“Elogio de la lectura y la ficción,” Mario Vargas Llosa. Disampaikan sebagai pidato penerimaan Hadiah Nobel Sastra 2010 di hadapan Akademi Swedia, Stockholm, 7 Desember 2010. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus.
Saya belajar membaca pada umur lima tahun, di kelas Bruder Justiniano di Colegio de la Salle, Cochabamba (Bolivia). Ini hal terpenting yang pernah berlangsung dalam hidup saya. Hampir tujuh puluh tahun sesudahnya saya masih ingat jelas kegaibannya, menerjemahkan kata-kata dalam buku menjadi imaji-imaji, memperkaya hidup saya, mendobrak sekat-sekat ruang dan waktu dan memungkinkan saya berkelana bersama Kapten Nemo dua puluh ribu mil ke dasar laut, bertarung bersama d’Artagnan, Athos, Portos, dan Aramis melawan intrik-intrik yang mengancam Ratu pada zaman Richelieu yang culas, atau berjalan terseret-seret di bawah tanah Paris, berubah menjadi Jean Valjean, membopong badan lembam Marius di punggung.
Membaca mengubah mimpi menjadi hidup dan hidup menjad mimpi dan menempatkan semesta sastra dalam jangkauan anak kecil seperti saya dulu. Ibu saya bercerita bahwa hal pertama yang saya tulis adalah kelanjutan cerita-cerita yang saya baca karena saya sedih mereka selesai atau karena saya ingin mengganti akhir ceritanya. Dan barangkali inilah yang saya perbuat sepanjang hidup tanpa menyadarinya: mengulur-ulur dalam waktu –seraya saya besar, dewasa, dan menua—kisah-kisah yang mengisi masa kanak-kanak saya dengan keriangan dan petualangan.
Saya harap ibu saya bisa berada di sini, perempuan yang menitikkan air mata membaca puisi-puisi Amado Nervo dan Pablo Neruda, dan juga kakek Pedro, dengan hidung besarnya dan kepala botaknya yang berkilap, yang menyanjung syair-syair saya, serta paman Lucho yang mendorong saya dengan begitu bersemangat agar mencurahkan segenap jiwa raga untuk menulis, sekalipun sastra, di tempat dan zaman itu, begitu minim menafkahi para pelakunya. Sepanjang hidup saya memiliki orang-orang seperti itu di samping saya, orang-orang yang mencintai dan menyemangati saya dan menularkan keyakinan mereka saat saya ragu. Berkat mereka, dan jelas karena kedegilan saya dan nasib mujur, saya mampu membaktikan sebagian besar waktu saya untuk gelora tersebut, keranjingan dan keajaiban menulis, menciptakan sebuah kehidupan paralel di mana kita bisa berlindungan dari kesusahan, yang membuat yang luar biasa jadi biasa dan yang biasa-biasa saja jadi luar biasa, melesapkan kekacauan, memperelok kejelekan, mengabadikan kesekejapan, dan mengubah maut menjadi tontonan sambil lalu.
Tidaklah mudah mengarang cerita. Ketika berubah menjadi kata-kata, proyek-proyek lumer di atas kertas dan ide-ide serta gambaran-gambaran berguguran. Bagaimana menghidupkan mereka lagi? Untungnya, ada para maestro untuk dipelajari dan teladan-teladan untuk diikuti. Flaubert mengajari saya bahwa bakat adalah disiplin yang ulet dan kesabaran panjang. Faulkner, bahwa bentuk –penulisan dan struktur—mengangkat atau memiskinkan tema. Martorell, Cervantes, Dickens, Balzac, Tolstoy, Conrad, Thomas Mann, bahwa besaran dan ambisi sama pentingnya dalam sebuah novel sebagaimana ketangkasan stilistik dan strategi narasi. Sartre, bahwa kata-kata adalah aksi, bahwa novel, drama, atau esai, yang bergulat dengan aktualitas dan pilihan-pilihan yang lebih baik, bisa mengubah jalan sejarah. Camus dan Orwell, bahwa sastra yang dilucuti dari moralitas itu tidak manusiawi, dan Malraux bahwa heroisme dan tindakan epik masih mungkin pada zaman ini sebagaimana pada zaman para argonaut,Odisea (Odyssey), dan Ilíada (Iliad).
Bila dalam ceramah ini saya harus memanggil semua penulis tempat saya berutang sedikit atau banyak, bayang-bayang mereka akan menenggelamkan kita dalam kegelapan. Jumlahnya tak terbilang. Selain mengungkap rahasia-rahasia keterampilan berkisah, mereka mewajibkan saya menggali kedalaman kemanusiaan yang tak berdasar, mengagumi laku-laku heroiknya, dan merasa ngeri pada kebuasannya. Merekalah kawan-kawan yang paling berbakti, yang menggairahkan panggilan hidup saya, dan yang dalam buku-buku mereka saya dapati bahwa bahkan dalam situasi paling celaka, harapan itu ada dan hidup ini layak diupayakan sekalipun hanya karena tanpa hidup kita tidak bisa membaca atau mengkhayalkan cerita-cerita.
Kadang saya bertanya-tanya di negara-negara seperti negara saya, dengan pembaca yang jarang dan begitu banyak kemiskinan, buta huruf, dan ketidakadilan, di mana budaya adalah privilese bagi yang segelintir, tidakkah menulis merupakan kemewahan solipsis. Namun demikian keraguan ini tak pernah mematahkan panggilan saya dan saya pun terus menulis, bahkan pada masa-masa ketika mencari nafkah menyita sebagian besar waktu saya. Saya yakin apa yang saya lakukan ini benar, karena bila agar sastra bisa berkembang sebuah masyarakat pertama-tama perlu untuk mencapai kebudayaan tinggi, kebebasan, kemakmuran, dan keadilan terlebih dulu, sastra tak bakal pernah ada. Sebaliknya, berkat sastra, kesadaran yang dibentuknya, hasrat-hasrat dan kerinduan yang disulutnya, dan kekecewaan kita pada realitas manakala kita kembali dari perjalanan melanglang khayalan indah, peradaban kini tidak seberapa buas dibanding saat para pendongeng mulai memanusiakan hidup dengan fabel-fabel mereka. Kita akan jadi lebih buruk dibanding sekarang tanpa buku-buku bagus yang kita baca, lebih konformis, tak seresah ini, lebih tunduk, dan semangat kritis –mesin penggerak kemajuan—bahkan takkan ada. Ibarat menulis, membaca adalah protes terhadap tidakmemadainya hidup. Saat kita mencari dalam karya fiksi apa yang kurang dalam hidup, kita sedang mengatakan –tanpa perlu mengucapkannya atau bahkan mengetahuinya—bahwa hidup sebagaimana adanya ini tidak memuaskan dahaga kita akan yang-absolut –dasar kedirian manusia—dan semestinya jadi lebih baik. Kita mengarang fiksi agar bisa menjalani banyak hidup yang ingin kita lakoni padahal kita sendiri cuma punya satu kehidupan yang tersedia buat kita.
Tanpa fiksi kita akan jadi kurang awas mengenai pentingnya kebebasan bagi hidup agar bisa dihidupi, dan neraka yang ditimbulkannya ketika kebebasan diinjak-injak oleh seorang tiran, sebuah ideologi, atau agama. Biarkan orang-orang yang menyangsikan bahwa sastra bukan hanya menenggelamkan kita dalam mimpi akan keindahan dan kebahagiaan namun membuat kita waspada akan segala jenis penindasan, bertanya pada diri mereka sendiri mengapa semua rezim yang bertekad mengontrol perilaku warganya dari lahir sampai mati begitu takut akan sastra sampai-sampai mereka membangun sistem sensor untuk menindasnya dan berjaga dengan penuh curiga pada penulis-penulis independen. Mereka berbuat demikian karena tahu risikonya membiarkan imajinasi bebas berkelana dalam buku-buku, pemberontakan yang bisa disulut karya-karya fiksi ketika pembaca membandingkan kebebasan yang memungkinkannya dengan yang dipraktikkan, dengan kemuraman dan rasa takut menanti dalam dunia nyata. Entah menghendakinya atau tidak, menyadarinya atau tidak, para pengarang –saat mengarang kisah-kisahnya—tengah menyebarkan ketidakpuasan, menunjukkan bahwa dunia ini buruk adanya dan kehidupan fantasi lebih kaya ketimbang kehidupan rutin kita sehari-hari. Pemahaman ini, apabila berakar dalam kepekaan dan kesadaran, akan membuat warga makin sulit dimanipulasi, tak sudi menerima kebohongan para inkuisitor dan sipir yang ingin mereka percaya bahwa di balik jeruji, hidup akan lebih aman dan lebih baik.
Sastra yang baik membangun jembatan antara orang yang berbeda-beda, dan dengan membuat kita menikmati, menderita, atau terkejut, mempersatukan kita melampaui bahasa, kepercayaan, kebiasaan, adat istiadat, dan prasangka-prasangka yang memisahkan kita. Ketika paus putih besar mengubur Kapten Ahab di lautan, ciutlah hati para pembaca dengan cara yang sama di Tokyo, Lima, atau Timbuktu. Saat Emma Bovary menenggak arsenik, Anna Karenina membuang diri ke depan kereta, dan Julián Sorel pergi ke tiang gantungan, dan ketika dalam El sur, si dokter kota Juan Dahlmann keluar dari kedai di pampa untuk menghadapi pisau si pembunuh, atau saat kita sadari bahwa semua penghuni Comala, desa Pedro Páramo, mati, rasa merinding sama-sama dialami pembaca yang menyembah Buddha, Konghucu, Kristus, Allah, atau seorang agnostik, atau pembaca yang mengenakan jas dan dasi, jubah chilaba, kimono, atau bombacha. Sastra menciptakan persaudaraan antara keanekaragaman manusia dan memudarkan batas-batas yang didirikan antar lelaki dan perempuan oleh kepicikan, ideologi, agama, bahasa, dan kebodohan.
Karena setiap zaman punya kengeriannya sendiri-sendiri, zaman kita adalah zaman kaum fanatik, teroris bunuh diri, spesies purba yang yakin bahwa dengan membunuh mereka akan masuk surga, bahwa darah orang-orang tak berdosa membasuh kenistaan kolektif, meluruskan ketimpangan, dan menerapkan kebenaran pada keyakinan-keyakinan palsu. Tiap hari, di seluruh dunia, korban-korban tak terhitung banyaknya ditumbalkan oleh pihak-pihak yang merasa memegang kebenaran mutlak itu. Kita percaya, seiring dengan robohnya imperium-imperium totalitarian, bahwa hidup bersama, perdamaian, pluralisme, dan hak azasi manusia akan merebak dan dunia akan menanggalkan holocaust, genosida, invasi, dan perang-perang pemusnahan. Tak satu pun hal itu terjadi. Bentuk-bentuk baru barbarisme meruyak, dipicu oleh fanatisisme, dan dengan menjamurnya senjata-senjata pemusnah massal, kita tidak bisa abaikan bahwa sekelompok kecil penebus membabi buta itu suatu hari bisa menyulut bencana nuklir. Kita harus menghalangi jalan mereka, menantang dan mengalahkan mereka. Jumlahnya tak banyak, sekalipun gemuruh kejahatan mereka bergaung ke sekujur planet dan melanda kita dengan ngerinya mimpi buruk yang mereka sulut. Jangan biarkan diri kita terintimidasi oleh orang-orang yang ingin merampas kebebasan yang telah kita raih sepanjang jalan panjang peradaban. Mari kita pertahankan demokrasi liberal yang dengan segala kekurangannya masih tetap memberi makna penting pada pluralisme politik, koeksistensi, toleransi, hak azasi manusia, penghargaan bagi kritik, legalitas, pemilihan umum yang bebas, silih ganti kekuasaan, segala yang mengeluarkan kita dari kehidupan liar dan membawa kita makin dekat –sekalipun takkan pernah mencapainya—pada kehidupan yang indah nan sempurna bikinan kesusastraan, yang hanya layak kita dapatkan dengan mengarang, menulis, dan membacanya. Dengan melawan pembunuh-pembunuh fanatik itu kita pertahankan hak kita untuk bermimpi dan membuat impian kita menjadi kenyataan.
Semasa muda saya, seperti banyak penulis seangkatan saya, saya seorang Marxis dan yakin bahwa sosialisme akan jadi penangkal bagi eksploitasi dan ketimpangan sosial yang makin buas di negeri saya, Amerika Latin, dan Dunia Ketiga selebihnya. Kekecewaan saya terhadap statisme dan kolektivisme serta peralihan saya menjadi demokrat dan liberal seperti sekarang –yang terus saya upayakan—berlangsung lama, sulit, dan pelan-pelan sebagai dampak episode-episode seperti berubahnya Revolusi Kuba –yang membuat saya bersemangat pada awalnya—menjadi model vertikal otoritarian Uni Soviet; pengakuan para pembangkang yang berhasil lolos melewati pagar kawat duri Gulag; penyebuan Cekoslowakia oleh negara-negara Pakta Warsawa; dan karena para pemikir seperti Raymond Aron, Jean Francois Rével, Isaiah Berlin, dan Karl Popper, kepada siapa saya berutang pemahaman tentang kultur demokratis dan masyarakat terbuka. Para empu itu adalah teladan kejernihan dan keberanian ketika kaum intelligentsia Barat, karena sembrono atau aji mumpung, sepertinya takluk pada mantra sosialisme Soviet, atau lebih parah lagi, pada para penyihir berdarah Revolusi Kebudayaan Cina.
Sebagai anak-anak saya bermimpi untuk suatu hari bisa ke Paris karena –silau oleh sastra Perancis—saya yakin bahwa tinggal di sana dan menghirup udara yang dihirup oleh Balzac, Stendhal, Baudelaire, dan Proust akan turut mengubah saya menjadi penulis sungguhan, dan bila saya tidak meninggalkan Peru saya hanya akan jadi penulis gadungan pada hari Minggu dan hari libur. Dan sebenarnya saya berutang pada Perancis dan budaya Perancis pelajaran-pelajaran tak terlupakan, misalnya bahwa sastra selain panggilan hidup juga adalah disiplin, kerja keras dan kengototan. Saya tinggal di sana saat Sartre dan Camus masih hidup dan menulis, pada masa-masa Ionesco, Beckett, Bataille, dan Cioran, penemuan akan teater Brecht dan film-film Ingmar Bergman, TNP-nya Jean Vilar dan Teater Odéon-nya Jean-Louis Barrault, Nouvelle Vague dan Nouveau Roman serta pidato-pidato André Malraux –gubahan sastra yang indah—serta apa yang waktu itu merupakan tontonan paling teatrikal se-Eropa, konferensi pers dan pidato-pidato mengguntur Jenderal de Gaulle. Namun barangkali saya paling bersyukur pada Perancis karena menemukan Amerika Latin. Di sana saya belajar bahwa Peru adalah bagian dari komunitas luas yang dipersatukan oleh sejarah, geografi, masalah-masalah sosial politik, modus kedirian tertentu, dan bahasa indah yang didituturkan dan dituliskannya. Dan pada tahun-tahun itu pula, Amerika Latin tengah menghasilkan sastra yang baru dan bertenaga. Di sana saya membaca Borges, Octavio Paz, Cortázar, García Márquez, Fuentes, Cabrera Infante, Rulfo, Onetti, Carpentier, Edwards, Donoso, dan banyak lain yang tulisan-tulisannya merevolusi narasi berbahasa Spanyol, dan yang berkat mereka Eropa serta belahan dunia lainnya menemukan bahwa Amerika Latin bukan hanya benua penuh kudeta, tuan-tuan besar di operet, gerilyawan-gerilyawan berewokan, dan marakas musik mambo dan chachachá, namun juga gagasan, bentuk-bentuk artistik, dan fantasi-fantasi literer yang melampaui keindahan belaka dan mengucapkan bahasa yang universal.
Dari waktu itu hingga kini, bukannya tanpa rintangan dan kekhilafan, Amerika Latin telah mengalami kemajuan, sekalipun seperti kata sebuah puisi César Vallejo, Hay, hermanos, muchísimo que hacer (Hai, bung, masih banyak yang harus dilakukan). Kediktatoran lebih sedikit dari sebelumnya, hanya Kuba dan calon penerusnya, Venezuela, serta beberapa pseudodemokrasi populis lawakan macam Bolivia dan Nikaragua. Namun di bagian benua selebihnya, lebih kurangnya, demokrasi berjalan, disokong oleh konsensus umum yang meluas, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah kami, sebagaimana di Brasil, Cile, Uruguay, Peru, Kolombia, Republik Dominika, Meksiko, dan hampir sekujur Amerika Tengah, kami punya kubu kiri dan kanan yang menjunjung legalitas, kebebasan mengkritik, pemilu, dan suksesi kekuasaan. Itu jalan yang benar, dan bila terus begini, dengan tetap memerangi korupsi yang licik dan berintegrasi dengan dunia, Amerika Latin pada akhirnya akan berhenti menjadi benua masa depan dan menjadi benua masa kini.
Saya tak pernah merasa sebagai orang asing di Eropa atau, sejujurnya, di mana pun. Di semua tempat yang pernah saya tinggali, Paris, London, Barcelona, Madrid, Berlin, Washington, New York, Brasil, atau Republik Dominika, saya merasa betah. Saya selalu menemukan sarang untuk bisa hidup tenang dan bekerja, belajar macam-macam, memupuk khayalan, dan menemukan teman, buku-buku bagus, dan tema-tema untuk ditulis. Saya tidak merasa bahwa dengan tanpa sengaja menjadi warga dunia telah memperlemah apa yang disebut “akar saya,” hubungan saya dengan negeri saya sendiri –bukannya tidak teramat penting—sebab bila demikian, pengalaman saya sebagai orang Peru tidak akan terus memupuk saya sebagai penulis dan tidak akan selalu muncul dalam cerita-cerita saya, sekalipun kelihatannya terjadi sangat jauh dari Peru. Saya malah meyakini bahwa tinggal begitu lama di luar negara tempat saya dilahirkan justru memperkuat ikatan itu, memberi perspektif yang lebih jernih terhadapnya, dan nostalgia yang bisa membedakan yang-ajektif dengan yang-substantif dan membuat ingatan berdebar-debar. Mencintai negara tempat seseorang dilahirkan tidak bisa menjadi suatu kewajiban, namun seperti cinta lainnya, haruslah sebuah laku spontan yang keluar dari hati, seperti cinta yang mempersatukan kekasih, orang tua dan anak, serta teman-teman.
Peru saya bawa-bawa jauh di dalam diri saya karena di sanalah saya lahir, tumbuh besar, terbentuk, dan melakoni pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dan remaja yang menyusun kepribadian saya dan menempa panggilan hidup saya, dan di sana saya bercinta, membenci, mencecap kenikmatan, menderita, dan bermimpi. Apa yang terjadi di sana lebih mempengaruhi saya, lebih mengharukan dan menyesakkan saya ketimbang yang terjadi di tempat lain manapun. Saya tidak mengharapkannya atau memaksakannya pada diri saya; begitu saja terjadi. Beberapa sanak sebangsa saya menuding saya sebagai pengkhianat, dan saya nyaris kehilangan kewarganegaraan manakala selama masa kediktatoran terakhir, saya meminta pemerintahan negara-negara demokratis sedunia untuk menghukum rezim tersebut dengan sanksi-sanksi diplomatik dan ekonomi, sebagaimana yang selalu saya perbuat dengan segala jenis kediktatoran, entah itu Pinochet, Fidel Castro, Taliban di Afghanistan, Imam di Iran, apartheid di Afrika Selatan, penguasa-penguasa berseragam di Burma (kini Myanmar). Dan saya akan melakukannya lagi esok bila –semoga nasib tidak menakdirkan demikian dan rakyat Peru takkan mengizinkan—Peru sekali lagi menjadi korban kudeta yang menghabisi demokrasi kami yang masih rapuh. Ini bukan tindakan emosional yang gegabah dari seseorang yang sakit hati, seperti ditulis beberapa pengulas, yang terbiasa menilai orang lain dari sudut pandang mereka sendiri yang kerdil. Ini tindakan yang segaris dengan keyakinan saya bahwa kediktatoran menghadirkan kedurjanaan absolut untuk sebuah negeri, sumber brutalitas dan korupsi serta luka-luka mendalam yang butuh waktu lama untuk menutup, meracuni masa depan bangsa, dan membentuk kebiasaan dan praktik-praktik mudarat yang bertahan selama sekian keturunan dan menghalangi rekonstruksi demokratis. Itu sebabnya kediktatoran harus diperangi tanpa ragu, dengan segala cara yang bisa kita pakai, termasuk sanksi ekonomi. Sungguh sayang pemerintahan negara-negara demokratis, alih-alih menjadi teladan solidaritas bersama orang-orang seperti Damas de Blanco di Kuba, kubu oposisi Venezuela, atau Aung San Suu Kyi dan Liu Xiaobo, yang dengan gagah berani menantang kediktatoran yang mereka tanggung, kerap justru tak memihak mereka melainkan algojo mereka. Para pemberani itu, yang sedang memperjuangkan kebebasan mereka, juga tengah memperjuangkan kebebasan kita.
Seorang sanak sebangsa saya, José María Arguedas, menyebut Peru sebagai negeri dari “setiap darah.” Saya tidak yakin ada rumusan lain yang lebih pas untuk itu: itulah kami dan itulah yang dibawa oleh semua orang Peru dalam dirinya, entah suka atau tidak: agregat dari tradisi, ras, kepercayaan, dan kebudayaan dari empat penjuru angin. Saya bangga merasa diri sebagai pewaris budaya pra-Hispanik yang menciptakan kain dan mantel-mantel bulu Nazca dan Paracas serta keramik-keramik Mochica atau Inca yang dipamerkan di museum-museum terbaik dunia, para pembangun Machu Picchu, Gran Chimú, Chan Chan, Kuelap, Sipán, situs pemakaman huaca di La Bruja dan El Sol serta La Luna, serta kepada orang-orang Spanyol yang dengan pundi-pundi pelana, pedang, dan kuda-kuda mereka, membawa ke Peru tradisi Yunani, Romawi, Yudea-Kristen, Renaissance, Cervantes, Quevedo, dan Góngora, serta bahasa Castilia kasar yang dipermanis oleh Andes. Dan bersama Spanyol datanglah Afrika, dengan kekuatannya, musiknya, serta imajinasinya yang meletup-letup, memperkaya heterogenitas Peru. Sedikit penelisikan akan membuat kita mendapati bahwa Peru, seperti Aleph-nya Borges, adalah bentuk kecil seisi dunia. Sungguh sebuah privelese luar biasa bagi sebuah negeri untuk tidak memiliki sebuah identitas karena ia memiliki semuanya!
Penaklukan benua Amerika keji dan buas, seperti semua penaklukan tentunya, dan kita harus mengkritiknya, namun jangan lupa bahwa mereka yang melakukan penjarahan dan kejahatan itu sebagian besarnya adalah kakek-kakek moyang kita, orang-orang Spanyol yang datang ke benua Amerika dan hidup mempribumikan diri, bukan mereka yang tinggal di negeri mereka sendiri. Kritik tersebut, agar adil, harus merupakan kritik diri. Sebab setelah kita meraih kemerdekaan dari Spanyol dua ratus tahun lalu, mereka yang memangku kekuasaan di bekas-bekas negara koloni, alih-alih membebaskan orang Indian dan menegakkan keadilan atas kesalahan-kesalahan lama, malah terus mengeksploitasi mereka dengan kerakusan dan kebuasan yang sama seperti kaum penakluk, dan di beberapa negara, memangkas dan memusnahkan mereka. Mari akui dengan sejelas-jelasnya: selama dua abad emansipasi penduduk adat menjadi tanggung jawab eksklusif kita, dan kita tidak memenuhinya. Ini terus menjadi isu tak terpecahkan di seluruh Amerika Latin. Tak ada perkecualian satu pun atas aib dan rasa malu ini.
Saya cinta Spanyol sebagaimana Peru, dan utang saya padanya sebesar rasa terima kasih saya. Bila bukan karena Spanyol, saya takkan pernah naik ke podium ini atau menjadi penulis ternama dan barangkali, seperti begitu banyak rekan-rekan yang kurang beruntung, akan gentayangan di limbus para penulis tanpa rezeki, penerbit, anugerah, atau pembaca, yang bakatnya –moga-moga saja—akan ditemukan kelak kemudian hari. Semua buku saya terbit di Spanyol, di mana saya menerima pengakuan berlebihan, dan kawan-kawan seperti Carlos Barral, Carmen Balcells, dan banyak lainnya berjuang keras agar cerita-cerita saya punya pembaca. Dan Spanyol memberi saya kewarganegaraan kedua ketika saya nyaris kehilangan kewarganegaraan saya. Saya tak pernah merasakan sedikit pun ketelingkahan antara menjadi orang Peru dan memiliki paspor Spanyol, sebab saya senantiasa merasa bahwa Spanyol dan Peru adalah dua sisi mata uang yang sama, bukan hanya dalam diri saya yang kecil ini namun dalam realitas-realitas hakiki seperti sejarah, bahasa, dan budaya.
Selama bertahun-tahun tinggal di tanah Spanyol, saya mengenang lima tahun paling brilian yang saya habiskan di Barcelona tersayang pada awal 1970an. Kedikatoran Franco masih berkuasa dan main tembak, namun sudah menjadi fosil compang camping, dan terutama di bidang kebudayaan, tak mampu mempertahankan kontrolnya seperti dulu. Celah dan retakan telah merekah dan tak bisa ditambal oleh sensor. Melalui itu masyarakat Spanyol menyerap ide-ide baru, buku-buku, arus-arus pemikiran, dan nilai-nilai serta bentuk-bentuk artistik yang sebelumnya dilarang karena subversif. Tak ada kota yang memetik manfaat lebih besar atau lebih baik ketimbang Barcelona dari diawalinya keterbukaan ini, atau mengalami kegairahan di segala bidang gagasan dan penciptaan. Ia menjadi ibukota kebudayaan Spanyol, di mana Anda menghirup hawa antisipasi akan kebebasan yang tengah menjelang. Dan dalam satu hal, Barcelona juga ibukota kebudayaan Amerika Latin dari banyaknya pelukis, penulis, penebit, dan seniman dari negara-negara Amerika Latin yang entah menetap atau bepergian bolak balik ke Barcelona: di situlah tempatnya bila Anda ingin menjadi penyair, novelis, pelukis, atau komponis pada zaman kami. Bagi saya, itulah tahun-tahun tak terlupakan penuh kekerabatan, persahabatan, persekongkolan, dan kerja intelektual yang subur. Sama seperti Paris dulu, Barcelona adalah Menara Babel, sebuah kota kosmopolitan dan universal yang merangsang buat kerja dan ditinggali, dan di mana pertama kalinya sejak Perang Saudara, para penulis Spanyol dan Amerika Latin berbaur dan bergaul, saling mengakui satu sama lain sebagai pewaris tradisi yang sama dan bersekutu dalam usaha bersama dan sebuah kepastian: berakhirnya kediktatoran sudah di ambang pintu dan dalam Spanyol yang demokratis, kebudayaan akan menjadi lakon utamanya.
Sekalipun tidak berlangsung persis seperti itu, transisi Spanyol dari kediktatoran menuju demokrasi adalah salah satu cerita terbaik zaman modern, sebuah contoh bagaimana bila akal sehat dan rasionalitas menang dan seteru-seteru politik meminggirkan sektarianisme demi kemaslahatan bersama, peristiwa demi peristiwa bisa berlangsung sama ajaibnya seperti dalam novel-novel realisme magis. Transisi Spanyol dari otoritarianisme ke kebebasan, dari keterbelakangan menuju kemakmuran, dari kontras-kontras ekonomi dan ketimpangan dunia ketiga menjadi sebuah negara kelas menengah, integrasinya ke Eropa dan penerapan budaya demokratis hanya dalam sekian tahun, telah mencengangkan seluruh dunia dan melejitkan modernisasi Spanyol. Mengharukan dan sungguh menggugah buat saya untuk bisa mengalaminya dari dekat, kadang dari dalam. Semoga nasionalisme, wabah tak tersembuhkan dunia modern dan Spanyol pula, tidak merusak cerita bahagia ini.
Saya benci setiap bentuk nasionalisme, sebuah ideologi parokial –atau tepatnya, agama—yang rabun jauh, eksklusif, memangkas cakrawala intelektual dan menyembunyikan dalam dadanya prasangka-prasangka etnis dan rasis, karena ia mengubah menjadi suatu nilai utama, suatu privilese moral dan ontologis, kondisi kebetulan dari tempat kelahiran. Seiring dengan agama, nasionalisme telah menjadi penyebab pembantaian terburuk sepanjang sejarah, seperti dalam dua perang dunia dan pertumpahan darah sekarang di Timur Tengah. Tak ada yang menyumbang lebih besar pada proses balkanisasi Amerika Latin selain nasionalisme, bersimbah darah dalam perang dan pertikaian tak masuk akal, menghambur-hamburkan sumber daya secara besar-besaran untuk membeli senjata alih-alih membangun sekolah, perpustakaan, dan rumah sakit.
Janganlah kita rancukan nasionalisme penyumbat telinga ini dan penolakannya atas “yang lain” –yang selalu menjadi bibit kekerasan—dengan patriotisme, perasaan cinta yang sehat dan murah hati atas tanah kelahiran, tempat tinggal nenek moyang kita, di mana mimpi-mimpi perdana kita ditempa, sebuah lanskap akrab dari geografi, orang-orang tercinta, dan peristiwa-peristiwa yang berubah menjadi penanda-penanda ingatan dan pertahanan melawan kesunyian. Tanah air bukanlah bendera, lagu kebangsaan, atau wacana-wacana resmi mengenai tokoh-tokoh pahlawan, namun segelintir tempat dan orang-orang yang memenuhi ingatan kita dan mewarnainya dengan kesenduan, sensasi hangat yang tak peduli di manapun kita berada, akan ada rumah bagi kita untuk pulang.
Peru bagi saya adalah Arequipa, tempat lahir saya yang tak pernah saya tinggali, kota tempat ibu, kakek-nenek, bibi-bibi, dan paman-paman mengajari saya untuk tahu melalui kenangan-kenangan dan kerinduan mereka, karena seluruh puak kerabat saya, seperti yang cenderung dilakukan orang-orang Arequipa, selalu membawa Kota Putih itu dalam diri mereka sepanjang hidupnya yang mengembara. Peru adalah Piura di tengah gurun, pohon-pohon khurnub dan keledai-keledai sengsara yang oleh orang-orang Piura saat saya muda dinamai “kaki orang lain” –nama yang anggun dan memelas—di mana saya mendapati bahwa burung bangau tidak membawa bayi ke dunia ini melainkan sepasang sejolilah yang membuatnya dengan melakukan hal-hal barbar yang adalah dosa mematikan. Peru adalah Colegio San Miguel dan Teatro Variedades di mana untuk pertama kalinya saya melihat tulisan pendek saya digarap untuk pentas. Peru adalah pojokan Diego Ferré dan Colón, di Miraflores kota Lima –kami menyebutnya Barrio Alegre (Kampung Bahagia)—tempat saya berganti celana pendek dengan celana panjang, menghisap rokok pertama, belajar menari, jatuh cinta, dan membuka hati pada gadis-gadis. Peru adalah kantor redaksi koran La Crónica yang berdebu dan terus berdenyut, di mana pada umur 16 tahun saya bergadang sepanjang penugasan pertama saya sebagai jurnalis, pekerjaan yang –seiring dengan sastra—telah menyita hampir seluruh hidup saya, dan ibarat buku-buku, telah membuat saya lebih hidup, mengenal dunia lebih baik, dan bisa bersama-sama orang-orang lelaki dan perempuan dari segala tempat dan kelas, orang-orang hebat, baik, jahat, dan mengerikan. Peru adalah Akademi Militer Leoncio Prado, di mana saya belajar bahwa Peru bukanlah kantung kecil kelas menengah yang saya tinggali sampai saat itu, tertutup dan terlindung, melainkan negeri luas, purba, bengis, timpang, yang guncang oleh segala jenis prahara sosial. Peru adalah sel-sel klandestin Cahuide di mana bersama segelintir mahasiswa San Marcos, kami siapkan revolusi dunia. Dan Peru adalah kawan-kawan saya dalam Gerakan Kebebasan yang bersama mereka selama tiga tahun, di tengah-tengah bom, pemadaman, dan pembunuhan teroris, kami bekerja membela demokrasi dan kultur kebebasan.
Peru adalah Patricia, sepupu saya dengan hidung pesek dan watak liar, yang saya merasa beruntung bisa menikahinya 45 tahun lalu dan yang masih betah menanggung mania, neurosa, dan ledakan kemarahan yang membantu saya menulis. Tanpanya hidup saya sudah lama larut dalam puting beliung kekacauan, dan tak bakal lahir Álvaro, Gonzalo, Morgana serta enam cucu yang memperpanjang eksistensi kami. Ia menggarap segalanya dan menggarap segalanya dengan beres. Ia pecahkan masalah, mengatur keuangan, menata keberantakan, menjauhkan wartawan dan tamu-tamu tak diundang, mempertahankan waktu saya, memutuskan pertemuan dan perjalanan, mengemas dan membongkar kopor-kopor, dan begitu murah hati sampai-sampai ketika ia mengira sedang mencerca saya, ia malah memberi sanjungan tertinggi: “Mario, bisamu cuma menulis.”
Kembali ke soal sastra. Surga masa kanak-kanak bukanlah mitos literer buat saya melainkan kenyataan yang saya hidupi dan nikmati dalam rumah keluarga saya, rumah besar berteras tiga di Cochabamba. Di sana bersama sepupu-sepupu dan teman-teman sekolah kami meniru cerita-cerita Tarzan dan Salgari, dan di Prefektur Piura, tempat kelelawar bersarang di loteng-loteng, bayang-bayang sunyi yang memenuhi malam-malam berbintang di wilayah panas itu dengan misteri. Selama tahun-tahun itu, menulis adalah memainkan permainan yang disukai sanak keluarga, sesuatu yang asyik yang mendatangkan tepuk tangan buat saya, cucu, kemenakan, anak tanpa seorang papa sebab ayah saya telah meninggal dan naik ke surga. Ia lelaki jangkung dan tampan berseragam angkatan laut yang fotonya menghiasi meja samping ranjang saya, yang saya doakan dan saya kecup sebelum tidur. Suatu pagi di Piura itu –saya kira saya belum pulih darinya—ibu memberitahu bahwa pria tersebut sesungguhnya masih hidup. Dan pada hari itu juga kami akan tinggal bersamanya di Lima. Saya berumur sebelas tahun, dan sejak itu segalanya berubah. Rontoklah kepolosan saya dan saya pun mendapati rasa sepi, otoritas, kehidupan dewasa, dan rasa takut. Hiburan saya adalah membaca, membaca buku-buku bagus, berlindung dalam dunia di mana hidup itu penuh gelora, intens, satu petualangan disusul lainnya, di mana saya bisa kembali merasa bebas dan bahagia. Dan itu ditulis, diam-diam, bak seseorang yang menyerahkan diri pada kejahatan tak terkatakan, luapan hasrat yang terlarang. Sastra tak lagi menjadi permainan. Ia menjadi cara untuk melawan kesukaran, memprotes, memberontak, kabur dari yang tak tertanggungkan, alasan saya untuk hidup. Sejak itu hingga kini, di tiap situasi yang membuat saya merasa patah arang atau babak belur, di tubir keputusasaan, mencurahkan jiwa dan raga saya pada kerja sebagai pendongeng telah menjadi cahaya di ujung terowongan, papan kayu yang membawa seorang karam ke tepian.
Sekalipun sulit sekali dan membuat saya berkeringat darah dan, laiknya setiap penulis, terkadang merasakan ancaman kelumpuhan, musim paceklik imajinasi, tak ada yang membuat saya menikmati hidup ini sebagaimana menghabiskan berbulan-bulan dan bertahun-tahun merangkai sebuah kisah, dari awalnya yang serba tak pasti, gambaran yang disimpan oleh ingatan dari suatu pengalaman yang dihayati yang berubah menjadi kegelisahan, antusiasme, lamunan yang lantas berkecambah menjadi suatu proyek dan keputusan untuk berupaya mengubah kabut bayang-bayang meresahkan itu menjadi sebuah cerita. “Menulis adalah sebuah cara hidup,” kata Flaubert. Ya, jelas, cara hidup dengan ilusi dan suka cita dan api yang menyambar-nyambar dalam kepala, bergulat dengan kata-kata yang membandel sampai Anda tundukkan mereka, menjelajahi dunia luas ini ibarat pemburu melacak mangsa yang diinginkannya untuk memberi makan bibit fiksi dan meredakan nafsu rakus cerita-cerita yang tumbuh seperti hendak memangsa cerita-cerita lainnya. Mulai merasakan vertigo yang dihadirkan oleh si calon novel, tatkala ia mulai berwujud dan terlihat memiliki hidupnya sendiri, dengan karakter-karakter yang bergerak, bertindak, berpikir, merasa, dan menuntut penghargaan dan pertimbangan, yang tak mungkin lagi kita paksakan perilaku dengan sewenang-wenang atau mencabut kehendak bebas mereka tanpa membunuhnya, tanpa membuat cerita kehilangan daya rayunya, inilah pengalaman yang terus menerus memukau saya seperti saat pertama kalinya, begitu utuh dan memusingkan seperti bercinta dengan perempuan yang disayangi selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tanpa henti.
Saat membahas fiksi, saya banyak membicarakan novel dan sangat sedikit tentang teater, bentuk agungnya yang lain. Sangat tak adil memang. Teater adalah cinta pertama saya, sejak masih remaja saat saya menonton di Teatro Segura, Lima, Death of a Salesman karya Arthur Miller, pertunjukan yang membuat saya melambung penuh emosi dan mendorong penulisan drama saya tentang Inca. Andaikata ada gerakan teater di Lima pada 1950an, saya akan jadi dramawan alih-alih novelis. Namun tidak ada, dan pasti itulah yang mengarahkan saya makin lama makin menjurus ke narasi. Namun cinta saya akan teater tak pernah usai, tidur meringkuk dalam bayang-bayang novel, ibarat sebuah godaan dan nostalgia, terutama ketika saya menonton pertunjukan menawan. Pada akhir 1970an, kenangan terus menerus akan seorang nenek buyut yang berusia seabad, Mamaé, yang pada tahun-tahun penghabisan hidupnya memutus realitas sekitar dan berlindung dalam kenangan dan fiksi, menyiratkan sebuah cerita. Dan saya merasa, secara firasat, bahwa ini adalah cerita buat teater, bahwa hanya di panggung ia bisa punya getar dan kemegahan karya-karya fiksi yang berhasil. Saya menuliskannya dengan luapan semangat seorang pemula dan begitu menikmati melihatnya dipentaskan dengan Norma Aleandro memegang peran utama perempuan, dan sejak itu, antara novel dengan novel, esai dengan esai, saya kambuh beberapa kali menulis teater. Dan tentu saja saya tak pernah membayangkan bahwa pada usia tujuh puluhan saya akan naik (atau tepatnya, diseret) ke atas panggung untuk berakting. Pengalaman nekat tersebut membuat saya –seseorang yang menghabiskan hidupnya menulis karya fiksi—mengalami untuk pertama kalinya dengan tubuh dan darah sendiri keajaiban melakoni selama beberapa jam sebuah tokoh khayalan, menghidupkan fiksi itu di hadapan penonton. Saya takkan pernah cukup berterima kasih pada sahabat-sahabat terkasih saya, sutradara Joan Ollé dan aktris Aitana Sánchez Gijón, yang mendorong saya ikut menjalani pengalaman fantastis tersebut (sekalipun panik menyertainya).
Sastra adalah representasi palsu kehidupan yang toh demikian membantu kita untuk bisa lebih memahami kehidupan, memberi kita orientasi dalam labirin tempat kita dilahirkan, berkembang, dan mati. Ia memberi kompensasi bagi pil pahit dan rasa frustrasi yang ditimpakan pada kita oleh kehidupan nyata, dan berkatnya kita bisa memahami, setidaknya sebagian, tulisan tak terbaca yang adalah hidup itu sendiri bagi mayoritas umat manusia, terutama bagi kita yang membuahkan lebih banyak keraguan daripada kepastian dan mengakui kebingungan kita dalam menghadapi persoalan-persoalan seperti transendensi, nasib diri individual dan kolektif, jiwa, makna atau ketidakbermaknaan sejarah, apa yang masuk dan apa yang di luar pengetahuan rasional.
Saya selalu terkesima membayangkan situasi tak menentu di mana nenek moyang kita, yang masih tak jauh berbeda dengan binatang, memakai bahasa yang memungkinkan mereka berkomunikasi, dalam gua-gua, di seputar api unggun, pada malam-malam yang menggelegak penuh ancaman –kilat, guntur, dan geram binatang buas—mulai mengarang dan menuturkan cerita-cerita. Itulah momen krusial dalam takdir kita, sebab di lingkaran manusia-manusia primitif yang diikat oleh suara dan khayalan sang pendongeng, peradaban bermula, perjalanan panjang yang berangsur-angsur akan memanusiakan kita dan membimbing kita menemukan individu berdaulat, yang terlepas dari puak, yang mengolah ilmu pengetahuan, seni, hukum, kebebasan, dan menelisik jeroan paling dalam dari alam, tubuh manusia, ruang angkasa, dan berkelana ke bintang-bintang. Dongeng-dongeng, fabel-fabel, mitos-mitos, legenda-legenda yang bergaung untuk pertama kalinya bak musik anyar di hadapan pendengar yang terancam oleh misteri dan bahaya dunia di mana segala sesuatunya tak dikenal dan rawan, pasti merupakan guyuran yang menyegarkan, pemandian teduh bagi jiwa-jiwa yang senantiasa waspada, yang hidupnya cuma berarti makan, berlindung dari cuaca, membunuh, dan berkembang biak. Sejak saat mereka mulai bermimpi secara kolektif, berbagi impian, terdorong oleh para pendongeng, mereka tak lagi begitu terikat pada putaran roda pertahanan hidup, pusaran tugas yang mematikan itu, dan hidup mereka pun menjadi mimpi, kenikmatan, fantasi, serta sebuah rencana revolusioner: lepas dari kekangan ini, berubah dan jadi lebih baik, sebuah pergulatan untuk meredakan hasrat dan ambisi yang menghasutkan kehidupan-kehidupan yang bisa mereka bayangkan, serta rasa penasaran untuk menjernihkan apa-apa yang tak diketahui dari sekeliling mereka yang separuh tertutup.
Proses yang tak pernah terputus ini diperkaya saat tulisan lahir dan cerita-cerita, selain didengar, juga bisa dibaca, mencapai keabadian yang diberikan oleh kesusastraan. Karena itulah ini harus terus diulang-ulang tanpa henti untuk meyakinkan generasi-generasi baru: bahwa fiksi lebih dari sekadar hiburan, lebih dari olah intelektual yang mempertajam kepekaan seseorang dan membangkitkan semangat kritis. Ini keniscayaan mutlak agar peradaban terus ada, memperbarui dan melestarikan dalam diri kita yang terbaik dari arti menjadi manusia. Agar kita tidak kembali pada kebiadaban hidup terisolir dan agar hidup tidak tereduksi menuju pragmatisme kaum spesialis yang melihat hal ihwal secara mendalam namun mengabaikan apa yang melingkupi, mendahului, dan melanjutkan hal-hal tersebut. Agar kita tidak bergeser dari dilayani mesin-mesin yang kita ciptakan menjadi pelayan dan budak mereka. Dan karena sebuah dunia tanpa sastra akan menjadi dunia tanpa hasrat, cita-cita dan pembangkangan, dunia robot yang tak memiliki apa yang membuat manusia benar-benar menjadi manusia: kapasitas untuk bergerak keluar dari diri sendiri dan menjadi yang lain, menjadi lain-lainnya, yang dibentuk seturut adonan tanah liat mimpi-mimpi kita.
Dari gua-gua hingga pencakar langit, dari pentungan hingga senjata pemusnah massal, dari kehidupan tautologis suku-suku hingga era globalisasi, fiksi-fiksi sastrawi telah melipatgandakan pengalaman manusia, mencegah kita tunduk pada kelayuan, penarikan diri, kepasrahan. Tak ada yang menabur lebih banyak keresahan, begitu mengusik imajinasi dan hasrat-hasrat kita seperti kehidupan bohong-bohongan yang kita imbuhkan, berkat sastra, pada kehidupan yang kita punya, agar kita bisa menjadi tokoh-tokoh protagonis dalam petualangan-petualangan besar, gairah-gairah luhur yang takkan diberikan kehidupan nyata pada kita. Kebohongan sastra menjadi kebenaran melalui kita, para pembaca yang terubah, terasuki kerinduan, dan melalui fiksi, terus menerus menggugat realitas yang medioker ini. Sihir, ilusi untuk memiliki apa yang tak kita miliki, menjadi apa yang bukan kita, menjalani kehidupan mustahil seperti dewa-dewa di mana kita merasa fana dan baka pada saat yang sama, sastra memperkenalkan pada jiwa kita sikap non-kompromi dan pemberontakan, yang berada di balik semua tindakan kepahlawanan yang turut berperan mengurangi kekerasan dalam hubungan antarmanusia. Mengurangi kekerasan, bukan mengakhiri. Karena kisah kita, untungnya, akan terus menjadi kisah yang belum rampung. Itu sebabnya kita harus terus bermimpi, membaca, dan menulis, cara paling efektif yang kita temukan untuk meredakan kefanaan kita, mengalahkan kegalauan waktu, dan mengubah yang mustahil menjadi mungkin.
Stockholm, 7 Desember 2010