Cerpen Haruki Murakami: Hari yang Sempurna untuk Kanguru

Cerpen Haruki Murakami (Koran Tempo, 9 Juni 2013) dialihbahasakan oleh Habi Hidayat

ADA empat ekor kangguru di kandang—satu jantan, dua betina, dan satu ekor lagi adalah bayi kangguru yang baru lahir.

Aku dan pacarku berdiri di depan kandang kangguru. Kebun binatang ini tidak terlalu populer di pagi hari Senin seperti ini, jumlah binatangnya melebihi jumlah pengunjung. Tidak ada yang menarik di kebun binatang ini.

Hal yang menarik kami mendatangi kebun binatang ini adalah seekor bayi kangguru. Maksudku, apa lagi coba yang bisa dilihat di kebun binatang ini?

Sebulan sebelumnya, di sebuah rubrik di sebuah koran lokal, kami tak sengaja membaca sebuah pemberitahuan tentang lahirnya seekor bayi kangguru, dan sejak saat itulah kami sudah menunggu-nunggu sebuah pagi yang sempurna untuk mengunjungi bayi kangguru tersebut. Namun bagaimana pun juga, hari yang tepat tidak juga datang. Suatu pagi, turun hujan deras, dan kami cukup yakin hujan bakal turun lagi di hari-hari berikutnya, dan angin pun berembus-embus kencang untuk dua hari berturut-turut. Suatu pagi, pacarku mengeluh sakit gigi, dan di pagi yang lain aku punya urusan yang harus aku selesaikan di pusat kota. Aku tidak hendak membuat pernyataan yang dibesar-besarkan di sini, namun aku berani untuk mengatakan bahwa:

Inilah kehidupan.

Jadi bagaimana pun juga satu bulan itu waktu yang singkat.

Selama sebulan sesuatu bisa berlalu apa adanya. Aku tidak pernah benar-benar mengingat sesuatu yang sudah kulakukan selama sebulan. Sewaktu-waktu, seolah-olah aku sudah melakukan banyak hal, namun sewaktu-waktu yang lain aku merasa tidak menyelesaikan satu hal pun. Satu hal yang membuatku sadar kalau satu bulan telah berlalu adalah ketika lelaki yang mengantarkan koran harian datang ke rumah untuk menagih uang langganan.

Ya, itulah hidup.


Pada akhirnya, pagi yang kami tunggu-tunggu untuk melihat bayi kangguru datang juga. Kami bangun dari tidur pada pukul enam pagi, membuka gorden, dan yakin hari itu adalah hari yang sempurna untuk kangguru. Kami buru-buru membersihkan diri, sarapan, memberi makan kucing, buru-buru mencuci baju lalu mengenakan topi untuk menghalau sinar matahari, dan kami pun berangkat.

“Apa kau pikir bayi kangguru itu masih hidup?” pacarku bertanya saat kami di kereta.

“Aku yakin ia masih hidup. Tak ada satu berita pun yang mengabarkan bahwa bayi kangguru itu mati. Jika saja ia mati, aku yakin kita sudah membacanya di koran.”

“Mungkin saja tidak mati, tapi bisa saja ia sakit dan dirawat di rumah sakit.”

“Ya, tapi kalau pun itu terjadi, kita sudah membaca di koran.”

“Bagaimana jika kangguru itu ketakutan dan bersembunyi di sudut kandang?”

“Apa bayi kangguru punya rasa takut?”

“Bukan bayinya. Tapi ibunya! Mungkin ia mengalami trauma dan menyudutkan diri bersama bayinya di kandang yang gelap.”

Seorang wanita memang selalu memikirkan setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Trauma? Trauma macam apa coba yang bisa menyerang seekor kangguru?

“Jika aku tak melihat bayi kangguru hari ini, aku pikir aku tidak akan punya kesempatan untuk melihatnya lagi,” katanya.

“Kupikir juga begitu.”

“Maksudku, pernahkah kau melihat bayi kangguru?”

“Tidak, aku tak pernah melihatnya.”

“Apa kau yakin kau bakal punya kesempatan lain untuk melihat bayi kangguru?”

“Aku tak tahu.”

“Nah, karena itulah aku gelisah.”

“Ya, tapi dengar dulu,” kataku nyerocos balik. “Aku tak pernah melihat seekor jerapah melahirkan, atau bahkan melihat hiu yang berenang-renang. Jadi apa masalahnya dengan bayi kangguru?”

“Ya karena ia bayi kangguru,” katanya. “Karena itulah.”

Aku pun menyerah dan mulai membalik-balikkan halaman koran. Aku tidak pernah satu kali pun menang-argumen dengan seorang perempuan.

BAYI kangguru itu, sesuai perkiraan, masih hidup dan sehat, ia (entah jantan atau betina) terlihat tampak jauh lebih besar dibandingkan dengan gambarnya yang dimuat di koran, bahkan ia melompat-lompat di sekitar pagar kandang. Ia tak lagi seekor bayi kangguru, hanya kangguru mini. Pacarku pun kecewa.

“Ia bukan bayi lagi,” katanya.

“Tentu saja ia masih bayi,” kataku mencoba menghiburnya.

Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya pelan. Ia cuma menggelengkan kepala. Aku ingin berbuat sesuatu untuk menghiburnya, tapi apa pun yang kukatakan tidak bakal mengubah kenyataan bahwa si bayi kangguru ternyata sudah besar. Jadi aku cuma diam.

