oleh Hasan Aspahani
CHAIRIL Anwar pernah mengemukan sebuah pernyataan keras. Penyair, katanya, harus terus-menerus berjuang untuk mencapai teknik yang baik. Ia juga harus terus-menerus berjuang untuk mencari makna dari kehidupan ini.
“Penyair juga harus melawan godaan-godaan dalam kehidupannya yang tak terhitung banyaknya, yang mencoba menariknya dari kehidupan itu sendiri,” kata Chairil, sebagaimana dikutip Drs M.S. Hutagalung dalam buku “Memahami dan Menikmati Puisi” (Penerbit Buku Kristen; Jakarta; 1971).
Godaan-godaan itu akan menyeret penyair ke arah pemikiran dangkal, yang hanya akan menghasilkan karya puisi yang dangkal. Apakah puisi yang dangkal? Berikut ini saya sarikan butir-butirnya dari buku tersebut:
1. Puisi dangkal adalah puisi yang hanya berisi kesan-kesan sepintas, kesan-kesan saat melihat suatu kejadian, yang hanya sampai pada tingkat kesan-kesan pribadi yang tidak menarik pada orang lain.
2. Puisi dangkal adalah sajak yang cengeng, yang hanya berisi rengekan dan tangisan yang tidak wajar.
3. Puisi dangkal adalah yang mencoba kontemplatif, merenungkan persoalan tetapi belum sampai keluar dari persoalan itu, belum dapat mengambil makna dan hakekat dari persoalan tersebut.
4. Puisi dangkal adalah puisi yang tak memancarkan pesona, yang tak mengandung hal-hal yang cukup berarti.
5. Puisi dangkal adalah puisi yang tidak mengandung falsafah hidup di dalamnya, sehingga hanya tampil berupa permainan kata atau frase kosong.
“RUPANYA mengutarakan amanat dan tema secara implisit memengaruhi juga pesona puisi,” kata Drs. M.S. Hutagalung dalam buku “Memahami dan Menikmati Puisi” (Badan Penerbit Kristen; Jakarta; 1971).
Puisi yang hebat lahir dari serangkaian proses sejak dan selama ia dituliskan. Sikap penyair terhadap dirinya sendiri dan pembacanya, juga menentukan puisi seperti apa yang akan ia hasilkan. Saya menyarikan uraian di buku itu menjadi tujuh butir sebagai berikut:
1. Penyair harus jujur kepada dunia, ia juga harus jujur kepada dirinya sendiri artinya hanya mengemukakan apa yang diketahuinya benar-benar dan apa yang diyakininya sungguh-sungguh.
2. Ciptaan yang agung selalu ditandai kepribadian, keorisinilan. Jadi tak mungkin kita temui suatu ciptaan yang berpribadi dari manusia yang tak berpribadi, yang tak mempunyai konsep-konsep tersendiri dalam kehidupan ini.
3. Tak mungkin kita menerima suatu pendapat atau konsep merupakan kebenaran yang eksistan bila penyairnya sendiri tidak yakin akan konsep-konsep yang dikemukakannya.
4. Kadar intelektualitas yang dikandung dalam sebuah karya sastra ikut juga menentukan nilai karya sastra itu.
5. Tentu saja kecekatan penyair dalam menjinakkan segala unsur-unsur ciptaannya memegang peranan yang menentukan.
6. Penyair harus dapat menjalin segala unsur-unsur itu dengan lenturnya hingga tercipta suatu kebulatan yang harmonis, wajar dan seimbang, baik berupa ia unsur lahiriah maupun batiniah.
7. Kerendahhatian penyair dalam menuliskan sajaknya atau mengemukakan amanatnya akan terasa simpatik bagi pembaca.
8. Sekalipun penyair ingin memberi suatu kebijakan kepada pembaca janganlah terasa bahwa ia hendak menggurui mereka.
One Comment