Menarik, bila kita menyimak tulisan Ratih Dwi Astuti (2018) di Jurnal Ruang yang membicarakan tentang puisi dalam budaya milenial. Menurutnya, puisi masa kini kebanyakan lahir dengan kuatnya pengaruh budaya milenial yang serbamudah dan serbacepat. Dengan kata lain, Astuti sebenarnya memiliki kekhawatiran bahwa puisi akan kehilangan kedalamannya.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Puisi mulai diajak meninggalkan ruang sepinya, terlebih ketika Instagram menjadi fenomena media sosial yang kini kian menanjak. Sampai ada anggapan, sejak ada Instagram, semua orang merasa bisa menulis puisi. Lalu bermunculanlah akun-akun beratas nama sajak/puisi yang menampilkan kata-kata tertentu yang di-like dan dibagikan ke banyak orang. Generasi itu, bahkan memiliki nama sendiri, generasi Instapoet.
Di satu sisi, hal tersebut positif karena bisa membuat banyak orang mengenal dan menyukai puisi. Ibarat Matematika, tidak mungkin seseorang langsung dikenalkan pada logaritma atau integral, semua harus bermula dari aljabar sederhana. Satu ditambah satu sama dengan dua. Namun, di sisi lain, jangan-jangan akan banyak orang sudah cukup puas dengan bisa pertambahan atau perkalian biasa.
Puisi dan variabelnya akan tereduksi sedemikian rupa, sehingga kedalaman tadi, intelektualitas yang dimiliki penyair dalam mengeram puisi-puisinya akan punah. Tersisa puisi cepat saji yang kekurangan kandungan gizi.
Anggi (Niskala) sebagai founder Kumpulan Puisi yang memiliki ratusan ribu followers di Instagram dan jutaan di Line sudah barang tentu memiliki kesadaran untuk mengajak pembacanya hingga ke jantung puisi. Buku puisi pertamanya ini bisa dipandang sebagai upaya membuktikan keseriusan dirinya dalam berpuisi.
Mempertalikan Diri ke Dunia yang Lebih Luas
Subagio Sastrowardoyo, sebagaimana disampaikan Hasan Aspahani dalam Paradigma Subagio Sastrowradoyo, menyatakan tema cinta abadi dalam sajak. Di sisi lain, seorang penyair harus mempertalikan dirinya ke dunia yang lebih luas.
Segala sesuatunya bisa dibungkus dengan cinta dan ketika bungkusan itu dibuka, dikupas sebanyak-banyaknya, yang akan kita temukan juga cinta. Pertalian dengan dunia yang lebih luas di sini mengharuskan perasaan cinta penyair memiliki kepedulian terhadap yang terjadi dengan dunia di sekililingnya. Seorang penyair menggali ke dalam dirinya sekaligus menautkannya dengan dunia yang luas itu.
Dalam beberapa puisinya, Anggi tampak memiliki keresahan semacam itu. Misalnya dalam Ada Apa dengan Jakarta, ia berkata:
Gedung-gedung menjulang tinggi saling berlomba memamerkan kegagahan
Baju-baju mereka tak pernah lepas dengan keringat, udara yang kotor dan seringkali bikin sesak di dadaMeskipun begitu, aku selalu merindukan kota Jakarta.
Ada apa dengan Jakarta?
Dalam puisi ini, Anggi menyoroti persoalan Jakarta yang selalu melahirkan ironi. Ia (kota itu) begitu tidak manusiawi sehingga dapat kita saksikan gedung-gedung menjulang, orang lebih takut terlambat daripada keselamatan dirinya sendiri, dan polusi yang begitu dahsyat. Namun, kota itu selalu didatangi jutaan manusia setiap harinya yang bermukim di sekitar Jakarta, dan orang-orang dari daerah lain yang datang untuk mencari kerja.
Upaya semacam inilah yang seharusnya dilakukan Anggi di dalam puisinya. Ia meletakkan dirinya/sudut pandangnya/persoalan perasaannya di antara ironi kehidupan.
Sayangnya, keresahan semacam itu belum banyak kita temukan. Anggi belum selesai dengan dirinya.
Kabar baiknya, narasi Anggi mengalir begitu lembut. Ia seperti air yang bisa berkelit dari bebatuan. Sebagai pembaca kita bisa terbawa hanyut oleh permainan kata-katanya. Beberapa pernyataan puitik di dalam puisinya yang memukauku di antaranya:
Setelah kau memutuskan hilang di dalam peta semestaku.
(dalam “Berkas Kenangan”)
Menekuni jalan kecil menuju rumahmu
(dalam “Beranda di Rumahmu”)
karena aku ingin membersihkan takdir
(dalam “Semesta di Tubuhmu”)
Klausa-klausa yang sedimikian liris dan puitis itu bisa dibilang menjadi ciri khasnya. Dalam hal ini, kepuitisan Anggi bisa menjadi berkah, namun bisa pula menjadi hambatan menuju jantung puisi. Sebab, tidak semua yang puitis bisa menjadi puisi.
Peta Penyair Perempuan Milenial
Kehadiran Anggi di belantara perpuisian Indonesia adalah kabar baik. Tidak banyak penyair perempuan muda Indonesia yang muncul—tidak seperti pada prosa yang bermunculan nama-nama seperti Ziggy Z, Andaru Intan, atau Dewi Kharisma. Di puisi, setelah Pranita Dewi, Ni Made Purnama Sari, dan Frischa Aswarini, praktis belum terlihat jelas nama baru yang bisa menyita perhatian pencinta puisi.
Anggi bisa menawarkan diri, menapaki jalan menuju ke sana. Tentu, jalan itu masih panjang. Menengok kondisinya saat ini, ia harus menyiapkan diri dengan lebih baik, menjelajah berbagai kemungkinan daya ucap dan daya ungkap sembari merumuskan struktur puisinya.
Anggi juga perlu kembali memaknai romantisisme, sebuah gerakan seni, sastra, dan intelektual pada abad XVIII. Secara umum, romantisisme memiliki apresiasi mendalam dari keindahan alam, kegembiraan yang meluap-luap akan emosi dibandingkan akal budi, dan memilih perasaan ketimbang intelektual, kembali pada konsep diri, juga telaah akan kepribadian manusia. Romantisisme tertarik pada kultur rakyat. Romantisisme memberi penekanan pada eksotisme, keterpencilan, dan kemisteriusan.
Saya pikir, keresahan yang dialami Anggi bisa diolah sedemikian rupa, sublim bila ia tidak terburu-buru dalam merumuskan puisinya. Anggi memiliki modal menuju ke sana. Kita doakan ia bertabah berdarah-darah memikirkan dan merasakan dunia—membuka dirinya untuk dunia yang lebih luas tadi.
Catatan ini juga tidak jadi dimuat sebagai pengantar pada kumpulan puisi perdananya. Kali ini, bukan dibatalkan, aku yang membatalkan karena sesuatu dan lain hal.