Aku bergegas menuju warung kudapan dan membeli dua cokelat es krim, dan ketika aku kembali ia masih bersandar menghadap kandang kangguru, menatap bayi kangguru itu lekat-lekat.

“Ia bukan lagi seekor bayi kangguru.”

“Kau yakin?” kataku seraya memberinya es krim.

“Seekor bayi kangguru mesti berada di kantung induknya.”

Aku mengangguk dan menjilat es krimku.

“Tapi yang ini tidak lagi berada di kantung induknya.”

Kami berusaha mengenali induk kangguru. Sang ayah, mudah untuk dilihat, ia tampak paling besar dan begitu tenang di antara lainnya. Layaknya seorang komposer yang bakatnya telah memudar, ia hanya diam saja, menatapi dedaunan yang menjadi makanannya. Dua kangguru lainnya adalah betina, terlihat dari bentuk, warna, dan air muka mereka. Salah satunya mesti ibu si bayi kangguru.

“Satu di antara dua kangguru itu mesti ibu si bayi, dan satu lagi bukan,” kataku berkomentar.

“Um.”

“Jadi yang mana yang bukan ibunya?”

“Aku tak tahu,” katanya.

Kami tak sadar bahwa ternyata bayi kangguru itu melompat-lompat di pagar kandang, lalu sesekali mengorek-ngorek tanah untuk alasan yang tidak jelas. Ia (entah jantan atau betina) tampaknya menemukan cara untuk membuat dirinya sibuk. Si bayi kangguru melompat-lompat di sekitar bapaknya berdiri, mengunyah sedikit dedaunan, dan mengorek-ngorek lumpur, mengganggu kangguru betina, lalu berbaring di tanah, berdiri lalu melompat-lompat lagi.

“Bagaimana bisa kangguru melompat-lompat begitu cepat?”

“Agar bisa melarikan diri dari musuh?”

“Musuh apa?”

“Manusia,” kataku. “Manusia membunuh mereka dengan bumerang dan menyantap mereka.”

“Kenapa bayi kangguru sanggup naik ke kantong ibunya?”

“Agar bayi kangguru bisa menyelamatkan diri bersama ibunya. Bayi kangguru tidak bisa berlari cepat.”

“Jadi mereka terlindungi?”

“Ya,” kataku. “Sang ibu melindungi anak-anaknya.”

“Berapa lama sang ibu melindungi anak-anaknya seperti itu?”

Aku sadar aku seharusnya membaca beberapa hal tentang kangguru di sebuah ensiklopedia sebelum kami bertamasya kecil seperti ini. Rentetan pertanyaan seperti ini memang sudah seharusnya aku perkirakan.

“Sebulan sampai dua bulan, aku bayangkan.”

“Tapi bayi itu cuma berumur sebulan sekarang,” katanya seraya menunjuk bayi kangguru. “Jadi mestinya ia masih di kantung ibunya.”

“Ya, aku pikir juga begitu.”

Matahari mengangkasa di atas kepala, dan kami tak bisa mendengar teriakan anak-anak di kolam renang di dekat kami. Sepotong awan putih melintasi kami.

Seorang pelajar tengah bekerja di warung hotdog yang dibentuk layaknya sebuah minivan dengan beberapa kotak pengeras suara yang mengedarkan alunan suara Stevie Wonder dan Billy Joel saat aku menunggu hotdog yang tengah dimasak.

Saat aku kembali ke kandang kangguru, pacarku buru-buru berkata, “Lihat!” menjerit, seraya menunjuk satu di antara kangguru betina. “Kau lihat, bukan? Bayi kangguru di kantong ibunya!”

Aku cukup yakin bayi kangguru itu sudah meringkuk di kantung ibunya (anggap saja kangguru betina itu adalah benar-benar ibunya). Kantung kangguru betina itu benar-benar terisi penuh, dan sepasang telinga mungil dan sepucuk ujung ekor mengintip dari balik kantungnya. Ini benar-benar pemandangan yang luar biasa dan benar-benar membuat tamasya kami tak sia-sia.

“Mungkin terasa berat membawa bayi kangguru di dalam kantung,” katanya.

“Jangan khawatir, kangguru itu hewan yang kuat.”

“Betul begitu?”

“Ya, tentu. Karena itulah mereka bertahan hidup.”

Meski hidup dengan panasnya matahari, ibu kangguru tidak menderita. Pacarku terlihat layaknya seorang perempuan yang baru saja menyelesaikan belanjaan sorenya di supermarket di sekitar wilayah Aoyama yang indah, dan tengah bersantai istirahat menikmati secangkir kopi di warung kopi.

“Ibu kangguru itu benar-benar melindungi bayinya, bukan?”

“Ya.”

“Aku bayangkan bayi kangguru itu tidur lelap.”

“Ya, mungkin saja.”

KAMI menyantap hotdog dan meminum kola seraya berjalan meninggalkan kandang kangguru.

Saat kami pergi, sang ayah kangguru masih menatapi makanannya seolah mencari sesuatu yang hilang. Sang ibu kangguru dan bayinya menyatu, istirahat di antara aliran waktu yang tenang, ketika satu kangguru misterius lainnya melompat-lompat di pagar seolah-olah ingin melarikan dirinya dari kandang.

Hari itu rupanya jadi hari yang panas, hari yang panas pertama bagi kami setelah beberapa waktu yang lama.

“Hei, kau ingin minum bir?” taya pacarku.

“Ayo.”(*)

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *