Kali ini cerpen Negara Rofiq menghiasi kolom cerpen di blog saya. Yuk, baca dan tinggalkan komentar. Jika ingin turut berkontribusi, silakan kirim tulisan ya!
Di ruas tol ini, selalu terngiang nasihat Ustad Nasihin tentang memuliakan orang tua, lebih-lebih Ibu. Meski aku tak percaya penuh akan surga ada dibawah telapak kaki Ibu, setidaknya menuruti keinginannya harus dilakukan—apalagi usianya sudah renta, pasti aku dapat pahala besar.
“Ibu masih yakin perjalanan ini masih dilanjutkan?” tanyaku serius memandangnya. Perjalanan berhenti sejenak mengisi bensin di salah satu SPBU di Semarang.
“Sudah separuh perjalanan, Nak. Tidak baik mengurungkan niat yang sudah dijalankan.”
Baiklah. Kuinjak gas. Tak perlu mendebatnya lagi.
Lima hari yang lalu—setelah acara haul rutinan untuk peringatan kematian Bapak, tiba-tiba Ibu menangis tersedu-sedu di pojok kamar. Bukankah Adib—anak bungsuku sudah pulang? Berkali-kali Ibu minta agar Adib pulang meski hanya seminggu untuk hadir di acara haul. Waktu itu kupaksa Adib untuk pulang meski dia selalu beralasan sibuk menyelesaikan tugas akhirnya di kampus. Memang Adib selalu menjadi cucu istimewa Ibu. Katanya, dia sangat mirip Bapak.
“Aku ingin naik bus kota di Jakarta dan melewati setidaknya sepuluh halte,” kata Ibu, setelah aku dan juga Adib bertanya padanya.
Aku paham. Ibu ingin mengenang Bapak yang hobi naik bus kota.
“Yang membuat Bapak bahagia di sana adalah doa-doa yang dipanjatkan tulus. Bukan naik bus kota,” bujukku.
“Apa sulitnya untuk melakukan hal kecil ini, Nak. Kalau tidak ada yang menemaniku, biarkan aku berangkat sendiri.
***
Bapak orang asli Jakarta dan bekerja sebagai konsultan proyek di sana. Bapak menikahi Ibu yang juga bekerja di kantornya—sebagai pembantu.
Dulu Ibu bercerita hobi Bapak naik bus kota. Bukan karena tidak punya kendaraan pribadi. Bapak tahun 1959 sudah punya dua mobil dan dua motor. Namun bus kota selalu dipilih ketika mau masuk ke kantor karena ingin bertemu dengan gelandangan dan pengemis di setiap halte.
Rumah Bapak di daerah Tebet. Pun kantor juga ada di daerah Tebet. Namun ketika pulang kerja, Bapak selalu naik bus bukan langsung ke arah rumah. Melainkan masih muter-muter ke daerah lain.
Di saku celananya tak pernah kurang dari lima puluh ribu diberikan kepada gelandangan dan pengemis di setiap halte. Bapak baru pulang setelah uang yang ada di sakunya habis.
Pernah suatu saat, Ibu merasa penasaran tentang “sensasi” berkeliling dengan bus kota lalu mengasihi gelandangan dan pengemis.
Dibawalah uang tak kurang dari seratus ribu. Masing-masing Bapak dan Ibu memegang uang lima puluh ribu.
“Lihatlah anak itu! Dengan suara yang bagus tanpa fals sedikitpun, seharusnya dia bisa menjadi penyanyi top masa depan. Namun apa daya, untuk menuju ke sana, pemerintah sama sekali tidak pernah mengadakan ajang pencarian bakat untuk penyanyi,” kata Bapak di dalam bus kota, sedangkan Ibu mengangguk saja.
“Mau diberi beri berapa pengamen ini?”
“Berilah dua puluh ribu.”
Lanjut ke halte kedua. Miris, lebih banyak pengemis daripada halte yang pertama tadi. Merengek-rengek sambil menggendong anaknya yang masih balita, bilang belum makan tiga hari. Lantas Ibu memberinya lima belas ribu. Sebelum pengemis itu beranjak, Bapak menambahinya dua puluh ribu lagi. Ibu memelototi Bapak.
“Kenapa? Kamu tidak percaya dia belum makan tiga hari?”
“Bagaimana mungkin orang masih hidup jika tidak makan selama tiga hari.”
“Kalau aku hakulyakin dia tidak makan selama tiga hari, atau bahkan bisa lebih.”
Bapak menjelaskan, lamanya seseorang tidak makan bisa dilihat dari gemetar tubuhnya. Jika cuma yang bergetar tangannya saja, maka berarti dia tidak makan sehari. Kalau gemetar dari tangan sampai bahu berarti selama dua hari tidak makan, paling cuma minum air putih yang banyak. Dan untuk pengemis yang tadi, dia gemetar sampai ke betisnya. Itu artinya dia sudah tidak makan selama tiga hari atau empat hari.
“Percayalah. Saya sudah menemui ratusan pengemis berbagai macam gemetar di tubuhnya. Saya tidak mungkin tertipu oleh perkataan pengemis.”
Ibu hanya mengangguk untuk kesekian kalinya.
Mungkin di dunia ini hanya Bapak yang punya analisis tentang lamanya orang tidak makan.
“Suatu saat saya ingin naik bus kota di Madura dan akan berkeliling halte sepuasnya,” kata Bapak persis ketika sopir menginjak gas meninggalkan halte kedua.
“Bus kota Madura?”
“Iya. Kenapa?”
Ibu terkekeh mendengarnya. “Mana ada bus kota di Madura. Yang ada cuma pick up yang selalu ditumpangi oleh pekerja garam batang dan terasi udang.”
“Tidak masalah. Saya tetap senang menaiki pick up itu asalkan saya bisa memberikan uang pada pengemis dan gelandangan di halte-halte kota Madura.”
Ibu semakin terkekeh mendengar perkataan Bapak.
“Giliran saya yang harus mengguruimu.” Ibu memperbaiki posisi duduk setelah bus kota tanpa ampun mengerem mendadak saat tidak mampu mengejar lampu hijau di perempatan. “Harus diakui banyak sekali orang miskin di Madura. Meski sudah punya pekerjaan tetap, misal sebagai pekerja garam batangan, penghasilan tidak menentu dan cenderung rugi….”
“Mengapa rugi? Apakah orang-orang sudah tidak menyukai rasa sedap?” Bapak memotong perkataan Ibu lantas tertawa lepas.
“Tidak begitu. Akhir-akhir ini pemerintah menggalakan garam pasir. Entah garam model apa itu. Meski penghasilan sedikit, pantang bagi orang Madura mengeluh—apalagi sampai mengemis.”
“Kalau begitu, tetap bisa disiasati, saya memberikan kepada anak-anak yang mau berangkat sekolah di halte.”
“Duh, sulit sekali memberikan pemahaman kepadamu. Kan sudah kubilang, di sana tidak ada bus kota. Kalau tidak ada bus kota berarti juga tidak ada halte. Anak-anak berangkat sekolah jalan kaki meskipun puluhan kilometer.”
“Mengapa jalan kaki? katanya ada pick up.”
“Betul. Hampir semua penumpang pick up itu pekerja garam batang dan pekerja terasi udang. Dua pekerjaan itu dikerjakan malam hari, jadi Pick up di Madura hanya beroperasi malam hari saja.”
Bapak termenung masih belum percaya tidak adanya bus kota, halte, dan pengemis di Madura.
“Sudahlah. Jauhi niat naik bus kota di Madura. Mustahil!”
Perbincangan diakhiri setelah bus kota yang ditumpangi sampai di halte keempat. Sopir sengaja tidak berhenti di halte ketiga karena tidak ada penumpang.
Ah, di halte keempat ini sangatlah parah. Dari puluhan orang yang berdiri di depan, hanya ada tiga penumpang, sisanya pengemis semua.
“Kasihan mereka. habiskanlah uang yang dibawa ini. kita lanjut besok berkeliling dan tentu membawa uang yang lebih banyak,” kata Bapak sambil menjulurkan uang pada pengemis yang berebutan dari balik kaca jendela bus.
Lantas Bapak dan Ibu turun di halte keempat itu dan menunggu bus datang dari lain arah, jurusan ke rumahnya.
Kebiasaan Bapak mengasihi berandalan dan pengemis tidak membuat tetangganya menganggap orang baik. Tahun 1965 adalah puncak penumpasan PKI. PKI sebagai partai besar terancam di ujung tanduk. Apesnya Bapak dianggap anggota PKI. Termasuk perilaku baik Bapak dianggap bergerilya mencari simpati dan citra baik di akar rumput untuk mempertahankan PKI.
Maka ketika pemerintah menggencarkan penumpasan PKI yang ingin mengubah pancasila, Bapak menjadi korban. Waktu itu, malam hari setelah pulang berkeliling dari halte dengan naik bus kota, gerombolan orang mendobrak pintu tanpa ampun. Bapak diseret dibawa entah kemana oleh mereka—yang pasti Ibu yakin Bapak dibunuh tanpa ada bukti dan pengadilan lebih dulu apakah Bapak benar-benar anggota PKI.
Beruntung Ibu bisa meloloskan diri dan kabur dari rumah. Ibu akhirnya memilih pulang ke Madura. Kondisi di Jakarta sudah tidak aman baginya. Lebih-lebih dia dalam kondisi mengandungku empat bulan.
***
“Ibuk, yakin perjalanan ini dilanjutkan?” Aku bertanya lagi ketika sudah masuk perbatasan Bekasi-Jakarta, siapa tau Ibu mengurungkan niatnya.
“Perlukah saya mengulang jawaban yang sama, Nak?”
Perjalanan tetap dilanjutkan. Ibu tetap seperti dulu—perangai keras kepala—apa yang dikatakan adalah final!
Hanya butuh tiga puluh menit untuk sampai ke daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Beruntung Halte yang diminta Ibu untuk menjadi tempat awal naik bus kota hanya berjarak seratus meter dengan terminal. Jadi tak sulit mencari tempat penitipan mobil.
Sepuluh menit duduk di halte belum juga datang bus kota. Kujulurkan roti yang kubeli dekat SPBU di semarang kepada Ibu yang belum makan sudah dua hari. Namun dia menolak. Tatapannya masih tertuju pada jejeran kendaraan di perempatan lampu merah depan—siapa tau ada bus kota yang tertutupi kendaraan lain di belakang.
Tidak hanya bus kota yang tak kunjung datang. Pengemis dan gelandangan pun tak kulihat batang hidungnya satu pun. Apakah warga Jakarta sudah kaya raya sejak ada wisata reklamasi?
Lalu bagaimana cara menghabiskan uang lima juta pecahan dua puluhan ribu ini jika tidak ada satu pun pengemis dan gelandangan?
“Nak, itu bus kota datang.” Suara Ibu membuyarkan pikiranku.
Bus kota itu pelan-pelan merapat ke depan halte. Terlihat tersungging senyum Ibu. Tak banyak penumpangnya. Kulihat dari ujung ke ujung bus ini. Penumpang didominasi orang yang sudah tua. Ada yang berseragam security, ada yang membawa bunga mawar—mungkin mau melayat ke makam. Sekarang kan Jumat berkah.
Kualihkan pandangan ke luar kaca jendela bus kota ini. Gerimis mulai turun. Para penjual kaki lima mulai memasang terpal.
“Nak! Itu dia yang membunuh dan menuduh Bapakmu PKI dulu,” kata Ibu menunjuk orang yang memakai seragam security di sampingku.
*) Negara Rofiq, bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Jember. Saat ini menempuh pendidikan di Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Jember. Terbaru, menerbitkan buku Novel “Siapa Suruh Jadi Aktivis” (YMU, 2021)
