Kuda Terbang Maria Pinto | Cerpen Linda Christanty

Kuda Terbang Maria Pinto adalah Cerpen Linda Christanty yang dimuat di Media Indonesia, tahun 2003. Cerpen ini kemudian dibukukan oleh Katakita pada tahun 2004 dan cerpen Kuda Terbang Maria Pinto menjadi judul kumpulan cerpen tersebut. Kumpulan cerpen Linda Christanty tersebut memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa untuk kategori fiksi pada tahun 2004.

Kuda Terbang Maria Pinto

MENJELANG senja, Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis, dan teringat pesan komandannya, “Biarkan dia lewat, jangan menembak.”

Gaun lembut Maria Pinto membelah anyir perang dengan kibaran putih yang menyilaukan. Dua pengawal menemani perjalanan rutin ini, menjaga junjungan mereka dari atas kereta. Yosef membiarkan iring-iringan itu berlalu. Lutut-lututnya lemas. Ia terduduk di tanah.

Angin pun berangsur tenang. Alang-alang yang subur jangkung, semak-semak duri di tanah gersang, dan gunung batu terjal di kejauhan kembali memenuhi penglihatannya bersama kenangan akan gadis itu.

Baca Dulu: Pengelana Laut | Cerpen Linda Christanty

Kisah tentang Maria pertama kali didengar Yosef dari teman yang lebih dulu dikirim ke pulau ini, “Makanya kita sulit menang, karena para pemberontak itu punya pelindung. Perempuan lagi. Huh! Menyebalkan.”

Maria Pinto semula hanya gadis biasa, sempat kuliah di fakultas sastra sebuah universitas terkemuka di Jakarta dan bertahan sampai semester tiga, sebelum kembali ke negeri jeruk dan kopi. Para penghuni negeri tersebut bergegas mati, hilang, bunuh diri, menjadi gila, atau masuk hutan bersatu dengan babi liar dan rusa. Malapetaka tengah melanda negeri leluhurnya, sehingga Maria dipanggil pulang oleh para pemimpin suku agar memenuhi takdirnya. Dukun-dukun suku menahbiskan Maria sebagai panglima dengan senjata sihir tua dan kuda terbang, karena dialah yang terpilih oleh bisikan gaib para leluhur. Sejak saat itu Maria Pinto menjadi pemimpin pasukan kabut yang berbahaya, mengepung musuh di tiap zona, menciutkan nyali orang-orang yang bersandar pada hal-hal nyata; golongan yang mencampakkan dongeng dan mimpi.

“Ketika kabut datang, bergulung-gulung melewati medan pertempuran, anggota kami satu demi satu mendadak gugur dengan luka tembak. Suatu hari kabut itu datang lagi, bergulung-gulung di atas kami dan aku menembaknya, tanpa henti. Ketika kabut lenyap, aku saksikan tujuh orang terkapar mati di tanah. Negeri itu memang ajaib,” kisah temannya, tersenyum pahit.

.

KINI YOSEF terkurung dalam kereta yang melaju tengah malam dan gagal memejamkan mata. Rasa kantuknya telah lenyap, bertukar rasa gusar. Kereta ini seperti melayang di tengah gelap. Noktah-noktah cahaya dari perkampungan, seperti barisan kunang-kunang muncul di jendela. Namun, selebihnya gelap pekat. Di sebelahnya duduk perempuan yang asyik menyimak novel Stephen King—begitulah nama yang tertera di sampul buku—dan sesekali tersenyum atau berseru takjub mendengar kisah-kisahnya.

“Tapi saya tidak pernah menembak Maria Pinto dan kuda terbangnya, tidak akan …. Dia sangat sakti. Percuma saja,” ujar Yosef pelan, nyaris bergumam.

Perempuan muda itu terusik sebentar, lalu kembali menekuni halaman-halaman buku. Semula ia kurang berminat mendengar ocehan prajurit cengeng ini. Alangkah ganjil menyaksikan penembak jitu mempercayai hal-hal yang jauh dari hukum benda dan kasat mata. Namun ia terkesiap ketika menatap wajah si prajurit. Barangkali, inilah wajah orang yang hidup-mati dari perang.

Wajah lelaki itu mirip boneka kain kanak-kanak yang terlalu disayang, meski sudah kumal dan koyak-moyak tak dibuang ke tong sampah; wajah penuh luka jahitan. Sepasang matanya sayu berhias bekas-bekas sayatan dekat alis, yang menyerupai sulaman bordir asal jadi dan bermotif sulur di tangan pemula.

“Tadi pagi ibu saya menangis lagi. Ini kepulangan terakhir saya sebelum kembali bertugas. Ibu saya trauma. Kasihan sekali dia. Tapi ini sudah pilihan,” tutur Yosef, memandang lurus ke depan.

Enam bulan lalu adiknya meninggal disiksa para pemberontak. Jenazah sang adik kembali tanpa jantung, usus, dan kemaluan, terkunci rapat dalam peti mati kayu mahoni. Kini Yosef satu-satunya anak lelaki dalam keluarga.

“Petinya berselubung bendera besar, besar sekali!” Ada nada bangga bercampur haru.

Perempuan muda malah menggigil. Betapa sunyi mayat yang berongga!

“Kami dari keluarga petani miskin. Kamu enak bisa kuliah, punya uang untuk jalan-jalan. Kami makan saja susah. Menjadi prajurit membuat kami merasa terhormat. Orang-orang kampung menjadi segan.” Kali ini ia pandangi wajah teman duduknya, yang telah kembali menekuri buku.

Ia merasa lega sudah membagi kisah-kisahnya yang terdengar lemah dan pengecut pada perempuan ini. Seperti ungkapan menjijikkan dalam roman, ia merasa tenang di sisinya, di sisi orang asing yang bertemu di perjalanan. Apakah ini pertanda ia tengah bersiap menyongsong maut, lalu membuat pengakuan dosa serta jadi amat perasa? Ah, bisikan maut sama sekali belum sampai sempurna.

Kereta terus menembus ke pedalaman, melintasi laut, ladang garam, hutan jati, kebun, sawah, dan perkampungan. Noktah-noktah cahaya timbul-tenggelam di bidang jendela. Keniscayaan yang lain memendarkan nyeri lagi pada ulu hati.

“Saya benar-benar mencintai kekasih saya. Tapi sore ini saya benar-benar terpukul. Keluarganya tak merestui hubungan kami. Kakak-kakaknya mengancam akan mencelakai saya bila kami nekad juga. Salah seorang pamannya sangat dekat dengan penguasa. Mungkin, gaji saya terlalu kecil dan hidup seperti ini membuat keluarganya khawatir. Mungkin …,” tuturnya, lirih.

Ia meraih sepotong brownies dari kotak penganan, mengunyah pelan. Lorong kereta begitu sunyi. Orang-orang lelap dalam selimut flanel yang seragam, biru tua. Dengkur halus terkadang merayap dari kursi-kursi yang berdekatan, menyerupai rangkaian olok-olok seorang kakek pada cucu tercinta.

“Ya, mungkin tugas saya harus ditunda. Lagipula di tengah masalah begini, saya jadi tidak cekatan dan malas. Orang yang sedang bermasalah biasanya tidak diberangkatkan perang, bisa terbunuh secara konyol.”

Tiba-tiba angin berembus kencang di lorong itu. Ia berkawan dekat dengan angin, meresapi desirnya yang tajam atau membuai, membaca tanda-tanda yang terkirim.

“Coba, coba rasakan angin ini,” bisiknya, menyentuh pundak perempuan muda.

“Ini bukan angin, tapi udara sejuk dari pendingin,” tukas perempuan itu.

“Bila kita berada di posisi yang salah, bau tubuh kita akan tercium oleh musuh. Dengan mudah keberadaan kita diketahui.”

Ia mulai cemas. Ia selalu waspada. Hanya satu kali khilaf dan akibatnya, memalukan.

Suatu malam Yosef terpisah dari pasukannya sesudah kontak senjata dengan anggota gerombolan. Ia berjalan sendiri menyusuri sungai di bawah kerlip bintang, mencari perkampungan terdekat.

Menjelang tengah malam, ia sudah mengendap-endap di belakang sebuah gubuk berdinding alang-alang, bergerak dengan moncong senapan terarah ke seluruh penjuru. Tak ada perkampungan, hanya gubuk terpencil di tepi hutan. Yosef berusaha mencuri percakapan yang barangkali terjalin antara penghuni gubuk. Kesenyapan dan kesabarannya saling beradu. Bunyi gesekan sayap-sayap jangkrik semakin nyaring.

Yosef memberanikan diri mendorong pintu gubuk itu dengan laras senapan, sambil bersiap menarik pelatuk bila bahaya datang. Gubuk itu gelap-gulita. Ia menyalakan pemantik. Pemandangan yang hadir membuat jantungnya berderak.

Seorang gadis terbaring di lantai gubuk memeluk kuda kayu bersayap, mainan kanak-kanak. Ia mendekat, mengarahkan senapan ke wajah gadis yang terlelap. Butir-butir keringat dingin mulai mengembang pada pori-pori tubuhnya yang lelah. Nyala pemantik membuat Maria Pinto menggeliat, menatapnya lembut dan membisu. Sang panglima dan prajurit kini sama-sama sendirian, berhadap-hadapan. Maria Pinto bangkit perlahan, menggerakkan tangan ke udara… dan ribuan kunang-kunang berkumpul memberi cahaya dalam gubuk, menari dan berpesta.

Maria Pinto melepaskan gaun perinya yang putih. Tubuh telanjang gadis itu semula menyerupai patung lilin para santa, lalu berangsur bening dan transparan. Ia bisa melihat jantung, usus, paru-paru, dan tulang-tulang tengkorak gadis itu dengan jelas. Kepala mungil yang cantik berubah membesar dengan sepasang bola mata yang menonjol keluar serta kulit wajah mengeriput. Sekilas ia teringat film tentang makhluk luar angkasa yang pernah ditontonnya di barak dulu.

Keesokan hari saat embun masih melekat pada pelepah-pelepah ilalang dan rumput, ia sudah tersandar di muka pintu pos penjagaan setempat. Teman-temannya berlari mendekat, memandang heran. Ia malah buru-buru bangun untuk memeriksa tanah sekitar, tanpa berkata-kata. Teman-temannya bingung bercampur ngeri, mengira ia hilang ingatan. Yosef telah raib berhari-hari.

Tak ada jejak-jejak larsaku di tanah yang lunak, pikirnya. Mungkinkah sang panglima membawanya dengan kuda terbang kayu setelah melihat prajurit tolol pingsan di hadapannya? Mengapa Maria Pinto tak membunuhnya? Mengapa ia begitu bodoh tak membidikkan senapan ke ubun-ubun gadis itu?

Ia mulai tertawa-tawa, makin lama makin keras. Kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu, kuda kayu.… Yosef terus mengucap kata-kata itu seperti mantra. Perutnya yang kurus terguncang hebat, terasa terpilin-pilin oleh rasa lucu tak tertahankan. Dokter menyatakan dia terserang depresi berat, lalu mendesak komandan pasukan memulangkannya ke zona tenang untuk istirahat sementara waktu. Namun, mustahil meyakini ada zona yang benar-benar tenang di wilayah perang. Ia segera dikirim pulang. Pemulihannya berlangsung cepat, tapi ia dialihtugaskan ke bagian lain.

“Ini rahasia saya, hanya antara kita,” ujar Yosef, menyudahi kisahnya.

Perempuan muda menghela napas panjang. Kisah cinta segitiga yang rumit dan tragis, pikirnya, sedih. Prajurit ini terombang-ambing antara pacarnya dan panglima hantu. Dua-duanya sad ending.

Baca Juga: Klub Solidaritas Suami Hilang | Cerpen Intan Paramadhita

Kereta sebentar lagi mengakhiri perjalanan. Udara makin sejuk. Orang-orang mulai sibuk merapikan rambut, blus, atau kemeja yang kusut, dan menggunakan lagi bahasa tutur mereka. Dua pelayan pria mengumpulkan selimut-selimut penumpang dalam kantong hitam besar, terseok-seok di sepanjang lorong.

“Apakah mau menemani saya malam ini?” Yosef menatap perempuan itu, lurus-lurus.

“Saya ingin menyelesaikan novel ini.”

“Saya ingin berjalan-jalan, menenangkan pikiran.”

“Semoga Anda bisa bersenang-senang.”

Mereka berpisah, kembali menjadi asing satu sama lain.

.

SUATU SIANG di bulan cerah. Yosef Legiman mendaki anak-anak tangga gedung pencakar langit di jantung kota, menenteng tas berisi senjata. Hampir sebulan ini ia mengintai seseorang. Ia bersembunyi di lantai paling atas, mengawasi sekeliling dengan teropong, kemudian membiarkan angin menerpa tubuhnya. Ia merasakan arah dan embusan angin, membiarkan sayap-sayap angin menyapu kulitnya, lalu menetapkan posisi membidik yang tepat. Kesalahan membaca angin bisa berakibat fatal. Musuh bisa menyusuri jejak-jejaknya dari aroma tubuh atau amis darah luka yang mengelana dalam partikel-partikel udara. Namun, hidup dan mati adalah bait-bait pantun yang berdekatan, sampiran dan isi yang saling terikat. Ia siap menghadapi keduanya.

Langit biru muda terlihat sepi. Yosef memasang peredam suara pada laras senjata. Matahari bersinar lunak. Ia kembali mengintai sasarannya. Tirai sebuah jendela di lantai tujuh gedung seberang terbuka lebar. Seseorang terlihat mondar-mandir, berbicara pada dua teman. Ia melihat targetnya bergerak. Matanya kini terfokus pada titik sasaran. Ia membayangkan dirinya seekor elang. Perempuan itu sekarang berdiri membelakangi jendela. Ia pelan-pelan menarik picu senapan, menuju titik merah pada lingkaran, menyambar.

Kaca jendela pecah berkeping di gedung seberang. Seseorang jatuh tersungkur di lantai. Ia sudah melaksanakan tugas. Kini dinyalakannya telepon seluler dan melapor pada sang komandan.

Ketika pertama kali melihat potret perempuan muda itu, Yosef sempat tercenung lama: pemimpin para teroris. Ia teringat perempuan yang dijumpainya di kereta sebulan lalu. Pastilah dia, pikir Yosef. Ya, dunia ini memang kejam pada serdadu. Ia telah membunuh perempuan itu, melenyapkan nyawa orang yang menyimpan sebagian rahasia hidupnya.

Angin tiba-tiba bertiup kencang lewat jendela. Tubuhnya menggigil. Ia melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Mengapa perempuan itu selalu mengikutinya ke mana pun? Maria Pinto tersenyum, mengulurkan tangannya yang putih dan halus. Bagai tersihir, Yosef menyambut jemari gadis yang menunggu. Ia merasa terbang di antara awan, melayang, melihat sebuah dunia yang terus memudar di bawahnya. ***

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *