Seorang teman, penulis, menulis sebuah status di Facebooknya, “Adakah satu penulis saja yang kamu percaya sehingga apapun yang ia tulis kamu akan langsung membelinya?”
Jawabanku selalu tidak.
Alasannya sederhana. Seperti halnya iman yang naik turun, semangat yang naik turun, kualitas sebuah tulisan pun naik turun. Terlepas dari sudah beresnya urusan kebahasaa seorang penulis, keistimewaan sebuah gagasan yang ditemukan penulis selalu berbeda. Pringadi Abdi di Dongeng Afrizal tentu berbeda dengan Pringadi Abdi di Simbiosa Alina, apalagi di 4 Musim Cinta. Mereka bukan Pringadi Abdi yang sama. Termasuk Pringadi Abdi yang sedang menulis blog ini sekarang adalah sosok yang sama sekali berbeda. Perbedaan sepersekian detik saja sudah akan menghasilkan sosok yang baru. Sosok yang berbeda.
Tiba-tiba, tentang perbedaan itu, aku mengingat seorang teman. Dia bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Sementara aku bekerja di Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Kantornya bernama KPP. Sementara kantorku bernama KPPN. Yang menarik darinya adalah dia selalu menganggapku benci dengan Ditjen Pajak. Dia merasa aku iri dengan penghasilan yang diterimanya. Tentu saja itu tidak benar.
Pringadi Abdi selaku PNS Kemenkeu menganggap Perpajakan adalah keluarga dari Treasury. Treasury juga bahkan memiliki peranan penting dalam penerimaan negara. Salah satunya adalah memastikan tiap satu rupiah pun masuk ke rekening kas negara. Karena itulah Ditjen Perbendaharaan membuat MPN (Modul Penerimaan Negara) yang kini sudah MPN G2. Tentu temanku itu tak begitu paham tentang MPN G2.
Pringadi Abdi selaku PNS Kemenkeu tentu mengharapkan target penerimaan pajak tercapai. Pringadi Abdi memikirkan negara dapat mampu memenuhi belanjanya. Itu jelas dan tidak terkompromikan.
Tapi Pringadi Abdi juga adalah rakyat. Rakyat membayar pajak. Bukan hanya dari pekerjaannya sebagai PNS, tapi Pringadi Abdi sebagai penulis juga. Sebagai rakyat dan penulis itu, Pringadi Abdi merasa Ditjen Pajak bekerja tak maksimal. Misalnya, belum ada sosialisasi mengenai pajak royalti ke para penulis, atau masih adanya praktik korupsi di instansi tersebut dan itu menimbulkan ketidakpercayaan atas performa Ditjen Pajak.
Ya, aku pikir hal-hal seperti itu wajar.
Soal peran ini juga, aku jadi teringat tentang rokok. Seperti yang kalian tahu, aku tak merokok dan tak suka berada di dekat perokok. Tapi aku harus berinteraksi dengan banyak perokok. Yang jelas, bila ada orang ke rumahku atau ke kosku, dengan tegas akan kukatakan tidak boleh merokok. Tapi kalau aku yang pergi ke rumahnya dan melarang dia merokok kan aku yang keterlaluan. Itu sudah resiko dan peran kita sebagai manusia yang menerima diperlukan. Begitu pun kalau ke kafe, nongkrong, duduk di tempat yang diperbolehkan merokok, ya aku nggak akan melarang dia merokok. Kita cukup sama-sama tahu, dia butuh merokok, dan aku tak suka rokok. Cukup kita atur tempat duduknya agar asap rokok tak mengarah ke aku.