Haruki Murakami: Burung Nejimaki dan Wanita-wanita Hari Selasa

cerpen haruki murakami

Aku sedang di dapur memasak spaghetti saat wanita itu menelepon. Beberapa saat sebelum spaghetti matang; di sanalah aku, menyiulkan awalan dari La Gazza Ladra-nya Rossini yang sedang diputar radio FM. Sungguh sempurna memasak spaghetti diiringi musik yang pas.

Aku mendengar dering telepon tapi membatin, Acuhkan saja. Biarkan spaghetti matang dulu. Hampir beres, dan di samping itu, Claudio Abbado bersama London Symphony Orchestra akan memasuki crescendo. Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk mengecilkan api dan pergi menuju ruang tengah, dengan sumpit yang dipakai menggoreng masih di tangan, mengangkat gagang telepon. Mungkin telepon dari teman, terpikir olehku, mengabarkan kalau ada tawaran kerja.

“Aku minta sepuluh menit,” ujug-ujug terdengar suara seorang wanita.

“Maaf?” aku berseru balik tanpa berpikir, “Dengan siapa ya?”

“Sepuluh menit saja, hanya ini yang kuminta,” ulang si wanita.

Aku benar-benar tak punya ingatan pernah mendengar suara wanita ini sebelumnya. Dan aku sangat yakin dengan kemampuan pendengaranku, jadi tak akan salah. Ini suara wanita yang tidak kukenal. Suara lembut, rendah, yang tak mencolok.

“Maaf, bisa tahu dengan siapa ini?” Aku mematut-matut sesopan mungkin.

“Tak penting. Yang kumau cuma sepuluh menit saja. Sepuluh menit agar kita saling memahami satu sama lain.” Dia menyampaikan dengan cepat namun teratur.

“Saling memahami satu sama lain?”

“Tentang perasaan kita,” ringkasnya.

Aku menengok ke belakang melhat pintu terbuka menuju dapur. Kepulan asap putih keluar dari panci spaghetti, dan Abbado masih menggiringkan Gazza-nya.

“Jika kau tak keberatan, aku sedang masak spaghetti saat ini. Sudah hampir matang, dan bakal kacau kalau aku bicara untuk sepuluh menit. Jadi gimana kalau telepon lagi nanti?”

“Spaghetti?” dia menggerutu tak percaya. “Ini masih setengah sepuluh pagi. Apa yang kau lakukan dengan masak spaghetti pukul setengah sepuluh pagi? Aneh, kan?”

“Aneh atau tidak, bukan urusanmu kan?” tegasku. “Aku belum sarapan, jadi aku lapar saat ini. Dan selama aku yang memasaknya, kapan dan apa yang aku makan itu urusanku, iya kan?”

“Baik, terserah kau. Sudahi dulu berarti,” ucap wanita itu dengan suara culas. Suara yang garib. Sedikit saja tercipta pergeseran emosi dan nada suaranya berubah. “Aku akan telepon lagi nanti.”

“Tunggu sebentar,” aku tergagap-gagap. “Jika kau hendak jualan, lupakan saja soal menelepon kembali. Aku pengangguran sekarang dan nggak mampu beli apapun.”

“Aku sudah tahu itu, jangan dipikirkan.” ucap wanita itu.

“Kamu sudah tahu? Tahu apaan?”

“Kalau kau pengangguran, tentu. Aku sudah tahu. Jadi teruskan masak spaghetti-mu dan jangan pikirkan itu, oke?”

“Hey, siapa-” aku meluncurkan pertanyaan, namun sambungan putus tiba-tiba. Memotong sambunganku. Untuk bisa memutus secepat itu; dia pasti langsung menekan tombol dengan jarinya.

Aku ditinggal menggantung. Dalam diam aku menatap gagang telepon yang masih dalam genggaman tanganku dan sejurus kemudian teringat akan spaghetti. Aku meletakan gagang telepon dan balik ke dapur. Mematikan kompor, meniriskan spaghetti ke saringan, melumerinya dengan saus tomat. Aku memanaskannya dalam panci, kemudian memakannya. Ini terlalu matang, semua berkat panggilan telepon tak berarti tadi. Bagaimanapun susahnya, atau karena aku sedang tidak dalam suasana hati untuk meributkan perkara memasak spaghetti – aku terlalu lapar. Aku hanya mendengar radio yang sedang mengudara memainkan musik untuk dua ratus gram spaghetti yang aku kunyah dengan lahap tiap helainya menuju ke dalam perut.

Aku mencuci piring dan penggorengan sementara memanaskan secerek air, lalu menuangkannya untuk secangkir kantong teh. Saat menyesap tehku, aku memikirkan panggilan telepon tadi.

Agar kita bisa saling memahami satu sama lain?

Apa yang dimaksud wanita itu, dengan meneleponku seperti itu? Dan siapa pula dia?

Semuanya masih misteri. Aku tak bisa mengingat wanita manapun yang pernah meneleponku tanpa memberi nama terlebih dahulu, atau aku tak punya petunjuk soal apa yang ingin dia bicarakan.

Bodo amat, aku membatin, kenapa aku harus peduli soal saling memahami perasaaan dengan seorang wanita aneh? Hal baik apa yang bakal terjadi? Yang paling penting sekarang adalah aku bisa dapat pekerjaan. Kemudian aku bisa membentuk siklus hidup yang baru.

Meski aku telah kembali ke sofa untuk melanjutkan membaca novel Len Deighton yang aku pinjam dari perpustakaan, pandangan sekilas dari sudut mataku ke telepon membuat kembali memikirkannya. Apa sih perasaan yang perlu dipahami dalam sepuluh menit itu? Maksudku, sungguh, sepuluh menit untuk saling memahami perasaan satu sama lain?

Pikirkan, wanita itu dengan spesifik meminta waktu sepuluh menit sedari awal. Terlihat kalau dia sangat yakin dengan waktu yang dibutuhkan. Seakan-akan sembilan menit itu terlalu singkat, sedangkan sebelas menit terlalu lama. Seperti ketika membuat spaghetti yang matang dengan pas harus dilakukan dalam waktu tertentu secara tepat.

Pikiran ini berkecamuk di kepalaku, aku kehilangan fokus pada alur novel yang kubaca. Jadi aku memutuskan untuk melakukan beberapa aktivitas ringan, mungkin menyetrika satu atau dua baju. Ketika sedang kisruh, aku selalu menyetrika baju. Kebiasaan yang sudah mendarah daging.

Aku membagi proses menyetrika baju menjadi dua belas langkah: dari (1) kerah <bagian luar>, sampai (12) pergelangan tangan <sebelah kiri>. Urutannya tak pernah berubah. Satu demi satu, aku menghitung tiap langkah. Penyetrikaan tak akan benar kalau aku tak melakukan ini.

Jadi di sinilah aku, menyetrika baju ketiga, menikmati desisan uap setrika dan harum khas kain yang panas, memeriksa apakah ada kerutan sebelum menggantung tiap baju di lemari. Aku mematikan setrika dan menyimpannya di kabinet beserta papan setrikanya.

Aku merasa haus dan bergerak menuju dapur untuk mengambil air yang bersamaan dengan ini telepon berdering. Dia lagi, pikirku. Dan untuk beberapa saat aku berpikir apakah aku harus mengacuhkannya dan tetap menuju dapur. Tapi aku tak pernah tahu, aku berbalik ke ruang tengah dan mengangkat telepon. Jika ini si wanita itu lagi, aku akan berkata kalau aku sedang menyetrika dan segera kututup telepon ini.

Yang menelepon, bagaimanapun, adalah istriku. Melihat jam di atas TV, sudah pukul setengah duabelas.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya.

“Baik,” jawabku, merasa lega.

“Apa yang sedang kau kerjakan?”

“Menyetrika.”

“Ada masalah?” tanya istriku. Ada nada tegang dalam suaranya. Dia tahu kalau aku menyetrika pasti ada sesuatu yang tak beres.

“Enggak ada. Aku hanya pengen nyetrika saja. Nggak ada alasan apapun,” jawabku, memindahkan gagang telepon dari tangan kanan ke tangan kiri dan duduk di kursi. “Jadi, ada yang ingin kau sampaikan untukku?”

“Ya, ini soal pekerjaan. Ada kesempatan kerja nih.”

“Ya, ya.” timpalku.

“Kau bisa nulis puisi?”

“Puisi?” aku membalas dengan terkejut. Ada apa dengan puisi?

“Redaksi majalah tempat kenalanku bekerja membuat rubrik fiksi populer bulanan untuk cewek-cewek remaja dan mereka sedang mencari seseorang untuk dipilih membikin puisi. Mereka ingin ada puisi untuk tiap bulannya sebagai permulaan. Kerjaannya gampang dan gaji nggak terlalu buruk lah. Tentu ini hanya kerja sambilan, tapi ada kemungkinan mereka akan mengikatmu untuk urusan redaksional dan-”

“Gampang?” tukasku. “Tunggu sebentar. Aku mencari posisi di bidang hukum. Apa yang membuatmu membawa-bawa puisi segala?”

“Oke, bukankah kau bilang kau sering menulis saat masih SMA?”

“Untuk koran memang. Koran sekolah. Tim ini memenangkan pertandingan sepakbola; guru olahraga jatuh dari tangga dan harus dibawa ke rumah sakit. Hanya artikel bodoh seperti itu yang kutulis. Bukan puisi. Aku nggak bisa bikin puisi.”

“Bukan puisi betulan, semacam puisi buat cewek-cewek SMA baca. Nggak perlu bagus-bagus amat. Mereka nggak terlalu peduli apakah kau bisa menulis kayak Allen Ginsberg. Tulis saja yang kau bisa.”

“Aku juga nggak bisa bikin puisi macam begitu.” gertakku.

“Hmm,” cibir istriku. “Ini pekerjaan halal, bagaimanapun. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, kan?”

“Beberapa kesempatan kerja sedang menantiku. Keputusan akhirnya akan muncul beberapa minggu lagi. Jika itu gagal, maka aku akan memikirkan soal ini.”

“Oh? Terserah kau berarti. Coba katakan, hari apa sekarang?”

“Selasa,” aku berpikir sepersekian detik.

“Oke, jadi, bisakah kau pergi ke bank untuk membayar tagihan gas dan telepon?”

“Tentu. Aku kebetulan mau pergi belanja untuk makan malam nanti. Akan aku urus.”

“Dan apa makan malam kita?”

“Hmm, kupikir dulu,” ucapku. “Belum kepikiran. Aku rasa aku akan putuskan saat belanja nanti.”

“Kau tahu,” istriku berkata dengan nada suara baru. “Aku telah memikirkan ini. Mungkin kau nggak perlu buru-buru mencari kerja lagi.”

“Kenapa emangnya?” keluhku. Kejutan lain? Apakah tiap wanita di dunia ini mencoba membuatku senewen lewat telepon? “Kenapa aku nggak boleh mencari pekerjaan? Tiga bulan lagi kompensasi pemberhentian pekerjaanku akan ludes. Nggak ada waktu buat malas-malasan.”

“Gajiku naik, dan kerja sambilanku berjalan baik, tanpa menyebut kalau kita punya tabungan berlebih. Jadi jika kita nggak terlalu menginginkan barang mewah, kita bisa tetap makan.”

“Dan aku yang mengerjakan pekerjaan rumah?”

“Ada yang salah?”

“Aku nggak tahu,” ucapku jujur. Aku benar-benar tak tahu. “Aku harus memikirkan soal ini.”

“Coba pikir ulang saja,” yakin istriku. “Oh, ngomong-ngomong, apakah si kucing sudah balik?”

“Kucing?” Aku tertangkap basah, lalu aku sadar aku lupa sepenuhnya soal kucing sejak pagi tadi. “Nggak, belum kelihatan.”

“Bisakah kau mencari lebih jauh di sekitar perumahan? Dia sudah hilang empat hari loh.”

Aku membalas, mengalihkan gagang telepon kembali ke tangan kananku.

“Dugaanku kucing itu ada di halaman rumah kosong di ujung gang. Halaman yang ada patung kecil burung dari batu. Aku sering melihatnya di sana. Kau tahu yang kumaksud?”

“Nggak, aku enggak pernah lihat,” ucapku. “Dan sejak kapan kau keluyuran di sekitar gang itu? Belum pernah kau bilang-”

“Maaf nih, mesti udahan. Harus kerja lagi. Jangan lupa soal kucingnya, ya.”

Dan sambungan telepon terputus.

Aku masih duduk sambil menatap gagang telepon layaknya orang dungu sebelum menaruh kembali di tempatnya.

Kenapa istriku bisa tahu banyak soal gang itu? Aku tak habis pikir. Dia harus memanjat tembok batako tinggi untuk bisa sampai ke sana dari halaman kami, dan apa alasan masuk akal yang membuat dia susah-susah menuju ke sana?

Aku pergi ke dapur untuk segelar air, menyalakan radio FM, lalu memotong kukuku. Mereka sedang memainkan album baru Robert Plan. Aku mendengarkan dua lagu yang membuat kupingku panas dan segera mematikannya. Aku menuju beranda untuk mengecek wadah makan kucing; ikan kering yang kusimpan malam sebelumnya masih tak tersentuh. Menandakan kalau kucing belum kembali.

Tetap berdiri di beranda, aku menatap matahari musim semi yang terang menyoroti halaman mungil kami. Sangat susah membayangkan halaman yang tak menarik ini. Matahari menyinari halaman ini hanya beberapa saat, jadi tanahnya selalu gelap dan lembab. Tak banyak tanaman: hanya beberapa bunga biasa-biasa saja. Dan aku tak terlalu memikirkan bunga-bunga ini.

Dari cabang pohon terdekat terdengar bunyi kreaak-kreaak burung secara berkala, tajam seperti mengeratkan musim semi. “Burung Nejimaki”, kami menyebutnya. Istriku yang menamainya. Aku tak tahu disebut apa burung itu. Atau bagaimana bentuknya. Meski begitu, burung nejimaki ini selalu hinggap tiap pagi di atas pohon sekitar perumahan untuk menyambut. Untuk kami, dunia kecil kami yang sunyi, semuanya.

Saat mendengarkan bunyi burung nejimaki itu, aku berpikir. Kenapa harus susah-susah mencari kucing itu? Dan intinya, jika aku menemukannya, apa yang selanjutnya harus kulakukan? Menyeretnya pulang lalu menceramahinya? Mohon dengan sangat – Dengar, kau sudah membuat khawatir semua orang, jadi kenapa kau tak kembali pulang?

Hebat, pikirku. Sungguh hebat. Apa yang salah dengan membiarkan kucing pergi ke tempat yang ia inginkan dan melakukan apa yang ia suka? Inilah aku, umur tiga puluh, dan apa yang kukerjakan? Mencuci baju, menyiapkan makan malam, mencari kucing.

Belum begitu lama, kupikir, aku masih seorang lelaki pada umumnya. Selalu bersemangat penuh ambisi. Saat SMA, aku membaca autobiografi Clarence Darrow dan memutuskan untuk menjadi pengacara. Nilai-nilaiku juga tak terlalu buruk. Dan di tahun-tahun terakhir aku dipilih teman-teman sekelasku sebagai nominasi kedua “Calon Orang Sukses.” Aku bahkan diterima di fakultas hukum universitas ternama. Jadi kenapa aku jadi kacau begini?

Aku menempatkan sikuku di meja dapur, menopang daguku, dan berpikir: Sejak kapan jarum kompas jadi rusak dan arah hidupku kesasar begini? Tak ada yang bisa kugambarkan dengan jelas. Tak ada hambatan dengan kebijakan kampus, tak ada kekecewaan pada universitas, tak pernah sekalipun terlibat masalah dengan perempuan. Sejauh yang kuingat, aku punya kehidupan yang sangat normal. Sampai satu hari, ketika mendekati waktu kelulusan, aku tiba-tiba berpikir aku bukan lagi seorang yang sama.

Kemungkinan besar, benih-benih keretakan sudah ada sejak itu, meski masih sangat kecil. Tapi seiring waktu makin membesar saja, alhasil membawaku makin jauh pada diriku yang sebenarnya. Kalau diibaratkan dengan sistem tata surya, ini pun kalau bisa, aku sekarang berada di antah berantah antara Saturnus dan Uranus. Sedikit lebih jauh dan aku bisa dengan jelas melihat Pluto. Dan lebih jauh dari itu – lihat – apa ada ya setelah itu?

Di awal Februari, aku keluar dari pekerjaanku di firma hukum. Dan tanpa alasan jelas. Bukan karena aku jemu dengan pekerjaannya. Kuakui, pekerjaannya memang tak bisa dibilang sesuatu yang menyenangkan, tapi gajinya tak terlalu buruk dan atmosfer kantor cukup bersahabat.

Tugasku di kantor adalah orang kantoran penuh waktu.

Meski memang aku percaya aku telah mendapat pekerjaan yang baik, menurut standarku. Sangat aneh karena ini datang dari mulutku sendiri, aku menemukan aku sangat cekatan ketika menerima tugas segera di kantor itu. Aku mengerti dengan cepat, bekerja secara metodis, berpikir praktis, tak mengeluh apapun. Inilah mengapa, ketika aku memberitahu rekan seniorku bahwa aku ingin keluar, pria tua itu – pemimpin dari “- dan Anak, Pengacara Hukum” – sampai menawarkan kenaikan gaji jika aku terus bertahan bekerja.

Tapi aku sudah tak tahan. Aku tak tahu pasti mengapa aku keluar. Tak ada tujuan jelas atau apakah ada kesempatan kerja lainnya jika sudah keluar. Bayangan masa depan buruk dan pikiran untuk mencoba kembali saat berada di palang pemeriksaan sangat menakutkan. Dan di samping itu, aku sudah tidak terlalu ingin jadi seorang pengacara saat itu.

Ketika aku pulang dan memberitahu istriku saat makan malam bahwa aku berpikir untuk berhenti bekerja, yang dia katakan cuma “Tak apa.” Apa maksud dari “Tak apa” itu, aku tak tahu. Tapi hanya sampai sejauh itu saja; dia tidak menambahkan kata-kata lain lagi.

Saat aku terdiam, dia bicara. “Jika kau ingin berhenti, kenapa kau tak berhenti saja? Itu hidupmu, kau jalani seperti yang kau mau.” Ucapnya lalu menulangi ikan di piringnya dengan sumpitnya.

Istriku bekerja kantoran di sekolah desain dan itu gajinya lumayan. Beberapa kali ia mendapat tugas ilustrasi dari teman redakturnya, dan bayarannya cukup masuk akal, bagaimanapun. Aku, di bagianku, punya uang kompensasi pemberhentian yang akan cukup untuk keperluan enam bulan ke depan. Jadi jika aku tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan rumah setiap harinya, kami tetap bisa makan dan mencuci sendiri, dan siklus hidup kami tak akan terlalu berubah dibanding ketika aku masih bekerja dan punya penghasilan.

Jadi begitulah aku memutuskan berhenti bekerja.

*

Setengah satu siang aku pergi belanja seperti biasa, tas kanvas besar tersampir di pundakku. Pertama aku menuju bak untuk membayar tagihan gas dan telepon, lalu aku belanja untuk kebutuhan makan malam di supermarket, kemudian aku memesan cheeseburger dan kopi di McDonald’s.

Aku pulang dan menyimpan bahan makanan ke dalam kulkas saat kemudian telepon berdering. Terdengar sesuatu yang akan menyakiti, lewat dering yang seperti itu. Aku meninggalkan kemasan plastik tahu yang terbuka setengah di meja, menuju ruang tengah, dan mengangkat telepon.

“Selesai dengan spaghetti-nya?” Si wanita itu lagi.

“Yah, sudah beres,” ucapku. “Tapi sekarang aku harus mencari kucing.”

“Tak bisakah menunggu sepuluh menit? Cuma mencari kucing!”

“Baik, sepuluh menit, ya.”

Apa yang kulakukan? pikirku. Kenapa aku mau saja memberikan sepuluh menit waktuku untuk seorang wanita aneh?

“Sekarang, tentu saja, kita bisa saling memahami satu sama lain,” sebut wanita itu, halus dan tenang. Dari suaranya, wanita ini – siapapun dia – pasti sedang selonjoran di kursi, dengan kaki bersilang.

“Hmm, aku enggak tahu sih,” ucapku. “Beberapa orang, yang sudah sepuluh tahun bersama dan mereka masih belum bisa saling memahami satu sama lain.”

“Berani mencoba?” goda wanita itu.

Aku melepas jam tangan dan menyalakan mode stopwatch, lalu memijit tombol start.

“Kenapa harus aku?” tanyaku. “Kenapa tak menelepon orang lain saja?”

“Aku punya alasannya,” wanita itu melafalkan perlahan, seakan-akan sedang mengunyah remah-remah makanan secara terukur. “Aku tahu segalanya tentangmu.”

“Dimana? Kapan?”

“Suatu saat, di suatu tempat,” ucap wanita itu. “Tapi kenapa itu begitu penting? Yang penting itu saat ini. Benar kan? Perlu apalagi, membicarakan soal itu hanya menyia-nyiakan waktu kita. Aku tak punya banyak waktu, kau tahu.

“Beri aku bukti. Bukti kalau kau kenal aku.”

“Misalnya.”

“Berapa umurku?”

“Tiga puluh,” wanita itu menjawab dengan tepat. “Tiga puluh lebih dua bulan. Sudah puas?”

