Cerpen Lily Yulianti Farid ini berjudul DAPUR, termuat dalam kumpulan cerpen Ayahmu Bulan, Engkau Matahari.
RUTH mencintai terigu. Ibu mencintai dapur. Adapun aku mencintai Ruth dan Ibu.
Aku tumbuh di meja dapur yang besar, menemani Ruth mengayak terigu, mengolah berbagai macam adonan. Aku belajar berjalan sambil berpegang di ujung rok ibu yang sibuk mengiris bawang, merebus kentang dan mencincang daging.
Ia, ibuku yang cantik dan riang, yang selalu bernyanyi di dapur, mendendangkan lagu lawas Frank Sinatra.
Fly me to the moon
And let me playamong the stars.
Di pangkuan Ruth yang sarungnya selalu bau rempah dan tepercik minyak, aku bermanja. Di pangkuan ibu, di hamparan roknya yang selalu tersetrika licin, aku bebas tidur-tiduran. Terkadang aku mengencinginya, membuat ibu melonjak, terkejut mendapati roknya kuyup dan pesing. Tapi ibu punya penggambaran yang baik dan membuatku tidak merasa bersalah, “Engkau paling pandai membuat pulau-pulau…”
Sudah pasti Ruth yang bertugas mengeringkan pulau-pulau ciptaanku, yang
kucetak di kasur, di rok ibu, di sarung batik Ruth, hingga di karpet. “Ada tempo dolo nona pung bakas kencing di kasur persis map pulau Jawa..” (1)
Ruth dalam dialek Ambon, tak kalah jenakanya mengenang masa kecilku.
Ini mungkin imajinasi Ruth saja, bahwa bekas kencingku mirip peta pulau Jawa. Tapi aku tidak keberatan. Aku kurang yakin apakah Ruth paham betul bentuk pulau Jawa. Tapi kalau imajinasinya itu bisa membuat kami tergelak, untuk apa aku keberatan?
Yang aku tahu, Ruth memang sangat terobsesi dengan pulau Jawa. Lewat cerita perempuan-perempuan tua di kampungnya, yang pernah menemani suami mereka bertugas sebagai tentara KNIL di kota-kota besar Jawa di masa perang kemerdekaan. Kata Ruth, dari kecil ia bercita-cita naik kereta api di pulau Jawa.
“Kenapa Ruth tidak ke pulau Jawa saja waktu itu?” tanyaku suatu ketika. Di
dapur kami yang luas, Ruth senantiasa mengenang kembali perantauannya.
“Beta salalu mabo laut…trus pi Jawa balayar paling lamae. Seng lai… Beta pi ke Om sa di Makassar, lebe dakat..” (2)
Aku tumbuh besar, semakin besar, hingga akhirnya bisa ikut membanting
adonan terigu, mengiris bawang, mengupas kentang dan membantu ibu memenuhi pesanan berbagai kue dan masakan. Aku menghabiskan waktu menemani Ruth mengulen terigu, hingga akhirnya aku pun ikut mencintai terigu.
Bulir-bulir halus itu kubayangkan adalah salju yang turun di belahan bumi
lainnya, seperti yang kulihat di buku-buku cerita bergambar dan televisi.
“Coba lihat Ruth..terigu ini persis salju..”
“Barang apa itu salju kah? Beta seng tau, nona…”(3)
“Itu Ruth..yang putih lembut seperti butiran es halus, yang ada di luar negeri..”
“Sio di Jawa sana ada salju lae ka?”(4) tanya Ruth polos.
Apakah ada salju di pulau Jawa? Aku tergelak. Barangkali dalam imajinasi
tertinggi Ruth, pulau Jawa adalah tempat terjauh yang semuanya serba ada. Pengasuh setia dari kampung pesisir kota Ambon itu telah lama ikut di keluarga kami. Pikiran, kehidupan dan lagak lakunya sederhana saja. Ia hanya mencintai terigu, karena bubuk putih itu bisa membuat angannya menari, membayangkan pasir putih di kampung halamannya. Pasir putih yang pernah ikut keruh akibat darah yang tumpah di mana-mana, membuat amis seluruh kota rayuan pulau kepala itu.
Ruth yang ikut pamannya ke Makassar, akhirnya menemukan bentuk
pengabdian yang sederhana: menjadi pengasuh bagiku selamanya! Ia bertemu ibu di sebuah rumah sakit bersalin, bekerja di bagian nutrisi dan dapur rumah sakit. Ruth yang kemudian mengasuhku, terus mengasuhku hingga ia memutuskan tak akan meninggalkanku, juga tak akan meninggalkan ibu setelah rumah kami diguncang badai.
