“Apa kau percaya kalau bumi itu bulat?”
“Kalau tidak bulat, tidak mungkin ‘kan Columbus dapat mengelilingi dunia?”
“Kau masih percaya Columbus?”
“Setidaknya aku lebih percaya dia daripada percaya kamu!”
Teruna menundukkan kepalanya setelah mengatakan kalimat itu. Ia memasukkan gula berbentuk kubus ke dalam kopinya. Ini sudah kubus gula yang kedua. Aku tak dapat membayangkan seperti apa manisnya kopi yang ada di hadapannya.
“Semua lelaki adalah pembohong,” ujar Teruna lagi.
Aku tak ingin mendengar kalimat itu. Teruna tak sadar, aku juga lelaki. Jika semua lelaki adalah pembohong, berarti aku juga pembohong.
Entah masalah apa yang mendera Teruna. Dia tiba-tiba mengajakku untuk minum kopi di Sabang. Aku sendiri cukup sering ke Sabang. Malam setelah bom meledak di Sarinah, aku juga ke Sabang untuk makan malam. Namun, baru kali ini aku ke Sabang untuk minum kopi. Aku sendiri tak begitu suka kopi.
Lain halnya dengan Teruna. Perempuan di depanku ini memang suka sekali kopi. Minggu lalu dia mendapatkan tugas meliput ke Sumbawa. Dia pergi ke desa terpencil di sana. Dan sempat-sempatnya dia meneleponku malam-malam hanya untuk bilang kopi di Tepal nikmat sekali.
Jangankan nikmatnya kopi, Tepal itu apa aku tak tahu.
Teruna pun bersemangat menceritakan keindahan Tepal, salah satu desa di puncak bukit di Sumbawa. Mulai udaranya yang dingin, keberuntungan melihat kuda liar dengan surai laiknya yang terlihat di iklan rokok di televisi, sampai malam-malam tanpa listrik. “Kopi tepal itu terkenal tahu di Nusa Tenggara. Orang-orang Mataram juga mengakui kalau kopi Tepal paling nikmat,” Teruna berapi-api menjelaskan melalui telepon. “Kamu tahu, K, ada 500 ha lebih lahan kopi di sini. Kopi hutan. Alami. Arabica dan Robusta tumbuh di sini. Dan kamu tahu apa yang lebih spesial lagi?”
Aku menggeleng mendengarkan kalimat demi kalimat Teruna.
“Di sini banyak luwak. Kamu harus mencoba kopi luwak!”
“Sudah ‘kan?”
“Apa? Kopi luwak sachetan?”
Teruna pandai meledekku. Dia tahu paling-paling aku minum kopi bungkusan. Mudah dan sederhana bikinnya. Dia sering menceramahi aku kalau kopi macam itu tidak ada cita rasanya. Perlakuan pada cara memetik daun kopi saja bisa memberi cita rasa yang berbeda. Begitu juga dengan pembuatan kopi. Salah urutan penuangan air panas saja rasa kopi bisa rusak.
“Ada perpaduan pahit, manis dan gurih yang terasa pas di lidah. Tingkat kepahitannya lebih terasa dan agak masam. Salah satu rahasianya adalah dengan menyangrai biji kopi kering di atas pasir panas. Biji kopi dimasak tidak bersinggungan langsung dengan wadah. Itulah tradisi yang hingga kini masih berlaku di Tepal. Selain itu masyarakat Tepal biasanya mencampurkan kopi dengan bonggol jagung atau beras sangrai. Tujuannya menambah rasa gurih maupun aroma pada kopi sekaligus mencegah penikmat kopi terkena penyakit maag. Gila kan?”
Belum sempat aku merespon, telepon itu mati mendadak. Aku hubungi dia lagi, suara operator mengatakan telepon yang kutuju tak bisa kuhubungi. Besoknya Teruna baru mengirim pesan, semalam listrik padam. Ketika listrik padam, sinyal pun otomatis ikut menghilang.
Sungguh, aku sama sekali tak mengerti segala hal yang dia bicarakan. Meskipun begitu, aku mendengarkannya. Menyimak antusiasme Teruna terasa menyenangkan. Barangkali itu yang menjadi salah satu alasan mengapa aku selalu betah menemani Teruna kapan dan kemana pun ia mengajakku bertemu.
Hari ini berbeda. Aku pikir sekembalinya dari Sumbawa, dia akan membagi banyak kisah lain. Tetapi, dia malah diam saja, menatap kopi yang dipesannya, memasukkan gula dan mengaduknya dengan pelan.
“Apa kau percaya kalau bumi itu bulat?” Aku mencoba mencairkan suasana dengan membawa topik yang kembali booming baru-baru ini. Munculnya Flat Earth Society bukan hal baru. Mereka meyakini bumi ini datar dengan kubah raksasa. Tidak ada hukum gravitasi. Yang ada bumi bergerak ke atas dengan kecepatan tertentu sehingga sebuah apel jatuh bukan karena
gravitasi, melainkan bumi yang menangkap apel tersebut.
Bumi datar dimulai dengan penafsiran buta pada kitab suci. Dan sekian puluh tahun, hal ini tidak menghebohkan. Namun, pendapat ini jadi heboh di media sosial. Memang benar, sekarang ada yang lebih cepat dari kecepatan cahaya, yakni merebaknya kebodohan di media sosial.
“Tak biasanya kamu minum kopi pakai gula,” ujarku.
“Pahit, K.”
“Kopinya?”
Teruna menggeleng. “Aku. Hidupku, K.”
“Kenapa hidupmu? Ada masalah?”
“Kamu pasti tidak tahu kan kalau arabica dan robusta itu butuh penanganan yang berbeda? Kamu juga tidak akan mengerti kalau setiap perempuan juga butuh ditangani dengan cara yang berbeda-beda.”
“Bagaimana caraku bisa mengerti kalau tidak dijelaskan?”
“Robusta itu kalau masak akan berwarna merah dan tetap menempel ke batang. Aku tidak seperti itu.”
“Jadi?”
“Sementara Arabica mudah rontok, jatuh ke tanah. Kopi yang jatuh ke tanah akan akan punya bau yang tak sedap. Mutu kopinya turun.” Teruna hening sejenak. “Aku sedang jatuh cinta, K. Tapi aku tak tahu cinta yang seperti apa….”
Deg! Rasanya ada palu yang dihantamkan ke jantungku. Aku juga jatuh cinta kepadamu, Teruna. Sudah lama sekali.
“Kami bertemu di selat Alas. Wajahnya secerah buah pir.”
Lalu kutulikan telingaku pada segala hal mengenai pria yang ditemuinya itu.
“K… aku harus bagaimana?” tanya Teruna.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Seorang Teruna menganggap jatuh cinta adalah hal yang buruk. Ketika kutanya kenapa suka kopi, sejak kapan, Teruna berkata ketika ia memutuskan untuk tak jatuh cinta lagi pada pria. Ia pernah bilang tak mau jatuh cinta lagi setelah ayahnya meninggalkan ibunya demi perempuan lain. Kopi membuatnya melupakan segala kepahitan hidup.
Kini, ia bilang telah jatuh cinta dan ia merasa seperti biji kopi yang jatuh ke tanah, kehilangan segala yang telah diyakininya selama ini. Di satu sisi, aku merasa baguslah kalau Teruna merasakan cinta kembali meski bukan padaku. Aku baginya mungkin hanya seperti lini masa di Twitter. Ia bebas menumpahkan segalanya.
“Dia seperti apa?” tanyaku.
“Seperti Columbus mungkin…”
“Haha… apa itu berarti dia mendapatkan ketenaran yang seharusnya bukan miliknya?”
“Maksudmu?”
“Apa kau masih percaya Columbuslah yang pertama kali mengelilingi dunia? Dia yang pertama sampai di Amerika?”
“Di buku begitu.”
“Cheng Ho ditengarai telah membuat peta dunia jauh sebelum Columbus berlayar.”
“Yah, sejarah kan memang memiliki berbagai versi, tergantung mana yang ingin kita percayai. Kamu tidak bisa mengatakan salah satu versi yang memang benar. Kamu hanya boleh mengatakan kamu percaya…kamu membenarkan salah satu versi itu.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Teruna. “Begitu juga yang kau alami, Teruna.”
“Aku tidak paham, K.”
“Apa yang kamu khawatirkan? Jatuh cinta yang kau rasakan, atau bagaimana dia…semua adalah ketidakpastian. Kamu hanya perlu meyakini satu hal… membenarkan yang kamu rasakan.”
“Masalahnya adalah—“
“Ssttt…” aku memotong ucapan Teruna. “Aku tidak suka kopi. Bagiku kopi pahit. Tapi bagimu berbeda bukan?”
“Dengarkan aku dulu, K!”
“Baiklah.”
Teruna menyeruput kopinya lagi. “Kamu tahu kenapa aku menambahkan banyak gula di gelas kopiku malam ini?”
Aku menggeleng. “Tadi… hidupmu pahit.”
“Alasan lainnya, aku ingin tahu apa rasanya kopi bila ditambahkan gula.”
“Buruk?”
Teruna meringis. “Buruk.”
“Aku juga pernah mencoba memindahkan jam tangan di tangan kananku ke tangan kiriku. Ganjil rasanya.”
“Tidak mudah ya, mencoba untuk melakukan sesuatu yang berbeda itu….”
“Lalu kamu tidak ingin mencoba menjalani cinta yang kini kau rasakan?”
“Aku ragu.”
“Ragu?”
“Karena itu aku mau bertemu kamu, K… yakinkan aku….”
“Sulit.”
“Sulit?”
“Katamu semua lelaki adalah pembohong. Setidaknya mulailah dengan mengganti kalimat itu.”
“Dengan?”
“Sebagian besar lelaki adalah pembohong.”
“Haha… kamu bisa saja.”
“Iyalah… jadi aku ini pembohong atau aku bukan laki-laki? Kok bisa-bisanya kamu minta aku yang meyakinkanmu…percaya sama pembohong?” ledekku kepadanya.
Teruna tertawa terbahak-bahak mendengar kalimatku. Dia minum kopinya. Kali ini sampai habis tak bersisa. “Kopi ini lucu. Persis kamu.”
Menyaksikan Teruna yang tertawa membuatku lega. Ia kembali menunjukkan dirinya yang biasanya. Sosok yang ceria dan bersemangat.
Namun, tiba-tiba tawa Teruna terhenti. Ia menopang dagu dengan kedua telapak tangannya, menatap padaku dengan serius.
“Hei K, aku tahu kamu juga seorang pembohong yang ulung. Sejauh aku berkenalan dengan lelaki, kamu adalah lelaki yang paling pandai membohongi dirimu sendiri.”
Setelah mengatakan itu, Teruna mengalihkan pandangannya ke badan jalan. Kendaraan-kendaraan masih ramai berseliweran. Ia tak membiarkanku berkomentar pada kalimatnya barusan dan membiarkan diri tenggelam dalam lamunan panjang.
Sementara itu, di langit bulan bulat penuh mengambang. Dan kubayangkan jika memang benar bulan tidak sejauh itu, hanya sejenis bola lampu yang menggantung seperti yang diyakini flat earth society.
(2016)
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com