Dia bukan Charlie. Dia juga bukan Willy Wonka. Tetapi cita-citanya ingin mendirikan pabrik cokelat terbesar di dunia.
“Tapi, di Sumbawa, tanaman cokelat tidak akan tumbuh. Lebih baik kau beternak sapi di sini, Teruna…” Kata-kata orang yang skeptis atas keinginannya tidak diindahkan. Dia tahu betul, Sumbawa berbeda nasib dengan Lombok yang tanahnya dapat menumbuhkan apa pun. Tanah Sumbawa begitu gersang. Setiap kenalan barunya di media sosial bertanya, hasil bumi apa yang dimiliki Sumbawa, dia hanya bisa menjawab Sumbawa menghasilkan banyak tenaga kerja ke luar negeri. Ke Saudi, ke Qatar, ke Iran. Maka jangan heran, selain suku Bugis yang pernah melarikan diri dari Sulawesi ke tanah ini, orang-orang keturunan padang pasir juga banyak berkeliaran di Labuhan. Dari orang-orang itulah, Teruna sering mendapat cokelat. Cokelat Arab benar-benar berbeda dengan cokelat yang sering dibelinya di toko. Dia sangat menyukai cokelat Arab.
“Kalau kau begitu suka cokelat, kenapa tidak pergi ke sana sekalian?” rayu seorang calo TKI. Teruna tak suka Mustafa. Selain karena sudah beristri tiga, Mustafa terkenal suka merayu perempuan-perempuan muda untuk berangkat menjadi TKI dengan memberikan pinjaman berbunga tinggi. “Aku bisa membantumu pergi…” tawarnya lagi. Banyak yang tergoda untuk pergi. Tinggal di kampung sendiri seringkali seperti berada di neraka. Tidak mendapatkan pekerjaan. Nasib berakhir kawin muda, dengan status istri kesekian. Teruna tidak mau bernasib sama, Tetapi Teruna juga tidak mau pergi ke timur tengah, apalagi dengan meminjam uang Mustafa guna mengurus segala keperluan seperti paspor dan visa. Tidak tanggung-tanggung, lintah darat berjanggut itu kerap menaruh bunga hingga 100% per tahun. Orang-orang kampung yang tidak sekolah tidak jarang terenggut juga keluguannya oleh tawaran Mustafa itu.
“Kakak, tahu Oompa Loompa?” Teruna bertanya kepada Muji. Sudah seminggu ini Teruna berpraktik kerja lapangan di KPPN Sumbawa Besar. “Apa Oompa Loompa ada hubungannya dengan orang kerdil di Flores?” tanyanya lagi.
Tentu saja Muji tidak tahu. Ia masih sibuk mengurusi server yang sedang anjlok. Tidak ada SPM yang dapat diproses hari itu. Para petugas satuan kerja yang tumben datang sejak pukul delapan pagi terdengar menggerutu di ruang antrian.
“Coba kamu tanya Kak Diapinar? Biasanya dia tahu segalanya,” jawab Muji.
Teruna menghambur ke bagian umum. Diapinar sedang menyusun laporan bendahara. Melihat itu, dia jadi segan untuk bertanya. Di dalam situasi seperti ini, hanya orang-orang di front office yang menganggur. Teruna tahu sebagai anak PKL, dia tidak boleh masuk ke garis depan pencairan dana itu.
Sedang asik-asiknya menunduk, memperhatikan lorong dengan lebar hanya satu meter, tak cukup untuk dua orang berbadan sedikit gemuk bila saling berpapasan, satu sosok muncul dari pintu front office. Badannya gemuk. Rambutnya tampak baru dicukur. Ukuran 2cm. Matanya merah. Tapi laki-laki itu tersenyum dan menyapanya, “Kamu sedang memikirkan apa, Teruna?” Tak disangka dia tahu nama Teruna.
“Bapak tahu Oompa Loompa?” Teruna memanggilnya Bapak karena tampak uban sudah banyak di kepalanya.
“Jangan panggil aku Bapak. Aku tidak setua itu…”
“Maaf…”
“Pasti karena uban-ubanku kan?”
Teruna mengangguk. “Jadi, Kakak tahu Oompa Loompa?” Teruna bertanya yang sama.
“Kamu pasti semalam nonton di HBO kan? Willy Wonka mempekerjakan Oompa Loompa dengan pertukaran mereka dapat mengolah cokelat setiap saat. Itu menjijikkan.”
“Menjijikkan?”
“Kamu tahu, Oompa Loompa itu sebenarnya sebuah ungkapan. Ejekan atas kekerdilan cara berpikir kita.” Laki-laki muda beruban itu menggeleng-gelengkan kepalanya, mengelus-elus janggutnya, memilin-milin kumisnya yang tak pernah lebih dari 1 cm—dan tentu selalu gagal. “Tidak, tidak, kamu masih terlalu kecil untuk tahu lebih banyak…” lanjutnya lagi.
Daebak. Pantas saja sering Teruna dengar, orang-orang di kantor kas negara (yang sekarang bernama KPPN) adalah tempatnya segala tahu.
“Teruna, baiknya kamu belajar saja, biar pintar… ya?”
“Satu pertanyaan lagi, boleh nggak?”
“Tanya aja, tapi jangan kebanyakan bertanya, nanti nggak jalan-jalan…”
“Kakak suka cokelat?”
Mendengar pertanyaan itu, laki-laki tersebut mengelus perutnya, menarik lipatan-lipatan lemak di bawah dagu dan di sekitar lehernya. “Kalau di es krim ada gelate, di cokelat juga pasti ada cokelat rendah lemak. Tapi apa ada orang menjual cokelat rendah lemak dengan harga seperti cokelat merk ayam jago?” Matanya memias sebelum ia menambahkan, “Kamu masih kecil, Teruna. Pasti tak punya kenangan pada si Ayam Jago?”
“Aku ini perempuan, Kakak. Aku tak pernah bermain ayam jago.” Teruna salah paham. Teruna tahu, waktu membuatnya seperti lelaki. Jalannya tidak gemulai seperti perempuan pada umumnya, bahkan cenderung mengangkang. Beberapa lelaki menganggap cara jalannya berarti klaim bahwa Teruna sudah tak perawan. “Pasti Mustafa sudah mencicipinya,” atau, “Dia pasti perempuan bispak di sekolahnya.” Komentar-komentar seperti itu sudah sering Teruna dapatkan.
“Jadi berita bahwa kamu suka cokelat itu omong kosong?” Kakak di depannya bertanya itu sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebatang cokelat. Ratu Silver.
Teruna menerimanya ragu. Baru kali ini ia bicara dengan lelaki-si petugas front office-tambun-beruban-bermata merah itu, ada kenyamanan di sana. Teruna tahu laki-laki itu baru ditinggal istrinya. Kebanyakan pegawai perbendaharaan menjadi jomblo lokal karena tidak dapat membawa istrinya sementara lelaki itu kebalikannya. Hidup sungguh aneh, pikir Teruna. Hari itu ia takut menjadi dewasa.
~
Orang-orang Sumbawa, dari Sumbawa Timur sampai Sumbawa Barat tak bosan-bosannya datang silih berganti dari pagi-pagi sekali di sebelah KPPN ini. Ialah kantor Imigrasi, tempat membuat paspor yang menjadi tujuan. Sebelum masuk kantor, Teruna kerap membantu Ama berjualan nasi bungkus dan air kelapa di seberang jalan. Ama menganggap Teruna sebagai anaknya. Meski beristri dua, Ama tak punya anak.
Kemarin Teruna mendengarkan pembicaraan Kak Muji dan lelaki itu yang baru ia tahu namanya—Onang Sadino. Ia mengamini soal kegagalan otonomi daerah bisa diparameteri dengan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai di daerahnya sendiri. Lebih lanjut, Onang Sadino itu mengkritik formasi PNS di Sumbawa Besar yang banyak diisi orang-orang Lombok. “Begini sih sama saja dengan Banyuasin terhadap Palembang. Orang-orang Lombok yang bekerja di Sumbawa menerima uang dari pemerintah daerah Sumbawa, menyimpannya, dan dibawa pulang setidaknya satu bulan sekali ke Lombok, itu sama saja menihilkan fungsi konsumsi. Pertumbuhan ekonomi macet!” Kalimat-kalimat itu diucapkan berapi-api. Teruna tidak tahu apa-apa tentang ekonomi, tapi dari bicaranya, Teruna tahu itu meyakinkan.
Pasalnya pula, Sumbawa lambat maju. Jauh dibandingkan dengan Lombok Timur. Masyarakat menyalahkan ketidakadilan pada distribusi anggaran dan kepedulian Gubernur terhadap wilayah-wilayah di Sumbawa. Makanya, baru-baru ini makin santer isu pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa pada tahun 2015. “Ah, itu pasti cuma akal-akalan Fahri Hamzah yang mau jadi gubernur PPS nantinya…” Onang Sadino berkata sinis. Tapi mungkin saja itu benar, Fahri Hamzah yang asal Alas itu rajin pulang dan mengoar-ngoarkan pembentukan PPS. Teruna tahu karena ia selalu ada setiap ada keramaian di Sumbawa untuk berjualan.
Kak Onang Sadino itu tampak di seberang jalan. Ia hendak menyeberang. Teruna tahu, kalau tidak membeli nasi kuning di kampung Arab, Kak Onang akan makan di tempat Ama. Ia akan memilih nasi bungkus berlambang T yang berisi telur lalu meminta segelas air kelapa, airnya saja. Teruna menatap lelaki itu, yang sedang menunduk memainkan tabletnya. Pasti sedang mengobrol dengan istrinya. Teruna berpikir, andai saja Kak Onang belum menikah, ia akan mau bersama lelaki itu, meski tambun-beruban-bermata merah sekalipun.
“Sampai kapan kamu magang?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Teruna. Kak Onang tahu-tahu sudah menatap Teruna tajam. “Kamu, apa cita-citamu? Tidak seperti mereka kan?” Pandangan kak Onang menuju orang-orang di kantor imigrasi.
“Tidak, Kak. Teruna mau bikin pabrik cokelat,” jawab Teruna yakin.
“Mana ada cokelat di Sumbawa…” sahut Ama.
Mendengar itu Kak Onang mendekat ke Teruna, lalu memegang tangannya, “Teruna, bermimpilah. Jangan takut bermimpi. Swiss tidak punya cokelat, tapi bisa jadi tempat pabrik cokelat terbaik di dunia. Setidaknya di Sumbawa sudah banyak sapi. Susunya bisa diperah di sini.” Teruna tidak paham apa Kak Onang sedang menyemangati atau merayunya. “Omong-omong namamu lucu… Teruna, seperti teru-teru bozu.” Kali ini ucapan itu disertai dengan remasan yang lebih kencang di tangan kanannya.
Hari itu hujan tidak turun seperti hari-hari lainnya. Matahari di Sumbawa masih sembilan adanya. Dipandanginya kantor Imigrasi itu lagi. Kak Onang Sadino pasti tidak tahu kalau Teruna adalah anak semata wayang. Orang tuanya sudah bercerai. Ibunya menjadi TKI di Saudi dan tak pernah pulang. Ayahnya sudah menikah lagi dan pergi entah ke mana.
Sejenak, Teruna lupa pada segala masalah di hidupnya. Ia menerima kembali satu batang cokelat dari Onang Sadino. Lelaki itu masih menatapnya tanpa bahasa.
Teruna tahu, cokelat itu bukan cokelat Arab yang digemarinya.
Teruna juga tahu ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan di dadanya saat tangannya digenggam.
Namun, ketika memakan sepotong cokelat itu, yang paling Teruna tidak tahu adalah dosa termanis bisa saja baru dimulai di dalam hidupnya
One Comment