Ketika kerusuhan Ambon pecah, Ruth yang sudah beranjak tua tetap mengulen terigu di dapur kami, dengan air mata mengutuki gambar-gambar penuh kebencian dan permusuhan yang ditayangkan di televisi, “Kanapa musti baku bunuh? Kenapakah…?” (5)
Dalam sedih dan amarahnya di dapur, ia membanting sekeras-kerasnya adonan donat dan roti yang sedang kami olah. Di masa-masa kerusuhan Ambon berlangsung, roti buatan Ruth menjadi lebih kenyal dan empuk. “Ruth, kau pandai membuat roti tahan banting…” Ibu memberi deskripsi yang baik atas kesedihan dan kemarahan Ruth.
Adonan roti dan donat buatan Ruth yang dikerjakannya sambil menyaksikan kerusuhan Ambon di televisi adalah adonan yang paling kalis yang pernah dibuatnya. Tapi jangan tanya rasanya. Di lidah imajinasiku, roti gulung isi stroberi buatan Ruth, bau anyir darah, memancing mual.
BERTAHUN berlalu, dapur kami semakin riuh. Dari hari ke hari semakin banyak pesanan makanan, terutama justru datang dari kantor-kantor pemerintah. Hm, makin hari, pemerintah kita tampaknya tidak bisa rapat tanpa makan-makan ditanggung negara, begitulah asumsiku. Banyak pegawai yang datang menegosiasikan harga paket katering. Mereka membungkuk-bungkuk, larak-lirik, lalu berdehem. Kadang juga ada yang
pura-pura sibuk memencet kalkulator, menghitung-hitung angka seperti anak SD mengerjakan soal ulangan matematika, kemudian berkata, “Waduh maaf Bu Andis…anggaran rapatnya hanya lima juta, apakah kami bisa dapat diskon sedikit…?” Atau… “Begini Bu Andis, bisakah kami bayar sekalian tiga bulan depan, disatukan dengan anggaran makanan rapat dua bulan berikutnya? Nanti ada sedikit persekot untuk Bu Andis…”
Ibu tersenyum sabar melayani semua permintaan pelanggan. Ibu juga bahkan sabar saja ketika seorang pegawai datang berdehem dengan sangat keras lalu menyodorkan kuitansi, “Maaf Ibu Andis, bisakah kuitansi tanda terimanya dibiarkan kosong saja….. bisa ya, Bu? Untuk rapat-rapat selanjutnya makanannya pasti kami pesan di katering Ibu Andis lagi…”
“Eh, itu orang-orang kantor, salalu saja mo minta potong harga..,”(6) Ruth
geleng-geleng kepala mengintip di balik jendela dapur.
RUTH, ibu dan aku tenggelam di dapur yang kami cintai sepenuh hati. Setiap hari diisi kreasi menu terbaru. Setiap hari terigu, sayur, dan daging mengisi hari-hari kami. Tapi sayangnya, akhir-akhir ini ada yang ganjil. Mengapa ibu mencincang bawang merah dengan mata basah. Menangiskah ia? Ibu membanting adonan roti dengan amarah, yang membuat meja dapur bergetar kencang. Marahkah ia?
Tapi menangis untuk apa? Marah kepada siapa?
Ibu mengamuk menggetar-getarkan dapur. Lantai keramik seperti hendak retak, tak kuat menampung amarahnya. Panci-panci terdengar bersahutan gaduh menghadirkan rasa ngilu di telinga.
Usaha katering ibu memang makin maju. Dapur kami makin sibuk. Tapi bila akhir-akhir ini ibu uring-uringan dan membunyikan semua peralatan dapur lebih bising dari biasanya, aku dan Ruth mengibarkan bendera peringatan bahaya. Dapur menjadi genting, tapi Ruth dan aku diam saja. Begitu banyak yang harus kami kerjakan. Terigu harus diayak, mentega harus dicairkan, coklat batangan harus diserut halus, ayam harus disuwir, cabe merah harus digiling. Orang-orang berbaju dinas instansi tertentu terus berdatangan ke rumah kami. Mereka membawa kuitansi kosong, meminta potongan harga, mengajukan pesanan berikutnya, menyodorkan kuitansi kosong lagi, memesan lagi, begitu seterusnya berputar tiada henti seperti kincir air.
Aku bisa saja mengerjakan semua pesanan makanan itu bersama Ruth sambil bercerita dengan suara pelan, sebagaimana biasanya. Tapi entah kenapa, kali ini Ruth tak berani mengambil inisiatif. Ia kehilangan spontanitasnya.
Ruth, perempuan bertubuh legam dan kekar yang sudah menemaniku sejak bayi itu, memilih membenamkan kepala di dalam baskom terigu. Hanya tangannya sibuk meremas-remas segenggam terigu dengan ujung jempol dan telunjuk, untuk memastikan kehalusannya. Bubuk putih halus itu kemudian jatuh bebas di sela-sela jari Ruth, kembali memenuhi dasar baskom.
Berhari-hari kami menyaksikan ibu makin bertingkah aneh. Orang-orang dari kantor pemerintah yang membawa kuitansi kosong, memang tetap dilayani, tapi kini tanpa senyum manis lagi. Ibu, si cantik yang biasanya jenaka dan pandai memberi deskripsi atas berbagai hal kini berubah menjadi singa betina yang mengaum dan siap mencakar. “Sudah! urus saja pesanan masakan itu…” Ibu membentakku saat aku hanya melontarkan pertanyaan standar, “Mother, how are you today?” mengutip salah satu lagu kesukaannya.
Bentakan itu membuatku menggelepar di sudut dapur, seperti kecoak yang
terhuyung kena semprotan Baygon. Ini yang kedua kalinya aku melihat ibu menjelma singa betina yang mengaum tanpa ampun. Sebelumnya, ibu pernah mengaum terluka saat mengusir ayah dari rumah kami. Ayah ketahuan kawin lagi. Kala itu usiaku masih sangat belia, baru 6 tahun, dan aku hanya mengingat episode memilukan itu dengan samar. Di balik jendela dapur, Ruth berusaha merayuku dengan setoples permen coklat agar mengalihkan perhatian dari adu mulut dua orang dewasa yang berkobar di ruang tamu. (Aku menangis dan sakit hati, dan sejak saat itu berjanji tidak akan makan permen coklat seumur hidup!)
“Kali ini persoalannya berat….” Ruth buka suara, di hari keempat saat suasana dapur semakin mirip medan perang.
Ruth berbisik sangat lirih menyampaikan prahara yang membuatku diguncangguncang gempa.
Aku tidak mudah percaya pada cerita jelek tentang ibu. Bagaimanapun
perempuan itu adalah ibu kandungku, yang padanya segala kebanggaanku kusematkan. Hanya pada ibu dan Ruth aku membagi kesedihan dan kegembiraanku. Meski barangkali saja, ibu tidak selamanya ingin membagi
kesedihan dan kegembiraan denganku. Ibu, perempuan cantik yang begitu mencintai dapur kami, yang menciptakan satu per satu jenis masakan dengan cinta dan kesungguhan, yang mencincang daging, udang dan bawang seperti ingin membabat habis masa lalunya. Tapi ibu juga adalah sebuah gua rahasia yang gelap, pengap dan tidak memberi petunjuk apa-apa. Seperti ia menutup mulut merahasiakan resep-resep masakan unggulannya, ia juga memasang gembok berlapis-lapis terhadap sebagian kisah hidupnya.
“Apa itu betul, Ruth?”
Tak ada jawaban.
“Apa itu betul Ruth?”
Besoknya kutodong lagi. Tetap tak ada jawaban. Wajah Ruth kini pasi seperti terigu.
“Apa itu betul Ruth?”
Aku tetap tak menyerah. Kusodorkan wajah yang tak kalah pucatnya. Dua jendela dapur yang biasanya menghadirkan hamparan langit biru, kini menghadirkan awan bergulung-gulung gelap. Dari sudut-sudut dapur bermunculan kecoak membawa kabar buruk. Brokoli, wortel, kol, tomat dan kacang panjang semua menjadi busuk dan bau. Kulkas berdengung pilu. Dapur kami yang tercinta ini lusuh dan berantakan seperti seorang gadis patah hati yang tak mandi berhari-hari.
“Apa itu betul Ruth?”
Ruth tua masih mengulen terigu. Aku terus bertanya. Hingga Ruth menjadi
tampak semakin tua dan membosankan, dengan rambut yang seluruhnya
memutih, seperti ketumpahan satu baskom terigu. Desas-desus itu, bahwa ibu menjadi pacar gelap petinggi di kantor pemerintah, sehingga bisa menguasai proyek penyediaan makanan dan minuman di berbagai instansi, kini menggelayut di langit-langit dapur kami. Menjelma jelaga
dan kerak kompor. Hitam dan menjijikkan.
Di hari-hari ketika ibu menangis sambil mengiris bawang, di hari-hari ketika ia membanting adonan roti penuh kemarahan, adalah saat-saat di mana ia begitu letih memikul rahasia itu sendiri. Ibu kelelahan menghadapi berbagai cerita tentang proyek logistik yang dikuasainya hingga serangkaian affair dengan pejabat pemerintah. Desas-desus itu berkembang biak secepat amuba membelah diri. Melesat mengalahkan kecepatan cahaya. (Tapi omong-omong, siapa sih yang tak bakal kepincut melihat ibuku? Perempuan yang diberkahi kecantikan oleh alam, serta kekuatan memenangkan pertarungan melawan usia. Perempuan yang berkilau dan sangat merawat diri, yang mencontoh mati-matian dandanan Audrey Hepburn. Makanya ia gemar mengenakan one-piece dress yang dikenakan bintang film klasik Breakfast at Tiffany’s itu).
Dapur kami memasuki musim pancaroba. Desas-desus makin kencang, suasana berubah seperti minyak mendidih di wajan, bergejolak dan panas. Tapi Ruth tetap memilih diam. Aku pun akhirnya menyerah, berhenti kasak-kusuk, lalu memilih mengikuti kebiasaan Ruth membanting adonan roti sekeras dan sekalis mungkin. Melampiaskan amarah pada terigu!
Ketika ibu sudah tidak menangis lagi, tidak mengaum lagi seperti singa betina yang luka, ia mengajak Ruth dan aku keliling pulau Jawa. Ini sebuah kejutan.
Sebuah terapi bagi kami bertiga yang lelah digulung desas desus dan amarah di dapur. Ruth girang bukan kepalang, berteriak-teriak di atas pesawat menunjuknunjuk pulau Jawa yang tampak samar. Ruth berteriak, “Apa kubilang Kalyla, pulau Jawa itu persis bekas kencingmu waktu kecil dulu….coba lihat…”
Itulah piknik terakhir kami bertiga. Beberapa bulan kemudian Ruth meninggal mendadak, terkena serangan jantung. Aku dan ibu mengantar jasadnya kembali terbang ke Ambon, ke tengah keluarga besarnya. Ruth, perempuan kekar yang mengasuhku tanpa lelah itu, dikuburkan tak jauh dari pasir putih yang selalu diceritakannya. Seputih dan selembut terigu, yang dicintainya.
Adapun aku, menghabiskan hari-hariku menebak-nebak rahasia dan jelaga hitam yang menggelayuti sepasang mata ibu. Aku mencoba menebak-nebak jalan masuk ke gua rahasia ibu. Setelah Ruth tiada, perempuan cantik itu kini lebih banyak menghabiskan diri bercakap dengan bunga-bunga peliharaannya.
Di pagi, ketika hari belum merekah sempurna, aku menyaksikan ibu mengelus daun-daun begonia dan crysanthum. Dari jendela kamar, kadang kulihat air mata ibu jatuh di atas dedaunan. Tangisnya bersenyawa dengan embun pagi.
Dapur kami sepi. Dapur kami akhirnya mati. Tinggallah aku melamun di meja kayu besar di tengah dapur, memutar semua kenang-kenangan. Manis dan pahit. Di dinding dapur seolah terentang layar yang menghadirkan kata “The End”, seperti yang biasanya muncul di akhir film.
SIANG itu ada keributan di salah satu kantor instansi pemerintah.
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
“Ibu Kalyla dari Katering Bunga ngamuk di ruang Kepala Bagian Keuangan…”
“Hah?!”
Para pegawai berkerumun, berbisik-bisik dan menggeleng-gelengkan kepala, saat seorang perempuan muda melangkah keluar dari ruang yang di atas pintunya bertuliskan “Kepala Bagian Keuangan”. Langkah perempuan itu gegas dan tegas. Di wajahnya terlihat seribu api kemarahan yang berkobar. Terus berkobar menjilati koridor, tangga, halaman gedung milik pemerintah yang dilaluinya.
(Aku, Kalyla, pengusaha katering yang kata orang juga secantik ibu. Yang
membedakan kami, aku mudah naik pitam, meludahi kuitansi kosong yang
dibawa para pegawai rendahan, memaki-maki ajudan para pejabat tinggi yang mencoba mengatur kencan-kencan gelap untuk atasannya, dan naik pitam pada pejabat yang mencoba mengatur-atur harga. Aku tidak punya senyum untuk mereka, seperti yang diberikan ibu bertahun yang lalu….) (*)
Tokyo, 26 Desember 2007/8:57 am.
*Terima kasih untuk Luna Vidya atas masukan yang sangat berarti bagi tokoh uth dan terjemahan percakapan bahasa Ambon dalam cerita ini.
Catatan kaki:
- “Dulu waktu engkau kecil, bekas kencingmu di kasur mirip pulau Jawa.”
- “Saya mabuk laut, pelayaran ke Jawa butuh waktu lama. Saya lebih baik ikut
paman ke Makassar, yang lebih dekat.” - “Apakah salju itu, saya tidak tahu…”
- “Apakah ada salju di Jawa?”
- “Kenapa mesti saling bunuh? Kenapa?”
- “Orang-orang kantoran itu selalu saja mau minta potongan harga.”