Mencermati Inflasi Selama Ramadan

Tulisan asli dimuat di Detik dengan judul Inflasi Musiman Bulan Ramadhan.

inflasi ramadan

Sejak sebelum memasuki Ramadhan, toko-toko penuh. Banyak orang seperti ingin berbelanja untuk satu bulan penuh. Pada saat itu, harga-harga juga merayap naik. Inilah yang kemudian disebut inflasi.

Inflasi adalah istilah untuk fenomena naiknya harga barang di masyarakat. Titik tekannya bukan pada “naiknya harga barang”, melainkan pada “fenomena” atas proses meningkatnya harga-harga barang secara terus-menerus yang disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari konsumsi yang meningkat (permintaan lebih tinggi daripada penawaran), proses distribusi yang tidak lancar, atau melimpahnya uang beredar.

Harga barang yang naik itu mengakibatkan turunnya nilai mata uang. Proses ini berlangsung terus-menerus dan saling mempengaruhi harga barang yang lain.

Inflasi sendiri terdiri dari tiga komponen, yakni inflasi inti (core inflation), inflasi volatile food, dan inflasi yang diatur pemerintah (administred price). Pada bulan Ramadhan, komponen inflasi yang mengalami kenaikan adalah volatile food atau kelompok bahan makanan.


Selengkapnya tentang INFLASI


 

Bank Indonesia pernah melakukan studi tentang pola inflasi pada bulan Ramadhan hingga Idul Fitri tahun 2011-2014 yang menunjukkan laju inflasi menjadi semakin kencang. Pemicunya terutama karena inflasi pada harga pangan yang disumbang oleh beras, daging-dagingan, dan aneka bumbu masak.

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) tentang inflasi memang masih menunjukkan angka yang baik-baik saja. Pada triwulan I, angka inflasi kita masih 2,83% yoy. Angka ini masih dalam batas terkendali. Sasaran inflasi 2019 yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 124/PMK.010/2017, yakni sebesar 3,5% +/- 1%.

Meski angka ini terlihat baik-baik saja, ada ancaman yang membayangi di balik angka tersebut. Sebagaimana kita tahu, harga merupakan fungsi dari permintaan dan penawaran. Harga bisa naik manakala permintaaan juga naik. Harga juga turun ketika permintaan turun. Turunnya permintaan ini adalah indikasi dari turunnya daya beli masyarakat. Harga bukannya tidak naik, tetapi tidak bisa naik karena mengimbangi daya beli tersebut.

Salah satu cara untuk melihat penurunan daya beli tersebut adalah dengan membandingkan kenaikan upah profesi dibandingkan dengan inflasinya. Selisih di antaranya itulah yang menunjukkan upah riil. Dari cara itu diketahui, beberapa profesi seperti buruh dan petani mengalami penurunan daya beli.

Namun, secara keseluruhan penurunan daya beli masyarakat itu bisa disanggah juga. Variabel lain yang menunjukkan hal itu adalah angka inflasi inti. Jika inflasi inti masih positif, maka daya beli bisa dianggap stabil atau meningkat.

Data April 2019 menunjukkan terjadi inflasi sebesar 0,44%. Inflasi tertinggi terjadi di Medan sebesar 1,30% dan terendah terjadi di Pare-Pare sebesar 0,03%. Uniknya, deflasi juga terjadi, tertinggi di Manado sebesar 1,27% dan terendah di Maumere sebesar 0,04.

Inflasi terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya seluruh indeks kelompok pengeluaran, terutama kelompok bahan makanan sebesar 1,45%, kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,19%, kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar sebesar 0,12%, kelompok sandang sebesar 0,15%, kelompok kesehatan sebesar 0,25%, kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga sebesar 0,03%, dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,28%.

Dari angka tersebut, semakin jelas bahwa harga kelompok bahan makanan memang mengalami kenaikan.

Yang patut diperhitungkan adalah tren kenaikan inflasi terjadi mulai 3 bulan sebelum lebaran. Pada 2017 misalnya, angka inflasi bulanan bergerak naik dari 0,09% pada April, 0,39% pada Mei, dan 0,69% pada Juni. Pada 2018, tren yang sama terjadi dari 0,10% pada April, 0,21% pada Mei, dan 0,59% pada Juni. Sedangkan pada 2019 ini, setelah mengalami deflasi -0,08% pada Februari, angka inflasi menjadi 0,11% pada Maret, dan 0,44% pada April. Angka ini diprediksikan bakal naik lagi pada Mei.

Meski tampak kecil, angka tersebut bisa menghasilkan dampak yang cukup signifikan bagi orang-orang yang daya belinya cenderung stagnan atau bahkan mengalami penurunan. Apalagi kalau ada oknum-oknum tertentu yang memperparah keadaan seperti melakukan penimbunan barang, merekayasa pasar, dan sebagainya. Di sinilah tim pengendali inflasi daerah memiliki peran penting untuk mengontrol harga pasar.

Tentu, pembahasan semacam ini adalah sebuah simplifikasi dalam memandang inflasi. Ada banyak lagi variabel yang berpengaruh sebenarnya. Inflasi bukan hanya disebabkan adanya kelebihan permintaan (demand-pull inflation), atau berubahnya tingkat penawaran (cost-push/supply shock inflation), bahkan pemikiran dan ekspektasi yang terjadi secara umum di tengah masyarakat juga menjadi faktor penyebab inflasi. Ekspektasi terhadap inflasi ini bergantung pada pandangan subjektif dari pelaku ekonomi dari kemungkinan terjadinya sesuatu di masa depan berupa proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Yang perlu diingat bahwa tren meningkatnya inflasi pada bulan Ramadhan bukan sebuah hal baru dalam perekonomian Indonesia. Fenomena ini telah terjadi dari tahun ke tahun dan juga memiliki dampak positif guna menumbuhkan perekonomian Indonesia. Masyarakat pun sudah paham bahwa ekspektasi masyarakat secara subjektif bernilai bahwa pada bulan Ramadan pasti terjadi peningkatan inflasi. Namun, bukan berarti pemerintah tidak perlu berbuat apa-apa. Pemerintah tetap perlu menjaga ketersediaan barang di pasar dan mengawasi pasar sebagaimana mestinya.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *