Cerpen Bamby Cahyadi berjudul Aku Bercerita dari Pesawat yang Sedang Terbang ini pertama kali dimuat di Koran Tempo, 26 Juli 2009.
SEANDAINYA aku tidak terlambat pulang sekolah, mungkin aku kini tak berada di atas ketinggian 30.000 kaki. Aku melihat awan-awan kelabu tebal berarak-arak yang seolah-olah ikut menangis dari balik jendela pesawat terbang ini. Aku kembali mengusap air mataku yang jatuh membasahi pipi dengan selembar tisu.
Kulihat ibuku memandang kosong ke arah jendela yang lain di sisinya. Matanya sembap, air matanya mungkin sudah kering sejak tadi pagi. Kakakku tertidur di bangku pesawat di samping ibu. Nyenyak sekali tidurnya, paling tidak ia bisa melupakan sejenak kesedihan yang tadi malam tiba-tiba merenggut kebahagiaan kami sebagai keluarga.
Aku kembali menerawang memandang awan-awan kelabu tebal yang seolah menangis itu. Laju pesawat kukira membelah gerombolan awan-awan itu, buyar. Berpencar. Seperti kami, keluarga yang baru saja tercabik.
Baiklah, mungkin kalian akan bertanya-tanya, sedang membuat cerita seperti apakah aku sekarang? Mari kita kembali, di hari kemarin. Di mana ceritaku ini bermula.
Baca Dulu: Dia yang Sempurna, Haruki Murakami
HARI Kamis, menjelang sore. Seharusnya aku sudah berada di rumah, namun entah kenapa aku mau saja terbujuk rayuan teman-temanku, Yopi, Turman dan Panca usai bubaran sekolah. Ya, memang ada pelajaran tambahan yang diadakan oleh sekolah dalam rangka persiapan kami mengikuti Ujian Nasional. Sehingga menjelang sore kami baru keluar dari kelas.
Semula Yopi yang iseng mengajukan usul, yang segera diamini oleh Turman dan Panca. Yopi mengajak kami untuk jalan-jalan ke sebuah mal terbesar di kota Medan, dan nonton film. Usul itu menggodaku juga. Tanpa pikir panjang, kami beramai-ramai menuju sebuah mal, tentu dengan menutup atribut seragam sekolah dengan jaket dan rompi.
Sewaktu kami sedang di taksi meluncur ke mal, aku teringat sesuatu. Aku belum mengabarkan kepada ibuku, bahwa aku tidak langsung pulang ke rumah selesai pelajaran tambahan. Namun ternyata ponselku mati. Baterainya habis. Teman-temanku tak memiliki pulsa cukup hanya untuk sekadar mengirim SMS ke ponsel ibu.
Rencananya aku akan menelepon ibu sesampai di mal nanti. Tetapi ternyata kemeriahan mal sore itu membuat aku lupa untuk menelepon ibu di rumah. Kami langsung terhanyut oleh suasana keramaian mal. Terus terang aku dan teman-teman memang paling senang berada dan berlama-lama di mal ketimbang di sekolah. Ya, namanya juga anak remaja. Kami baru kelas tiga SMP dan bulan depan kami akan mengikuti Ujian Nasional.
Tentu saja menghadapi Ujian Nasional kami merasa sangat tertekan. Sehingga usul iseng Yopi untuk menyambangi mal dan nonton film menjadi usul cemerlang. Sebelum menuju studio bioskop, kami membeli makanan dan minuman ringan di sebuah minimarket di lantai basement. Lalu makanan dan minuman itu kami masukkan ke dalam tas dan ransel masing-masing. Karena kalau ketahuan oleh petugas bioskop, bisa-bisa kami tak bisa ngemil di dalam bioskop nanti.
Terkadang peraturan nonton yang melarang membawa makanan dan minuman dari luar cukup menjengkelkan kami para pelajar. Harga tiket masuk bioskop memang murah dan terjangkau. Tetapi, apabila kami harus membeli makanan dan minuman untuk cemilan nonton di kafetaria bioskop, sama saja bohong. Harga di situ, dua atau tiga kali lipat harga di minimarket atau di warung-warung.
Kami memilih nonton sebuah film remaja di salah satu studio di bioskop mal terbesar dan termegah di kota ini. Film yang sedang digandrungi oleh para remaja masa kini. Tentu kami sangat ceria dan tertawa-tawa.
Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum pernah pulang terlambat seusai sekolah. Aku benar-benar lupa, bahwa aku belum memberitahu perihal aku jalan-jalan ke mal dan nonton hingga malam hari kepada ibu atau ayahku.
Usai nonton baru aku menyadari hari telah bergulir malam. Langit telah menghitam, lampu-lampu jalan berpendar-pendar dan pijaran lampu dari gedung-gedung bertingkat telah menerangi sebagian gelap malam.
Aku memutuskan pulang duluan. Tak kuhiraukan lagi rayuan Yopi yang akan mentraktir kami makan di sebuah restoran burger ternama.
Sesampai di rumah, ibu telah menungguku dengan cemas di depan teras rumah. Kakakku juga cemas. Mereka bernafas lega ketika aku datang. Aku merasa sangat bersalah, kuciumi tangan ibu.
Aku bertanya, di mana ayah? Ternyata ayah menjemputku ke sekolah. Tetapi, malah ayah yang belum pulang. Ibu kembali dilanda rasa cemas. Tiba-tiba menyeruak juga rasa cemas yang luar biasa dari dalam diriku. Bukan ibu saja yang merasakan, aku, dan kakakku juga. Kami kini sama-sama cemas. Malam kian larut, ayah tak kunjung pulang.
TANDA mengenakan sabuk pengaman menyala, disertai suara khas yang berdenting. Lantas disusul suara pilot pesawat menyampaikan sesuatu membelah sunyi kabin. Rupanya, pesawat akan melewati badai yang terjadi di depan. Guncangan akibat badai mungkin akan terjadi beberapa saat. Penumpang tetap tenang.
Aku melihat penumpang yang lain bergegas menyematkan sabuk pengaman. Beberapa di antara mereka terlihat berkomat-kamit, mungkin berdoa. Ya, berdoa. Bukankah berdoa akan menentramkan jiwamu? Melepasmu dari kecemasan? Kulihat ibu memandangku. Kakakku masih tertidur di kursi samping ibu. Begitu nyenyak ia tertidur.
Pandangan ibu masih hampa. Ada derita di bolamatanya. Derita yang kini kutanggung juga. Sepertinya kami sepakat untuk tidak berdoa. Atau mungkin berdoa, boleh jadi berdoa untuk sesuatu yang lain.
Baca Juga: Bersahabat dengan Alien
Ketika badan pesawat betul-betul terguncang-guncang, aku sempat berharap. Berharap pesawat ini benar-benar terguncang lebih dahsyat. Lebih bergoyang-goyang dari ini. Lalu tersambar petir, lalu pecah, meledak berkeping-keping bersama tubuh-tubuh di dalamnya. Atau, aku berharap pesawat ini jatuh. Menghunjam bumi atau tenggelam di dasar samudera yang berada di bawah sana. Lalu hilang bersama kami, tubuh-tubuh yang ada di dalamnya.
Aku melirik ibuku. Ia, membalas melirikku. Ibu tersenyum hampa. Aku tahu, ibu pun ingin pesawat ini jatuh. Dan kami mati. Mati bersama. Kakakku terbangun dari tidurnya yang lelap, mungkin mimpinya terganggu oleh guncangan. Ia, lalu menggamit tangan ibuku. Ia juga menatapku lekat. Semoga kita mati bersama.
Pesawat terguncang sungguh sangat lama. Penumpang yang lain mulai panik. Ada yang berteriak-teriak, ada yang menangis dan banyak juga yang menyebut kebesaran Tuhan. Oh, Tuhan yang Mahaberkehendak jatuhkan pesawat ini. Jatuhkan pesawat ini. Mulutku berkomat-kamit, berdoa agar pesawat ini benar-benar jatuh.
Aku ingin bersama ayahku!
Aku menangis lagi. Menangis sejadi-jadinya. Tersedu-sedu, sangat pedih, sangat sedih. Ayah, aku ingin bersamamu. Ibu juga, kakak juga.
Pikiranku kembali melayang.
Baiklah, aku lanjutkan lagi cerita yang sedang kukisahkan ini. Lupakan pesawat kami yang sedang terguncang-guncang dihantam badai. Karena pilot pesawat ini telah bertindak cerdik, ia menaikkan ketinggian pesawat menjadi 35.000 kaki. Dan, pesawat kami tidak pernah jatuh.
AYAHKU belum juga kunjung pulang sampai selarut ini. Aku menyesal telah membuat ayah bersusah payah menyusulku ke sekolah. Pasti ayah tak akan menemukan siapa-siapa. Karena pada saat itu, aku, Yopi, Turman dan Panca telah lebih dahulu meninggalkan sekolah menuju mal. Ia hanya akan menemui halaman sekolah yang telah kosong melompong.
Aku merasa sangat bersalah telah membuat ibuku cemas, menungguku. Menyesal membuat ayah menjemputku. Kakakku hanya mengusap rambutku ketika aku pulang selesai nonton. “Jangan kau lakukan lagi, kasihan ibu,” katanya mengacak rambutku. Aku tersenyum, meminta maaf padanya. “Tak perlu, Dik. Kita tunggu ayah pulang,” lanjutnya.
Ibu berkali-kali menelepon ponsel ayah. Tetapi ayah tak pernah menjawabnya. Ibu hanya ingin memberitahu, bahwa aku sudah berada di rumah. Aku hanya pergi menonton film di mal. Aku tidak melakukan kegiatan yang berbahaya, walaupun aku terlambat pulang dari sekolah. Mungkin ibu juga akan bilang, aku tak senakal seperti yang mereka pikirkan.
Aku nakal, aku akui. Aku sering terlibat dalam tawuran sekolah dengan musuh bebuyutan sekolah kami. Tapi aku hanya ikut-ikutan, bukan tokoh utama. Atau aku suka meninggalkan pelajaran yang tak aku sukai, semisal matematika dan bahasa Inggris. Tapi itu kenakalan yang wajar bukan? Lagi pula aku tak suka gurunya. Aku tak pernah terlibat narkoba atau pergaulan seks bebas. Maaf, bukan aku itu! Ya, aku tidak senakal itu. Katakan kepada ayah.
“Aneh, kenapa ayah tidak mengangkat telepon dari ibu ya?” Ibu bertanya bukan pada kami, seolah ia bertanya pada ayah yang belum juga pulang. Padahal malam semakin larut. Gelap di luar semakin kelam, kesiur angin malam menghempas daun pintu rumah kami. Tiba-tiba telepon rumah berdering.
Ibu berlari menuju meja telepon. Ibu dengan cepat mengangkat gagang telepon. Ibu tak lagi berucap selain kata halo. Lantas ibu seperti tercekat. Tangannya gemetar. Telepon itu bukan dari ayah. Ibu limbung, badannya terhuyung saat meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Kakakku memegang ibu, aku menghampiri ibu dengan pandangan bertanya.
“Ada apa, Bu?”
“Tadi telepon dari rumah sakit. Cepat kita ke sana!”
Dengan bergegas kami menyetop taksi yang lewat. Ibu menyebutkan alamat sebuah rumah sakit di kota ini. Sopir taksi paham betul letak rumah sakit itu. Ibu menyuruhnya untuk tancap gas lebih dalam. Lebih dalam lagi. Jantungku berdetak sangat keras. Pembuluh darahku membesar berdesir-desir. Ah, aku tak suka keadaan seperti ini. Mau pingsan rasanya.
LAMPU tanda mengenakan sabuk pengaman padam, disertai suara dentingan yang khas. Ting! Penumpang menghembuskan napasnya yang tertahan, lega. Kami tak jadi mati bersama. Tubuh kami tak jadi hancur berkeping-keping bersama serpihan badan pesawat yang hancur terkena badai. Dengan intonasi suara yang tak berubah (pasti pilot telah dilatih untuk bersuara dengan irama datar), pilot melaporkan bahwa cuaca kini telah cerah kembali. Dipastikan dalam waktu tidak kurang dari 45 menit lagi kami akan mendarat di Jakarta.
Ibu tampak kecewa. Begitu juga aku, begitu juga kakakku. Bukankah kami telah memanjatkan doa agar pesawat ini jatuh? Ternyata pesawat tidak jatuh, doa kami tak dikabulkan. Mungkin karena kami hanya bertiga. Lebih banyak penumpang yang memohon keselamatan. Itulah sebab, mengapa orang lebih suka berdoa bersama-sama. Tidak bertiga, apalagi sendiri. Bukankah mereka lebih dominan di hadapan Tuhan? Apalah kami yang cuma bertiga.
Oh, tidak. Kami tidak bertiga. Ada ayah dalam pesawat ini bersama kami. Tapi, apakah tadi ayah ikut berdoa?
Pasti kalian heran. Sedari tadi aku bercerita tentang keadaan kami dalam pesawat yang sedang terbang ini, tak pernah menyinggung soal ayahku. Lalu, kenapa aku katakan bahwa kami tidak bertiga?
Ya, ayahku berada dalam pesawat ini juga. Tidak percaya? Ayah berada di tempat yang lain. Ya, di tempat yang lain masih di pesawat ini. Bolehkah aku mengajak kalian mendengarkan kisahku lagi? Sedikit lagi saja.
AROMA rumah sakit menyeruak, ketika kami sampai di pelataran rumah sakit. Baunya membuatku mual. Aku tidak suka rumah sakit. Baunya, bau kematian. Seorang polisi telah menunggu di depan ruang Unit Gawat Darurat.
Ibuku berlari masuk ke ruang itu. Tak dihiraukannya polisi yang akan menjelaskan sesuatu. Aku dan kakakku mempercepat langkah setengah berlari menyusul ibu yang telah masuk duluan.
Ruangan seketika mendadak hening. Sangat senyap, sunyi menjalari malam. Sepertinya semua orang, semua benda hidup, benda mati, apakah itu malaikat atau ruh gentayangan sekalipun tahu dan bersepakat, bahwa saat ini bukan waktu yang tepat bagi mereka untuk bersuara. Saat ini waktu untuk kami. Sungguh waktu untuk kami.
Ibu menangis menyayat-nyayat. Aku menangis meraung-raung. Kakakku menangis tertahan dengan air mata berderai-derai.
Ayahku tersenyum sebagai mayat.
KAMI tidak bertiga, kami berempat. Ayahku berada di lambung pesawat ini juga. Di dalam peti mati bersama koper-koper besar dan barang-barang kargo lainnya di bagasi pesawat. Kami mengantar ayah pulang.
Hari Jumat menjelang siang. Pesawat telah mendarat dengan selamat di Jakarta.
TENTANG mayat yang sedang tersenyum. Ya, mayat itu ayahku.
Hari Jumat, menjelang sore. Setelah menempuh perjalanan udara dengan pesawat terbang dari Medan ke Jakarta, kami telah sampai di rumah nenek. Di sebuah kota di mana matahari terlampau dekat di ubun-ubun kepala sehingga cahaya teriknya selalu membuat mata silau, kota kecil itu Tasikmalaya.
Sebuah tenda besar berdiri sunyi di pekarangan rumah, kursi-kursi lipat dibentangkan dan disusun berjajar. Karangan bunga berjejer rapi dari mulut jalan hingga ke pintu rumah. Beberapa bendera kertas berwarna kuning berkibar-kibar sendirian di setiap ujung jalan.
Wajah ayah tampak pucat, warna kulitnya serupa kapas, putih dan bersih, ketika kami membuka tutup peti jenazah di mana ayah terbaring dengan tenang. Aroma formalin langsung menyeruak berhamburan di antara bau kembang melati dan bubuk kopi.
Ekspresi wajah ayah sungguh memukau, ia terlihat hanya sekadar tertidur lelap. Tapi ia juga tampak seperti tersenyum. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan indah yang sangat kami kenal dengan baik. Senyuman tulus dan penuh kehangatan.
Mana mungkin senyum mayat yang beku bisa melumerkan suasana kesedihan yang mengental ini menjadi sebuah keriangan yang menghangatkan? Aku menyusut airmata yang kembali meleleh membanjiri pipiku dengan punggung tangan. Ibu menatap tanpa berkedip pada wajah ayah yang sedang tersenyum itu. Tatapannya kosong. Hampa. Penuh kepedihan, pun penuh pengharapan.
Aku tahu, ibu berharap ayah akan membuka kelopak matanya, menggerakkan kepala, tangan dan kakinya. Lantas ayah melompat dari peti itu dan ia berbicara pada kami dengan candaan khasnya dan tentu saja diselingi tawanya yang keras. ”Hei, kenapa kalian bersedih?” Aku pun mempunyai pengharapan seperti yang ibu dambakan. Kulihat kakakku bersimpuh di depan peti jenazah, ia menudukkan kepala sangat dalam, ia enggan melihat ayah yang sedang tersenyum. Mungkin kakakku terlampau sedih, ia pasti berharap yang dialaminya hanya mimpi buruk yang terjadi saat tertidur.
Celakanya kami tak sedang tidur, apalagi bermimpi. Kenyataannya ayah telah mati tadi malam, jantungnya tak berdetak lagi, kini ia terbujur kaku dalam peti mati. Sebentar lagi tubuhnya akan musnah ditelan bumi. Dilumat tanah dan dimakan cacing.
Pelayat yang lain mulai terisak-isak, mereka memandang ayah dengan mata nanar yang sekujur tubuhnya telah dikafani itu. ”Ia orang baik,” gumam beberapa orang sambil memegang pundak dan kepalaku.
Aku makin sedih, aku kembali menangis tersedu-sedu. Ayah telah mati.
Nenekku memelukku untuk memberi kekuatan.
”Jangan sedih, jangan sedih! Ikhlaskan ayahmu,” kata nenek dengan suara tegas bergetar. Tapi airmata nenek malah berlinang-linang, sekelebat aku melihat kesedihan yang sama di bolamatanya ketika kakekku meninggal tiga tahun yang lalu.
RABU sore. Wajah ayah tampak semringah, ia banyak tersenyum hari ini, hingga bibirnya yang kering tertarik lebar. Sesekali ia tergelak dengan suara tawa yang membahana di ruang tamu yang tak begitu luas. Ibu pun tak mampu menyembunyikan rasa bahagia, berkali-kali ibu mengucapkan kata syukur. Ibu menyeduh segelas kopi untuk ayah dan sirup jeruk untuk kami. Ya, ayahku baru saja naik jabatan menjadi Kepala Bagian di kantornya.
Aku dan kakakku bersorak-sorai, kami melonjak-lonjak kegirangan di ruang tamu sambil berteriak-teriak senang. Tentu saja kami sangat gembira, ayah naik jabatan berarti uang jajan kami akan bertambah. Kurasa itulah yang membuat aku dan kakakku bersorak-sorai. Dengan tambahan uang jajan, setidaknya aku bisa nonton film lebih sering di bioskop dengan teman-teman tatkala liburan sekolah. Kakakku akan lebih banyak membeli buku-buku bacaan sebagai koleksinya.
Ayah lantas berceloteh tentang fasilitas tambahan yang akan ia terima. Mobilnya yang semula Katana akan diganti jadi Avanza. Paling tidak, aku dan kakakku tak akan lagi sembunyi-sembunyi dan diam-diam menyelinap naik mobil saat ayah menjemput kami. Begitu kata ayah.
Ya, memang. Terkadang aku begitu keterlaluan, karena mobil ayah hanya sebuah jip Katana, saat ayah menjemput aku pulang sekolah apabila ada pelajaran tambahan, aku suka sembunyi-sembunyi sambil mengendap masuk ke dalam mobil tersebut. Maklum, sekolahku di Medan, sekolah favorit, sekolah anak-anak orang kaya dan pejabat. Saat bubaran sekolah, mobil-mobil mewah berseliweran menunggu jemputan. Mobil ayah akan tampak butut di tengah kemegahan mobil-mobil yang lain. Terus terang aku malu.
Ayah pun maklum, apabila ia menjemputku, ia akan parkir di ujung jalanan sekolah. Sebenarnya, aku lebih suka pulang naik kendaraan umum seperti naik bus atau angkot, sesekali naik taksi. Tapi apabila ayah tak bermain tenis bersama teman-temannya di sore hari, maka ia dengan senang hati menjemputku pulang sekolah ketika aku ada pelajaran tambahan.
Mobil baru ayah, akan diserahkan besok oleh pihak kantor. Ayah berencana akan menjemputku besok tepat di depan gerbang sekolah dengan mobil baru. Aku dan ayah tampaknya tak sabar menunggu hari esok tiba. Kukira ibu dan kakakku pun berharap hari ini lebih cepat bergulir. Kami berharap hari Kamis segera menjelma. Karena hari esok adalah sebuah harapan baru bagi perjalanan karir ayah di kantor.
Namun sebelum tidur, aku berpikir untuk mengubah rencana.
SEKARANG matahari telah tenggelam di ufuk barat. Pendar warna senja mulai melindap. Langit menjadi temaram dan kegelapan malam mulai membutakan segalanya.
Tubuh manusia bisa musnah ketika ia tak bernyawa lagi. Seperti tubuh ayah. Tubuh ayah diangkat oleh beberapa kerabat dari dalam peti ke atas kasur yang telah diselimuti kain batik warna gelap bercorak kelam. Di sudut-sudut ruangan bubuk-bubuk kopi ditabur dalam mangkok-mangkok terbuka. Seikat kembang melati tertata rapi di sebuah vas keramik berwarna putih. Beberapa kelopak melati gugur di atas karpet-karpet yang digelar di lantai.
Suara orang-orang mengaji tumpang-tindih dengan suara isak tangis kerabat dan saudara yang baru saja datang melayat. Mereka tak menyangka ayahku berpulang secepat ini. Aku dan kakakku duduk bersila kelelahan di lantai. Kami belum tidur sejak semalam, di pesawat terbang tadi, akibat badai yang menerjang, kami benar-benar terjaga sepanjang perjalanan udara yang menyedihkan itu. Rasanya kami pun masih belum percaya, kami berada di rumah nenek untuk mengantar ayah ke liang lahat.
Padahal empat bulan lalu, kami berkumpul di tengah ruangan ini dengan suka-cita, merayakan lebaran bersama nenek dan sanak-saudara dari pihak ayah dan ibu. Makan ketupat, opor ayam dan berebutan uang angpao lebaran. Kini, kami bersimpuh dalam duka-cita. Oh, pantaslah sewaktu di pesawat tadi kami sepakat berdoa bersama agar pesawat yang membawa kami jatuh terhempas badai. Agar kami mati bersama ayah. Agar kami tetap menjadi keluarga yang utuh walaupun di alam kematian. Bukan kah, jiwa tak pernah mengenal mati? Biarlah, jiwa-jiwa kami lepas dari jasad dan kami bertemu dalam kehidupan yang abadi. Bersama ayah.
Dengan suara lirih aku mulai bercakap-cakap dengan kakakku. Kami berbincang-bincang, sambil mengingat-ingat kejadian hari Rabu sore kemarin ketika ayah menyampaikan kabar ia dipromosikan menjadi Kepala Bagian.
”Kak, aku rasa hari Rabu kemarin adalah hari yang sangat membahagiakan,” kataku. Kakak memandangku. Kakakku tak menjawab, ia diam, tapi bibirnya tampak bergerak-gerak.
”Justru aku merasa hari itu hari yang sangat menyedihkan,” lirih kakakku.
”Kenapa begitu, Kak?” tanyaku.
”Terus terang waktu kita berteriak-teriak kegirangan, mendadak hatiku begitu pilu. Aku tiba-tiba merasa suasana yang mencekam, Dik,” jawab kakakku.
”Kenapa Kakak tidak cerita padaku, atau cerita pada Ibu?” sergahku.
”Aku tak mau merusak kebahagiaan kabar baik dari Ayah, itu saja. Mungkin juga itu firasat,” tandasnya, sambil memeluk lututnya.
”Kak, aku menyesal pulang terlambat,” kataku tercekat.
”Sudahlah, Dik, semua telah terjadi,” gumam kakakku.
Kami pun bergeming dengan pikiran masing-masing. Rasa penat tak kuasa kutahan. Kelopak mataku begitu berat karena kelelahan menangis sepanjang hari. Lepas magrib nanti, jenazah ayah akan dikebumikan di pemakaman keluarga yang hanya berjarak dua kilometer dari rumah nenek.
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Aku mendengar suara misterius dari ruangan ini. Suara itu jelas terdengar dari tempat di mana mayat ayah terbaring. Aku segera menengadahkan wajah, memandang ke arah suara itu berasal, dan aku melihat sesuatu yang membuat darahku beku. Sesuatu yang serba putih berkelebat.
Darahku seperti terkesiap, aku melihat dengan jelas ayah bangkit dan bergerak cepat melintas di ruangan, ayah mendatangi ibu lalu memeluk dan menciuminya. Mendatangi nenek dan mencium tangan nenek, ayah terus bergerak cepat seolah khawatir keberadaannya diketahui seseorang. Ia lantas mendatangi kakakku, ayah memeluk kakakku dan mencium dahinya penuh kasih sayang. Kini tiba giliranku.
Aku melompat ke arah ayah tanpa menunggu ayah menghampiriku, aku ingin memeluknya, aku ingin minta maaf padanya. Aku memang nakal dan suka merepotkan dirinya. Aku hanya ingin bilang padanya, ”Ayah jangan mati. Kami membutuhkanmu!”
Jantungku berdetak dengan cepat ketika ayah melangkah ke arahku, kakinya begitu ringan, wajah ayah yang pucat kini tampak bercahaya, terang-benderang. Dan menghilang! Aku tersentak. Ruangan kembali gaduh oleh orang-orang mengaji diselingi isak tangis para pelayat. Di beranda, keranda telah disiapkan. Suara sirine meraung-raung dari mobil jenazah menuju pemakaman.
”Ayah! Ayah! Ayah!” jeritku histeris. Ketika tubuh ayah tertimbun tanah di liang lahat.
***
KAMIS pagi. Kami sarapan bersama, seperti biasa ibu dengan cekatan menyiapkan menu sarapan. Tiga butir telur ayam kampung setengah matang, nasi goreng sosis, beberapa tangkup roti berselai cokelat. Minuman untuk ayah secangkir kopi panas, untuk kami masing-masing segelas susu krim. Minuman sehat yang terkadang membuatku mual ingin muntah. Tapi ibu selalu setia menyediakan segelas susu untuk kami. Demi pertumbuhan kami, begitu kata ibu.
Ayah tampak bersemangat mengunyah roti berselai cokelat sambil menyeruput kopinya.
”Kamu nanti Ayah jemput ya, pakai mobil baru, hehehe,” ujar ayah tertawa senang.
Sesuai rencana yang telah kupikirkan semalam, ayah tak perlu menjemputku pulang sekolah setelah pelajaran tambahan nanti. Aku malu, nanti teman-temanku menyangka aku pamer-pamer mobil baru pada mereka. Apa kata Yopi, Turman dan Panca, ketika melihat mobil Katana berubah menjadi Avanza. Ya, sudahlah, kupikir ayah tak perlu menjemputku nanti.
”Yah, aku nggak usah dijemput. Aku pulang pakai bus bareng teman-teman,” kataku.
”Lho, kamu gimana sih? Katanya ingin merasakan mobil baru,” balas ayah tersenyum. Ia terdiam sejenak memandangiku seolah ingin meyakinkan perkataanku padanya. Aku mengangguk. ”Ya, sudah, jadi kamu nggak perlu Ayah jemput,” lanjut ayah. Aku menjawabnya dengan senyuman.
Ayah lantas beranjak, menemui ibu. Ayah pamit menuju kantor. Karena arah sekolah kami tidak searah dengan kantor ayah, maka aku dan kakakku ke sekolah menggunakan angkot dari depan kompleks rumah kami.
Begitulah, saat sarapan pagi itulah aku terakhir menyaksikan ayah sebagai tubuh yang bernyawa.
Aku tak menyangka, akibat ulahku pulang terlambat selepas pelajaran tambahan di sekolah, kini aku kehilangan sosok yang sangat kusayangi. Aku tergoda bujukkan Yopi, Turman dan Panca mengajakku jalan-jalan ke mal dan nonton film.
Karena aku terlambat pulang hingga larut malam, ibu sangat cemas, maka ibu menyuruh ayah menjemputku. Tapi aku sudah lebih dulu menuju mal untuk nonton. Ketika ayah tiba di sekolah, halaman sekolah telah kosong dan hari telah gelap.
Saat itulah seseorang mendekati ayah, lalu orang tersebut mengajak ayah berbincang-bincang. Entah bagaimana caranya, orang itu ikut masuk ke mobil baru ayah, lantas mengajak ayah berputar-putar.
Rupanya orang tersebut berniat jahat, ia hendak merebut mobil ayah. Mungkin ayah melawan. Beberapa tusukan senjata tajam menghunjam ulu hati ayah. Saat ayah tak berdaya, orang tersebut membuang ayah selayak sampah tak berguna di pinggiran jalan. Mobil ayah pun lenyap bersama nyawanya.
Kabar tersebut diceritakan secara kronologis oleh petugas kepolisian, berdasarkan asumsi sementara di tempat kejadian perkara, usai kami menemui ayah yang terbaring kaku di ruang Unit Gawat Darurat rumah sakit dengan perutnya yang penuh genangan darah. Kami hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Baiklah. Itulah kisah yang dapat kututurkan pada kalian, apabila kalian bertanya, ”Kenapa ayah meninggal?”
Ya, ayahku mati dibunuh. Ditikam. Ulu hatinya berlubang! Suatu perasaan pilu yang tak bisa kuberi nama. Sebuah kehilangan yang takkan bisa tergantikan. Ayahku meninggalkan kenangan yang tak pernah pupus dalam ingatan. Ia masih sempat membentuk lekukan senyum di sudut-sudut bibirnya, meskipun sebagai mayat.***
Cerpen ini adalah debut cerpen yang dimuat di media koran. Semoga menjadi arsip yang bermanfaat