SATU
Eliana bilang, “Alan Hamsah adalah seorang penulis gagal, paling tidak bagi istrinya. Sejak duduk di bangku sekolah menengah Ia menyukai pekerjaan mengutak-atik keyboard itu. Setiap dapat ide, Ia mengurung diri di kamar. Hanya keluar sesekali jika ingin buang air atau makan. Ibadah saja Ia lupa. Beberapa tulisannya akhirnya mangkal di media. Ia senang dan sering melompat-lompat di atas ranjangnya, jika dapat balasan dari redaktur yang akan memuat tulisannya. Ia tak pernah kekurangan rokok, sering mangkal di cafe-cafe lumayan mewah. Namun sejak menikah, Ia seperti kurang bahagia” Eliana terdiam. Teh di meja Ia seruput.
“Lanjutkan ceritamu.. ” Aku berucap. Sebab aku hendak mencari ide juga untuk bahan tulisanku. Aku memesan satu gelas kopi arabic lagi. Si pelayan berambut kriting itu ngangguk-ngangguk mendengar pesananku. Sesaat Ia pamit untuk menyiapkannya.
“Uang hasil tulisan hanya cukup untuk makan. Istrinya kadang pengen ke mall, kadang pengen ke pantai. Tak ada uang lebih, kata Alan Hamsah. Istrinya cemberut. Sering banting piring, sering tak melayani kebutuhannya kala malam. Alan Hamsah semakin banyak diam. Tulisannya tak lagi terlihat di media mana pun” Ada nada berat dari suara Eliana. Ia menatapku. Pelayan tadi datang membawa pesanan. Ia tersenyum.
“Apa yang terjadi kemudian?” Sambil aku mengaduk kopi tadi. Aroma yang khas, menembus penciumanku. “Pada pagi hari yang sendu, gerimis baru saja turun, tubuh Alan Hamsah ditemukan tergantung di dapur. Ia bunuh diri. Istrinya menangis, anaknya yang masih kecil meringis juga. Rumah itu tiba-tiba sunyi, lebih sunyi dari puisi” Eliana terbata, air matanya mengalir pelan ke pipinya.
“Kenapa kamu menangis?” aku memberanikan diri mengelus rambutnya.
“Alan Hamsah, penulis yang ‘gagal’ itu adalah Bapakku” Eliana masih menangis.
Aku mengangkat tanganku tak lagi mengelus rambutnya. Dalam dadaku muncul sebuah tanya, “Apa nanti jika menikah dengan Eliana, nasibku akan sama dengan Alan Hamsah?”
DUA
Pada sebuah rel kereta. Masih pukul 08.00 seorang lelaki gondrong sudah berdiri. Kereta sebentar lagi akan melintasi jalur itu. Beberapa orang memintanya untuk menjauh. Namun si pemuda tetap kokoh. Tangannya Ia rentangkan seperti adegan film Titanic. Angin menerbangkan rambutnya. Seorang perempuan berteriak, “Ke tepi, kereta sebentar saja hendak tiba. Kau akan mati jika tetap di sana”
Ia sama sekali tak menghiraukan suara itu. Tangannya masih direntangkan. Angin sesaat membelai wajahnya. Kemudian kereta datang, ada semacam suara sesuatu yang bersentuhan begitu keras. Tubuh itu remuk. “Plaaaaak”
Kemudian seorang perempuan berkulit hitam datang. Menangis di pinggir rel. Tangisnya seperti memecah pendengaranku. Setelah kutanya, perempuan berkulit hitam itu bilang ‘Pemuda tadi adalah pacarku. Tulisannya tak pernah bagus. Tiap ngirim ke media, selalu saja tulisannya ditolak. Dan lima tahun yang lalu, saat aku lagi gemar-gemarnya membaca cerpen Budi Darma di koran-koran ternama, aku iseng bilang sama dia kalau aku mau dilamar jika tulisannya bisa dimuat oleh media terkemuka ibu kota. Sejak itu Ia rajin mengirim namun selalu gagal”.
