Seperti yang kita ketahui, sejak ada penegasan pengenaan pajak atas buku, berbagai masalah timbul di penerbit. Mulai dari kenaikan tarif sharing toko dan distributor, hingga ke penghitungan pajak itu sendiri. Penghasilan penerbit otomatis berkurang karena pembagian hasil penjualan yang semakin sedikit ke penerbit.
Sebagian penerbit rupanya masih keliru dalam memaknai pajak, dalam hal ini PPN.
Misalnya:
- Harga buku di toko buku Rp88.000,- berapakah pajaknya?
Jawaban Penerbit:
- Penerbit menghitung PPN 10% sebesar Rp8.800 dan royalti 10% x 88.000 sebesar Rp8.800,-
Perhitungan di atas SALAH.
Jawaban yang benar adalah:
- PPN = 10/11 x Rp88.000,- = Rp8.000,-
- Royalti = 10% x (Rp88.000-Rp8.000) = Rp8.000,-
Bisa diperhatikan, bukan? Ada perbedaan Rp1.600,- di sana. Jika penjualan terjual 1000 eksemplar saja, penerbit sudah kehilangan Rp1,6 juta. Lumayan.
Kenapa demikian? Sebenarnya harga yang tertera saat buku sudah berada di toko adalah harga dengan PPN. Sehingga, PPN itu harus dikeluarkan terlebih dahulu. Atau, penerbit terlebih dahulu sudah menetapkan harga. Ketika buku tersebut dijual, barulah dikenakan PPN. Karena sejatinya, PPN itu ditanggung oleh pembeli.
Tapi, dengan begitu sebenarnya kita sama saja memberatkan konsumen, karena harga buku menjadi lebih mahal 10%. Gimana nih, pemerintah?