“Jika lebah menghilang dari muka bumi, manusia hanya punya waktu empat tahun untuk hidup.”
Einstein memang pernah salah tentang satu hal ketika mengatakan black hole itu tidak ada, tetapi pendapatnya tentang lebah ini harus aku setujui.
Tak ada yang menyangka, pada penempatan intansi, lulusan dari Akuntansi Pemerintahan cukup banyak ditempatkan di Ditjen Perbendaharaan. Dan setelah menjalani kurang lebih 6 bulan masa magang, 10 Juni 2011 silam, kami dikumpulkan dalam suatu ruangan lalu diberikan pengarahan, “Kalian tahu, seekor lebah hanya akan mengisap sari bunga dan menghasilkan madu. Kalian sudah memperoleh yang baik itu dan akan memberikan yang baik pula bagi bangsa ini. Ingat, lebah tidak pernah merusak bunga yang ia hinggapi.” Aku tak paham maksud kata-kata itu sampai kemudian dua surat keputusan diserahkan.Yang pertama membuat kami sumringah karena berisi surat pengangkatan kami sebagai calon pegawai negeri sipil sementara yang kedua membuat beberapa di antara kami menangis tersedu-sedu melihat nama daerah tempat kami akan menuju. Kebijakan DJPBN menempatkan kami pada KPPN tipe A2 di luar pulau Jawa. Itu artinya, nama-nama seperti Saumlaki, Tahuna, Tobelo, sampai kota-kota bersuku kata ulang seperti Fak-fak dan Bau-bau yang bahkan tak pernah kami dengar di pelajaran Geografi harus menjadi karib mulai saat ini. Aku membuka surat milikku dan nama Sumbawa Besar tertera di dalamnya. Ada dua hal yang terkenal dari kota ini: susu kuda liar dan madu.
NTB terkenal dengan suasananya yang Islami. Bila Lombok dikenal Pesona Seribu Masjid, Sumbawa sendiri dikenal dengan prinsip adatnya yang bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, sama dengan prinsip di Sumatra Barat. Maka tak heran apabila setiap ada hari atau pun bulan besar keagamaan, masyarakat akan menyambutnya dengan gegap gempita.
Momen awal ini begitu berkesan, karena tak lama setelah penempatan, aku menikah. Tepatnya 1 Juli 2011. Dan tak lama setelah itu, bulan Ramadhan datang. Artinya, itu menjadi Ramadhan pertamaku di Sumbawa, dan Ramadhan pertamaku bersama istri tercinta pula. Lebih spesialnya lagi, pada bulan Ramadhan itulah, istriku tak lagi datang bulan.
Di kantor, saya kerap bertemu dengan petugas satker. Salah satu yang paling rame berasal dari Kecamatan Empang. Dia kerap menawarkan kerupuk dan ikan-ikan segar kepada pegawai. Tentu, kami tak pernah meminta dan kerap menolaknya karena khawatir itu semacam gratifikasi. Tapi, kami tak pernah melarangnya bercerita.
Dia bercerita tentang tradisi Mangan Roa di Empang. Mangan Roa berarti makan sepuas-puasnya yang dilakukan pada Jumat terakhir sebelum Ramadhan. Dan yang boleh makan hanyalah para lelaki dan anak-anak kecil. Sementara itu, pihak perempuan berkewajiban menyiapkan hidangannya.
Mangan Roa ini sebenarnya dilakukan tiga kali setahun. Selain setelah shalat Jumat pada Jumat terakhir sebelum Ramadhan, Mangan Roa juga dilaksanakan pada hari kedua bulan Syawal dan pada saat Idul Adha.
Lain halnya dengan teman di Sumbawa Barat. Ia bercerita mengenai tradisi Dila Leman. Pada malam ganjil di 10 malam terakhir bulan Ramadhan, masyarakat akan menyalakan pelita atau lampu tradisional di depan rumahnya. Listrik dimatikan. Dan diharapkan masyarakat akan khusuk beribadah pada malam-malam tersebut demi meraih Lailatul Qadar.
Sebenarnya banyak tradisi Sumbawa lain dalam menyambut bulan Ramadhan. Misalnya, Junjung Pasaji dan Mangan Barema. Tradisi ini masih dilakukan di Desa Tatede di Kecamatan Lopok. Para perempuan mengenakan pakaian adat beriringan sambil menjunjung makanan menuju kantor desa ntuk menjamu tamu kehormatan pada acara Mangan Barema (makan bersama) menyambut datangnya Ramadhan.
Sebagai pengantin baru, kami sangat menikmati hari-hari di Sumbawa selayaknya bulan madu. Kami tak khawatir bila tak masak, karena selama Ramadhan, penjual lauk-pauk berlimpah di sepanjang jalan di Labuhan dan Lempeh. Dan banyak makanan khas NTB yang cocok di lidah kami. Salah satunya Ayam Taliwang. Saat menulis ini pun, membayangkan rasa ayam taliwang dicampur sambal dan plecing kangkungnya itu membuat liurku ingin menetes.
Namun, makanan paling khas di Sumbawa bukanlah Ayam Taliwang. Teman-teman pegawai lokal di kantor paling suka dengan Sepat, Singang, dan Sirasang. Sepat bisa dibilang ikan dimasak kuah. Kuahnya diberi belimbing wuluh dan mangga muda biar terasa segar. Singang mirip dengan Sepat, namun lebih asam. Warnanya kuning dari kunyit. Sementara Sirasang tidak berkuah. Sirasang adalah ikan bakar bumbu kuning khas Sumbawa. Saya paling suka Sirasang.
Dua elemen tersebut, tradisi dan makanan, tentu akan lebih lengkap jika ditambahkan elemen terakhir. Yak, alam Sumbawa itu sendiri. Bulan puasa biasanya diwarnai dengan kebiasaan jalan pagi selepas Subuh atau ngabuburit saat menunggu berbuka puasa. Jujur, kita bisa menyaksikan matahari terbit dan terbenam sempurna di Sumbawa. Tak perlu jauh-jauh… cukup pergi ke Jembatan Polak di Labuhan untuk melihat matahari terbenam.
Maka, mengutip sebuah ayat suci, Nikmat Tuhan Mana Lagi yang Engkau Dustakan?