Perempuan itu terus menangis. Sampai aku berlalu meninggalkannya.
TIGA
Kau kenal Chester Bennington? Atau Chris Cornell. Ah mungkin lebih baik aku bertanya, kau kenal Cobain? Mereka semua bunuh diri. Cobain tewas di kamar hotel saat album nirvana sedang laris manis bagai sayur di pasaran. Kematiannya masih jadi misteri hingga kini. Orang-orang masih menyebutnya dan selalu mengaitkannnya jika ada kejadian serupa. Seperti halnya bunuh diri Bennington dan Cornell. Bennington, vokalis Linkin Park itu tewas. Sesaat menjadi viral dan fans-fans fanatiknya digulung kesedihan. Terutama penggemar musik tahun 90-an. Kemudian Chris Cornell, kematiannya menjadi berita duka dunia. Di media sosial, semua ramai membicarakan.
Lalu bagaimana dengan Alif Rahman, penulis kacangan yang baru dua atau tiga cerpennya dimuat koran. Koran itu pun hanya koran lokal, bukan koran terkemuka. Koran pertama yang memuat tulisannya adalah koran Nusa Bakti, setiap hari koran itu dicetak hanya 50 eksemplar. Kurirnya pun hanya satu orang. Koran itu sering ditemukan sebagai bungkus kacang rebus, atau paling banter hanya untuk membuat layang-layang anak-anak. Koran kedua dan ketiga yang memuat tulisannya malah lebih parah. Kedua koran itu sudah gulung tikar sekarang, dan honor tulisan Alif Rahman pun belum dibayar hingga kini.
Dan sangat bodoh ketika Alif Rahman ingin mengikuti jejak Cobain, Bennington atau Cornell. Kawannya sempat iseng bilang, “Orang-orang itu menjadi terkenal saat mereka meninggal. Bahkan Chairil Anwar tak pernah tau dirinya masih diperbincangkan di sekolah-sekolah sampai hari ini”. Dua malam Alif Rahman merenung, membaca kisah-kisah Cobain. Dua malam juga Ia terkenang ucapan kawannya tadi. Sampai pada tubuhnya ditemukan kaku tak bernyawa. Ia menenggak racun. Konon racun itu adalah jenis racun berbahaya, yang jika diminum, hanya bersela dua menit seseorang langsung meninggal.
Konon pula, di samping jasadnya. Alif Rahman meletakkan ratusan lembar tulisannya yang pernah gagal dimuat, tak lain tujuannya agar aku, sebagai kawan dekatnya, berniat mengumpulkan tulisan-tulisan itu dan membukukannya. Agar kelak Ia terkenal dan tulisan-tulisannya diperbincangkan. Namun sayang, saat pembeli kertas kiloan datang. Aku menimbang kertas-kertas itu dan menjualnya. Beratnya lumayan, lima kilo, dengan harga dua ribu perkilo.
Sampai hari ini, Aku menyesal pernah mengisahkan Cobain dan Chairil padanya.
EMPAT
Sejak umurnya sepuluh tahun, Luis Martin gemar membaca. Konon, perpustakaan di kotanya selalu kehilangan buku hampir 20 buku setiap bulan. Pelakunya tak lain adalah Luis Martin. Namun Ia begitu lihai, tak satu pun aksinya gagal. Di dalam kamar, Ia senyum-senyum sendiri. Menikmati dan membaca buku curiannya. Apalagi saat berumur 21, tulisan pertamanya mangkal di sebuah koran. Ia membeli koran itu dan mengcopinya sebanyak-banyaknya. Ia tempelkan di lorong-lorong jalan, di bangku taman, di toilet umum, sampai pada dinding gereja. Luis bahagia. Dan tak pernah sia-sia, usahanya menempel koran itu membuahkan hasil. Seorang perempuan cantik bernama Manila menghubunginya.
“Aku gemar membaca tulisanmu. Entah mengapa setiap membacanya, aku seperti melayang, aku seperti menemukan dunia yang luas, dan sebuah tangan seperti menuntunku erat, menggenggam tanganku dan membawaku ke sebuah tempat bernama bahagia. Salam kenal, namaku Manila. Kiranya kapan kita bisa duduk pada sebuah cafe atau berkencan saat gerimis jatuh di taman?” Suara perempuan itu begitu menggoda. Dada Luis bergetar melebihi gempa 8,4 SR.
Kemudian mereka bertemu dan menjalin kasih. Mereka terus bersama, menghabiskan waktu, di cafe, pantai, bahkan di hotel bintang lama. Tentu setelah Luis pontang-panting nulis dan dimuat, lalu honornya cukup untuk sewa hotel. Luis bahagia, angin terasa bertiup lambat saat Ia bersama Manila.
Tiba-tiba Luis mendapat inspirasi. Ia berhasil membuat empat puisi yang menurutnya sakti dan liar. Keempat puisi itu terinspirasi dari Manila. Di bawah setiap judul selalu Ia tuliskan nama Manila. Sebagai sebuah persembahan, katanya. Hanya selang seminggu sejak dikirim. Keempat puisi itu dimuat media terbesar di ibu kota. Manila mengecup bibirnya sembari membawa koran yang memuat puisinya. Malamnya mereka di hotel dan bercengkerama. Semalaman penuh.
Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung seminggu. Tepatnya ketika tak sengaja, Luis membaca dua buah koran ternama. Yang pertama, koran dimana puisinya dimuat sebelumnya, minggu ini ada tulisan dari penyair Maurin Game, ada lima buah puisi milik Maurin Game yang juga dibawah judulnya selalu ditujukan untuk gadis bernama Manila. Keempat puisi itu romantis dan menarik, sangat detil menceritakan percintaan dua pasang kekasih. Alis Luis mengkerut, “Ini pasti bukan Manila kekasihku” Ia menenangkan diri.
Iseng lagi Ia membuka koran kedua, ada sebuah cerpen miliknya Ishadi Lauren. Dibawah judul cerpen itu juga tertulis nama Manila. Cerpen itu bercerita tentang kekasih yang sedang kencan di sebuah kamar hotel dengan berbagai intrik. Sangat detail juga dibahas pada cerpen itu tentang tokoh perempuannya, semisal gaya rambut, dagu, mata dan cara bicaranya. Semuanya persis seperti Manila, kekasih hatinya. Dada Luis seperti tersambar. Di hubunginnya Manila, Ia telpon berkali-kali. Seorang lelaki kemudian mengangkat. “Halo…”
“Kamu siapa? Mana Manila?” Luis bertanya dengan nada emosi.
“Aku Maurin Game, Manila sedang mandi. Ada apa?” Suara itu begitu tenang, namun seperti badai di dada Luis. Ia membanting hapenya sendiri.
“Bangsat, ternyata semua penulis Ia kencani” Luis menggerutu. Otaknya dipenuhi bayangan Manila yang sedang bercumbu dengan Maurin. “Pasti dia sedang merayakan tulisannya yang dimuat juga. Bangsat” Ia terus memaki. Dadanya sesak oleh benci dan dendam. Tiba-tiba Ia melompat dari lantai 20 sebuah hotel. Hotel di mana Ia sudah membuat janji untuk bertemu Manila hari ini. Dan perempuan itu tak datang-datang.
Tubuhnya remuk, dan esoknya sebuah koran memuat profilnya. Hanya di bagian kecil halaman koran itu, mepet dengan iklan pembersih WC dan jamu obat kuat. (*)
Majidi, 2018.
Biodata Penulis.
Rifat Khan. Cerpennya dimuat beberapa media. Menulis baginya hanya sebuah usaha memperpanjang umur. Sekarang, lebih suka melihat pertunjukan seni peran. Dan selalu tak pernah puas. Buku cerpen terbarunya, “Satu Hari di Mana Aku Ingin Menjadi Lelaki” (Jpublishing, 2018).