuran, aturan atau teori-teori sastra yang ada.

14. Saya hanya percaya dan yakin akan kejernihan dan kesejatian bayangan batin saya dan menyatakannya dalam sajak. Acapkali sajak-sajak saya saya rasa sebagai monolog, bicara sendiri, yang tercatat dalam tulisan pada saat kecerahan dan keheningan jiwa.

15. Sajak tercipta pada saat-saat estetis atau saat-saat puitis yang sekilas-sekilas, dan pada saat-saat itulah berkilat bayangan-bayangan batin. Pada saat-saat puitis itu juga segala sesuatu menjelas pertaliannya yang asasi dengantugs-tugas sert makna-maknanya yang pokok.

16. Bayangan batin itu mungkin merupakan buah dari permenungan yang lama tentang tujuan-tujuan akhir serta nilai-nilai kekal di dalam hidup, yang pada suatu hari tiba-tiba mekar di tengah cahaya batin, seperti kuncup bunga yang telah matang lalu kembang dan meriap.

17. Saya lebih sabar dan lebih suka menantikan saat-saat puitis itu tiba sendiri. Saya berusaha tinggal dengan sepenuhnya di tengah-tengah gelora kehidupan dan membiarkan diri telibat, tidak hanya dengan seluruh diri saya dan sepenuh hati sehingga hati itu berbicara.

Imagery atau Gatra

18. Pertalian-pertalian itu tertangkap dengan sekaligus secara intuitif dan dengan imagery atau gatra, yang merupakan unsur yang inti pada pembangun sajak, menjelma dalam batin.

19. Gatra, baik yang visual maupun verbal (yang tampak dan yang terdengar sebagai kata), yang terbit sebagai bayangan batin, mengandungi intipati kebenaran yang terbuka bagi mata penyair pada saat-saat rahmat itu.

20. Makin dalam perenungan ke dalam bayangan-bayangan batin itu, makin bersegi seluk-beluk pertalian gatra, yang berakibat pada utuh serta kukuhnya tubuh sajak.

Keaslian dan Kepribadian

21. Ciri keaslian serta kepribadian sendiri pada karya akan timbul sendiri selama kita menggantungkan diri sendiri serta percaya kepada bayangan batin yang menjelma dengan jernih di dalam diri kita.

22. Segala sesuatu yang pernah diperkatakan oleh pengarang lain atau oleh saya sendiri nampak banal pada saya, dan menurut penglihatan saya aktivitas sastra yang benar ditandai oleh usaha untuk mengatasi keboyakan-keboyakan karangan yang pernah ada, baik mengenai apa yang pernah ditulis maupun mengenai bagaimana menulisnya.

23. Saya ingin meninggalkan dan melampaui gagasan serta gaya yang ada dalam sastra, sekalipun saya insaf betapa sia-sianya usaha demikian itu karena mustahil menghindarkan diri dari pengaruh jiwa-jiwa besar di dalam dunia sastra.

24. Usaha saya menghindari pengulangan tulisan orang lain maupun tulisan saya sendiri di masa yang sudah merupakan unsur yang sadar di dalam proses penciptaan. Di situlah jiwa saya yang jaga memainkan peranannya dengan mengatur mengalirnya bayangan yang visual dan verbal.

Jakarta, 5 Februari 2020

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *