Saya bertepuk tangan sekaligus mengernyitkan dahi tatkala Menteri Keuangan dengan bangga mengatakan penerimaan pajak memecahkan rekor karena menembus angka 1000 triliun. Angka ini cukup mengejutkan karena pada tanggal 4 November 2015, penerimaan baru sekitar 770 triliun. Dalam waktu kurang dari 2 bulan, DJP berhasil mengumpulkan sekitar 300 T. Itu sebuah prestasi meski angka penerimaan yang ada masih jauh di bawah target.
Kernyitan dahi saya disebabkan karena hal itu diucapkan Menteri Keuangan. Saya anggap itu sebahagi bahasa/komunikasi positif kepada publik untuk menumbuhkan optimisme terhadap kinerja pemerintah. Sebab, nyatanya, percepatan penerimaan dalam waktu itu bisa dibilang tidak ada gunanya sama sekali. Kenapa?
Sampai 22 November 2015, realisasi pajak baru mencapai total Rp828,93 trilun atau sekitar 64%. Sementara realisasi belanja pemerintah hingga November sudah mencapat 78,1% dari target 1984 triliun. Atau telah mencapai 1500 triliun. Selisih antara realisasi belanja dan penerimaan (pajak dan bukan pajak), juga kepastian akan sisa belanja (yang sudah diprediksi dan bisa dihitung) menyebabkan pemerintah Indonesia harus mengisi kasnya, guna membayar setiap belanja pemerintah di bulan Desember.
Tahun lalu, kondisi yang serupa terjadi. Cash flow shortage menyebabkan kas negara kosong sementara belanja-belanja harus dibayar. Solusi yang dilakukan saat pemerintah saat itu salah satunya adalah dengan segera mengurangi belanja subsidi energi, sehingga beban proyeksi belanja berkurang, dan anggaran itu dialihkan untuk membiayai belanja pemerintah. Tahun ini, pemerintah mau tak mau menambah utang.
Penambahan utang ini menyebabkan realisasi defisit anggaran meningkat, dari semula direncanakan 1,9% atau 222,5 triliun menjadi 2,8% atau 318,5 triliun. Hal ini sedikit di bawah batas aman yang ditetapkan undang-undang, yakni 3%.
Maka, penambahan utang yang terjadi di awal Desember lalu masuk ke kas negara untuk membiayai belanja pemerintah, baik lewat mekanisme uang persediaan (UP) yang berakhir pada 7 Desember, maupun LS yang berakhir di belasan Desember.
Penerimaan pajak yang mencapai 1000 triliun itu bisa dibilang tidak berguna karena tidak proporsional untuk membiayai belanja negara pada saat dibutuhkan. Saya tidak akan mendebat dengan cara apa 300 triliun berhasil digenjot untuk didapatkan, yang kebanyakan berasal dari diskon, penghapusan sanksi pajak, ataupun potongan SPM. Hal itu sudah diakui sendiri oleh Menteri Keuangan.
Yang membuat saya jengah adalah betapa cara berpikir seperti ini tidak terjadi. Ketika Plt Dirjen Pajak baru diangkat, komentar yang diucapkannya adalah apapun yang terjadi, tunjangan pajak yang baru dinaikkan tahun ini, apapun yang terjadi, seharusnya tidak dikurangi (meski target tidak tercapai). Sebagai warga negara, komentar tersebut menyakiti hati saya.
KENAPA TARGET PAJAK TIDAK TERCAPAI?
Nah, ada banyak dalih yang diucapkan oleh pihak DJP. Mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi sampai penurunan harga migas. Tapi, menurut saya, hal itu bukan penyebab utama. Ada beberapa hal mendasar yang tidak dimiliki oleh DJP untuk dapat menjadi sebuah instansi yang baik.
1. Tidak adanya Sense of Crisis
Sekian tahun target tidak tercapai, membuat saya heran, sebagian teman di DJP merasa mereka masih baik-baik saja. Saya tak mencium rasa malu sedikit pun dan mereka terus-menerus berlindung di balik alasan-alasan.
Sering saya memulai membuat suatu sindiran dan tanggapan yang hadir pun beragam. Tanggapan yang sering muncul adalah:
– Sudahlah, kamu pasti cuma iri kan dengan penghasilan kami.
– Terima kasih dong kami sudah memungut pajak!
– Kami sudah kerja keras tahu!
Atau yang paling banyak adalah, bukan salah kami, ini salah pemerintah yang memberi kami target setinggi ini, salah pemerintah yang memberi kebijakan peringanan pada pengusaha, pada investor. Saya jadi garuk-garuk kepala, hebat sekali ya, sampai menyalahkan pemerintah seolah bukan bagian dari pemerintah?
Soal target ini memang krusial. Bagaimana sebenarnya proses pembahasan target penerimaan pajak? Apakah DJP tidak dilibatkan? Sehingga semata-mata, target itu diberi secara otomatis oleh yang di atas dan mereka menerima saja? Apakah DJP tidak memiliki perencanaan penerimaan sendiri, yang dibuat atas analisis per KPP, naik ke Kanwil dan kemudian menjadi bahan nasional, bahwa penerimaan dapat diproyeksikan sekian triliun? Top down atau bottom up?
Hal ini juga menjadi bumerang bagi teman-teman DJP. Ketika tunjangan mereka dinaikkan tahun 2015 lalu, dengan target sebegitu, tidak ada sama sekali yang protes. Mereka asik membela diri bahwa tunjangan itu pantas didapatkan. Tidak ada tulisan yang membahas target itu. Tatkala target terlihat akan tidak tercapai, masing-masing membela diri bahwa kinerja mereka sudah bagus. Dan apapun itu, pokoknya tunjangan nggak boleh dipotong!
Sebenarnya ada banyak komentar yang demikian, namun saya sajikan saja satu screenshoot pegawai DJP yang hampir tiap saat bikin status membela diri.
2. Sumber Daya Manusia
Selain soal mentalnya, hal yang kasihan dari DJP adalah tenaga AR dan Pemeriksa. Saya sebenarnya sepakat jika AR dan Pemeriksa ini tinggi penghasilannya, dan itu harus didasarkan pada kinerja mereka. Kenaikan tunjangan di DJP bukan rajin-malas, pintar-bego sama saja. Itu sama saja mengkhianati pembayar pajak. Namun harus didasarkan pada perhitungan yang matang atas kinerja.
Saya mengamini bahwa DJP kekurangan tenaga AR dan Pemeriksa. Satu AR (account represantative) memegang ribuan WP dan itu pasti tak mungkin bisa fokus. Sehingga AR hanya bisa fokus pada WP potensial saja.
Saya mendukung ada penambahan pegawai untuk kemudian menjadi AR dan Pemeriksa. Mekanismenya, biro SDM lebih paham.
3. Tidak Bisa Melihat Data Transaksi
Salah satu persoalan pajak adalah para petugas pajak dengan mata yang tertutup. Mereka tidak diperkenankan untuk melihat rekening wajib pajak, apalagi menganalisis data transaksi yang ada.
Mantan Dirjen Pajak, Fuad Rahmani, berkali-kali berupaya mendapatkan kewenangan tersebut. Namun selalu gagal. Sampai beliau mengundurkan diri, hal itu masih jauh panggang dari api.
Kalau tidak salah, jumlah pegawai pajak lebih dari 35.000 dan dari 35.000 itu banyak yang bisa menulis. Selayaknya sebagai aparatur negara yang cinta tanah air dan bangsa, mereka berupaya membuka mata rakyat. Salah satunya dengan tulisan. Gunakan tulisan sebagai alat untuk menggugah kesadaran rakyat akan pentingnya pajak, dan solusi atas masalah di atas. Agar kemudian rakyat percaya dan mereka menekan pengambil kebijakan untuk memberikan kewenangan itu.
Namun, sayangnya, salah satu pegawai pajak yang paling hebat dalam menulis, hanya melulu mengangkat tema LGBT dalam tulisannya.
Mungkinlah, hanya di negara ini, isu LGBT bisa lebih penting dari keberlangsungan negara.