Kurikulum Hutan untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati

Satu demi satu langkah kakiku memijak anak tangga itu. Anak tangga itu berdiri vertikal menuju sebuah rumah pohon yang sangat tinggi. Seolah-olah berfungsi sebagai menara pengawas, dari rumah pohon itu, kita bisa mengamati Cairina. Lengkapnya, Cairina Scutulata alias mentok rimba, yang statusnya sudah critical in danger alias di ambang kepunahan.

Rumah Pohon di Way Kambas

Tidak bisa kulupakan pengalaman masuk Taman Nasional Way Kambas di Lampung bersama teman-teman Biodiversity Warriors beberapa tahun lalu itu. Beruntung sekali rasanya, hadiah perjalanan dari sebuah lomba menulis cerpen itu mempertemukan aku dengan anak-anak muda pencinta keanekaragaman hayati dari seluruh Indonesia.

Bersama Biodiversity Warriors

Saat itu masih musim kemarau dan kabut asap melanda hampir seluruh Sumatra. Lampung belum begitu terimbas karena arah angin lebih mengutara. Sumber kebakaran terparah pun ada di Sumatra Selatan, Jambi, dan Pekanbaru. Meskipun begitu, di beberapa titik di taman nasional, relawan pengawas api berjaga. Setiap ada potensi kebakaran, api kecil yang mulai tersulut, akan segera dipadamkan.

Aku sekamar dengan seorang jurnalis. Darinya aku mendapat banyak cerita bahwa kebakaran memiliki banyak sebab. Yang tidak sengaja, biasanya akibat bara api dari puntung rokok atau unggun yang ditinggalkan. Yang mengejutkan, 80% sebabnya adalah kesengajaan.

“Kok bisa ada yang sengaja membakar hutan?”tanyaku.

“Apa yang tidak bisa dilakukan manusia jika sudah dirasuki kerakusan?” jawabnya.

Selama beberapa hari, kami di Way Kambas, dan aku belajar banyak hal. Pengetahuan-pengetahuan baru kudapatkan seperti adanya konflik satwa dengan masyarakat, konflik lahan, dan masalah kekeringan.

Saat kami berjalan melewati hutan untuk melihat keanekaragaman hayati yang ada di sana, pemandu kami mengajak berhenti di satu titik. “Di sini dulu ada aliran sungai.”

Padahal kulihat tempat itu kering kerontang. Tidak ada air sama sekali.

Dia bercerita banyak hewan masih berdatangan ke titik tersebut untuk mencari air. Dari hewan-hewan penghuni rantai makanan paling rendah, hingga ke raja segala. Karena itu, petugas taman nasional rutin menaruh air dalam wadah-wadah besar di tempat itu agar para hewan yang kehausan saat kemarau tiba masih dapat minum.

Terseok-seok aku berjalan karena sehari sebelumnya aku terkilir saat turun dari mobil. Dan saat kepedihan itu terasa, hatiku juga merasakan hal yang sama. Kubayangkan, seandainya aku jadi pemimpin, apa yang bisa kulakukan untuk situasi ini?

Sudah pasti banyak pemikir yang lebih pintar yang telah memberikan masukan kepada pemimpin saat ini. Nyatanya, kebakaran hutan tidak berhenti. Konflik lahan masih terus terjadi. Apa memang sudah tidak ada harapan sama sekali?

Saat itulah kulihat anak-anak Biodiversity Warriors mengamati setiap tumbuhan dan hewan yang mereka temukan di sepanjang perjalanan. Bila menemukan yang langka, mereka akan antusias dan memanggil teman-temannya untuk ikut melihat. Sambil menyerahkan kekeran, seorang pemuda bernama Abai menyapaku, “Mas Pring mau lihat juga?”Seekor burung yang amat indah di atas pohon nan tinggi terlihat dari kekeran itu.

Melihat Gajah di Way Kambas

Kami juga menengok gajah. Di Way Kambas, gajah sudah tidak diperlakukan sebagai gajah atraksi. Ternyata, memaksa gajah dinaiki manusia itu membuat mereka tersiksa. Tidak boleh dilakukan. Jadi kami hanya melihat gajah-gajah itu setelah mereka mandi di tanah lapang. Dan sial, seekor anak gajah usil sekali. Dia hobi mengejar-ngejar kami lalu memainkan belalainya di tubuh kami.

Dunia Anna karya Jostein Gaardner, bicara tentang filsafat alam semesta. Sehingga siapa pun yang menyadari bahwa manusia hanya hidup di bumi, sebuah bola yang menggantung di tata surya, yang apa saja bisa terjadi kepadanya, seharusnya tidak merasa sombong. Manusia seharusnya tidak merasa bahwa merekalah yang berhak atas segala sesuatu di bumi ini dan tidak menjaga keseimbangan yang ada.

Seperti juga ucapan Einstein yang mengatakan jika lebah menghilang/ punah dari muka bumi ini, maka manusia hanya punya waktu dua tahun lagi untuk hidup. Ucapan Einstein itu mengindikasikan tentang peran dan keterkaitan setiap hal yang ada di dunia ini. Punahnya satu hal akan menjadi sebuah efek kepunahan yang lain. Termasuk juga, satu hal yang kamu lakukan di dunia ini, akan memiliki pengaruh pada keseimbangan alam semesta.

Saat itulah aku berpikir, jika aku menjadi pemimpin Indonesia, satu hal sederhana akan kulakukan. Perubahan dalam pendidikan di Indonesia. Akan kubuat satu kurikulum pendidikan masuk hutan guna membangkitkan peran generasi muda. Anak-anak Indonesia harus mengenali hutan mereka, keanekaragaman hayati mereka. Sehingga memiliki kecintaan dan antusiasme yang sama seperti yang kulihat pada para punggawa Biodiversity Warriors.

Pepatah lama, tak kenal maka tak sayang, itu ada benarnya. Aku memiliki harapan anak-anak Indonesia mengenal lalu mencintai hutan sehingga mereka dengan rela akan melindungi hutan Indonesia yang begitu kaya. Semoga.

Tidak pula cukup program seribu taman. Sebab tiba-tiba aku teringat pula dengan film Little Manhattan. Terlepas dari filmnya yang bagus banget, di kota besar seperti Manhattan, ada hutan kota. Hutan-hutan kota yang sudah ada harus dijaga dan dijadikan media pembelajaran siswa. Kota-kota yang belum memiliki hutan kota segera direncanakan untuk membangunnya.

Barangkali dengan cara itu, tidak ada lagi video viral anak Jakarta datang ke Cisoka dengan logat Jakarta Selatan (campur Indonesia-Inggris) karena usaha untuk menyatu dengan alam itu sudah terlihat hasilnya

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

2 Comments

  1. Wah keren nih sudah ke Way Kambas Lampung, sudah menyusuri hutannya kah? hati2 mas banyak pacet kalo pas musim hujan begini…hehe #pengalamansaya

    Btw, tulisan di atas keren sekali lho, mantap mas, dan saya baru baca kalo ternyata ada kurikulum hutan ya? enggak cuma di sekolah saja yang ada kurikulumnya toh 🙂

  2. Setuju Mas, kita butuh pemimpin tangguh yang cinta lingkungan dan peduli keberlanjutan Indonesia…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *