Masih teringat jelas dalam benakku, sebuah adegan di dalam The 13th Warrior. Film yang dibintangi Antonio Banderas menceritakan seorang pemuda, utusan Arab, bernama Ahmed yang singgah di sebuah desa Viking. Bukan tentang adegan percintaannya ataupun bagaimana ia menjadi ksatria ketiga belas nanti, melainkan keheranan penduduk desa tersebut manakala tahu Ahmed bisa menulis.
“Apakah kamu bisa menggambar bahasa?” tanya teman Vikingnya. “Ya,” kata Ahmed. “Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,” sambil menuliskan dua kalimat syahadat di atas tanah bersalju.
Pada mulanya adalah bunyi. Itu kata Sapardi Djoko Damono. Bunyi menjadi bahasa. Bahasa kemudian diaksarakan. Metafora lahir kemudian karena bahasa cenderung tidak dapat mendekati realitas. Dalam konsep yang lebih luas lagi, bahasa itu sendiri adalah metafora karena ia berusaha merengkuh realitas. Keberadaan bahasa itu adalah sebagai pembanding dari realitas.
Tentang bunyi ada sendiri ilmunya. Fonologi. Kita juga mengenal kata fonem atau bunyi itu sendiri. Soal fonem/bunyi ini, saya mengingat guru Bahasa Indonesia saya saat kelas 3 SMA. Namanya Ibu Zazur Erwati. Ada satu hari berisi satu pelajaran yang tidak saya lupakan hingga hari ini. Sebelas tahun telah berlalu, dan ingatan itu masih kuat.
Tahukah kamu tentang peN-an? Dibaca penasalan?
Dalam teks-teks pelajaran bahasa Indonesia kekinian, hal ini tidak pernah dituliskan. Bahkan ketika mengajar privat untuk USM STAN (saat itu masih ada bagian soal Bahasa Indonesia), murid saya dari sekolah swasta terkenal di Jakarta mengaku tidak tahu. Dia mengambil buku catatannya yang tebal dan menunjukkan isi yang mirip dengan hal yang pernah diajarkan ke saya.
Penasalan berkaitan dengan morfologi kata. Penasalan adalah aturan mengenai pembentukan kata dari kata dasar bila bertemu dengan imbuhan. Namun, penasalan ini hanya berkaitan dengan awalan me-.
PeN + kata dasar + an = Orang yang melakukan + kata dasar
—
Saya masih hapal di dalam kepala pembagiannya:
PeN-an akan berubah menjadi Pem-an bila bertemu kata dasar berfonem awal b, p, f, v
PeN-an akan berubah menjadi Pen-an bila bertemu kata dasar berfonem awal c, d, j, t, sy, z
PeN-an akan berubah menjadi Peng-an bila bertemu kata dasar berfonem awalm k, g, h, kh, dan semua bunyi vokal (a, i, u, e, o)
PeN-an akan berubah menjadi Penge-an bila bertemu kata dasar yang hanya punya satu suku kata
PeN-an akan berubah menjadi Peny-an bila bertemu kata dasar berfonem awal s
PeN-an akan berubah menjadi Pe-an bila bertemu kata dasar berfonem awal l, m, n, ng, ny, r, w.
—
Hal yang menarik adalah guru saya itu mengajari saya fonem. Dasarnya adalah fonem, bukan huruf awal. Berbeda dengan teks kini, ketika membahas morofologi kata, tahunya mereka tentang metode KTSP. Bila bertemu kata dasar berhuruf awal k, t, s dan p, kata tersebut mengalami peluluhan. Lalu bagaimana dengan fonem sy, ny, ng, kh?
Apa kata dasar dari mengaji?
Kalau merujuk pada penasalan, bisa jadi aji, kaji atau ngaji. Tinggal kemudian kita mengecek kata dasar yang baku.
Kekeliruan kerap terjadi kemudian bila penasalan disandingkan dengan awalan pe- yang menyatakan arti profesi. Pada dasarnya, awalan pe- yang menyatakan profesi bila bertemu kata dasar, ia tidak mengalami perubahan
Contoh:
Petinju= Orang yang profesinya bertinju.
Peninju= Orang yang meninju.
Petembak= Atlet tembak.
Penembak= Orang yang menembak.
Namun, lagi-lagi bahasa punya pengecualian untuk awalan pe- yang menyatakan profesi.
Contoh:
Pembunuh. Bisa jadi berprofesi sebagai pembunuh. Bisa juga berarti orang yang membunuh.
Lalu bagaimana dengan penyair? Apakah penulisan penyair sudah benar?
Kata dasarnya adalah syair. Bila mengikuti penasalan, bentukan katanya adalah pensyair. Yang berarti orang yang menulis atau membaca syair. Tapi bila itu dikaitkan dengan profesi, aturan dasar membentuk kata itu menjadi pesyair. Tapi bahkan kata pesyair tak lazim didengar.
Sebelum teori, kita kudu memahami konstruksi teori. Konstruksi teori ada berdasakan pendekatan-pendekatan. Ada pendekatan semantik, sintaksis, pragmatis, pragmatis deskriptif, normatif, positif, dan lain-lain.
Nah, seperti diungkapkan di awal, bahasa itu metafora, dalam artian dia berusaha menangkap realitas. Maka, tak salah kalau dikatakan kalau bahasa itu dinamis karena bahasa mengikuti manusia. Manusia berubah dari zaman ke zaman. Pembakuan bahasa yang tak betul memilih pendekatan atau tak justru tak melakukan pendekatan terhadap manusianya akan kalah. Bahasa bisa jadi musnah karena manusia tidak mau memakai bahasa itu. Bahasa dianggap tidak mewakili mereka.
Dalam hal penyair merujuk ke arti profesi, saya meyakini kata yang benar adalah penyair. Pendekatan positif yang berlaku.
Inilah yang menyebabkan kita tak perlu heran bila ada perbedaan pendapat dari para pekerja bahasa. Kita juga mengenal adanya selingung. Gaya selingkung adalah pedoman tata cara penulisan. Setiap penerbit biasanya memiliki gaya selingkung yang berbeda-beda.
Kebakuan adalah orotitas yang dipegang oleh Pusat Bahasa. Tidak setuju dengan Pusat Bahasa boleh-boleh saja asal kita punya ilmu untuk mendasari ketidaksetujuan itu.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sudah edisi keempat sekarang (atau mau edisi kelima?). Ejaan yang Disempurnakan (EyD) sudah menjadi Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Selalu ada yang berubah, selalu ada yang baru.
Satu contoh, sebagai penutup, tentang kegalauan Pusat Bahasa dalam menentukan kebakuan.
Mana yang baku, embus atau hembus?
KBBI yang sekarang menyatakan embus yang baku. KBBI yang dulu menyatakan hembus yang baku. Entah apa penjelasannya kok diubah demikian. Sampai hari ini saya masih suka pakai kata hembus. Mau tahu kenapa?
Simpel. Coba hembuskan napasmu. Terasa ada “h”nya nggak dalam hembusan napas? Nah, itulah fonem. Bunyi.
(2016)