Itu membuatku tak bisa berkata-kata. Wanita itu benar-benar mengenalku. Masih memeras otakku, aku tak bisa mengenali suaranya. Aku sungguh tak bisa melupakan atau mengelirukan suara seseorang. Wajah, nama – mungkin lupa – tapi suara, tak pernah.

“Baik, sekarang, giliranmu untuk menebak yang bisa kau tahu,” usulnya. “Apa yang bisa kau bayangkan dari suaraku? Wanita seperti apa aku ini? Bisakah kau membayangkan aku? Bukankah ini keahlian khususmu?”

“Oke, kau benar,” sergahku.

“Ayo, coba dong,” desak wanita itu.

Aku menatap jam tanganku. Belum sampai semenit setengah. Aku menghela napas. Kelihatannya aku sudah memanas-manasinya, dan saat tantangan sudah diterima, tak ada jalan balik. Aku memang jago dalam permainan tebak-tebakan.

“Akhir duapuluhan, lulusan universitas, asli Tokyo, dari keluarga kelas menengah ke atas,” berondongku.

“Bukan main,” puji wanita itu, terdengar jentikan korek rokok dari telepon. Korek Cartier, terdengar dari suaranya. “Teruskan.”

“Cukup cantik. Setidaknya, menurutmu begitu. Tapi ada sesuatu yang kompleks. Kau terlalu pendek atau dadamu terlalu kecil atau semacam itu.”

“Hampir mendekati,” wanita itu cekikikan.

“Kau sudah menikah. Tapi itu tak selancar yang kau bayangkan. Ada masalah. Nggak ada wanita tanpa masalah yang bakal menelepon seorang pria dan tanpa mengenalkan nama terlebih dulu. Meski aku tak kenal kau. Setidaknya aku belum pernah ngobrol denganmu sebelumnya. Ini hanya bayang-bayangku, aku masih tak tahu siapa kau.”

“Oh, benarkah?” Ucap wanita itu dalam diam yang terukur seakan-akan hendak melancarkan ganjalan pada tengkorakku. “Kenapa kau bisa begitu yakin tentang dirimu? Mungkin ada titik buta yang fatal di suatu tempat? Jika tidak, apakah kau tak berpikir kalau kau sedang memaksa dirimu melangkah lebih jauh dari seharusnya? Seseorang dengan otak dan keahlian sepertimu.”

“Kau terlalu berharap lebih,” ucapku. “Aku enggak tahu siapa kamu, tapi aku harus katakan bahwa aku bukan manusia sempurna yang seperti kau bayangkan. Aku tak mampu menyelesaikan apapun. Yang kulakukan hanya terus memintasi jalan memutar satu dan yang lainnya.”

“Tetap saja, aku punya sesuatu untukmu. Beberapa waktu kebelakang.”

“Beberapa waktu kebelakang, katamu,” aku mendesak.

Dua menit lima puluh detik.

“Belum begitu lama. Kita tak sedang membicarakan sejarah.”

“Ya, kita sedang membicarakan sejarah,” tegasku.

Titik buta, eh? Baik, wanita itu memang benar. Di suatu tempat, di kepalaku, dalam tubuhku, dalam eksistensiku saat ini, ada semacam elemen bawah tanah yang panjang dan terlupakan yang membuatku hidupku sedikit demi sedikit keluar batas.

Bukan, tak seperti itu. Bukan lagi sedikit – tapi jauh melewati batas. Sudah tak dapat ditembus.

“Aku sedang di atas kasur sekarang,” wanita itu berkata. “Aku baru beres mandi dan tak mengenakan apapun saat ini.”

Jadi seperti itu, pikirku. Tak mengenakan apapun? Mulai terasa seperti adegan video porno saja.

“Atau kau ingin aku memakai celana dalam? Bagaimana kalau kaos kaki? Apa yang kau mau?”

“Apapun boleh. Lakukan yang kau suka,” ucapku. “Tapi jika kau tak keberatan, aku bukan jenis pria macam gitu, nggak suka hal-hal beginian lewat telepon.”

“Hanya sepuluh menit. Tak lebih dari sepuluh menit. Bukan suatu kehilangan yang harus disesalkan, kan? Aku tak butuh yang lain kok. Ini hanya itikad baik biasa. Apapun itu, jawab pertanyaan tadi. Kau ingin aku bugil saja? Atau haruskah aku mengenakan sesuatu? Aku punya segala jenis barang. Suspender dan…”

Suspender? Aku gila. Apa yang dipikirkan wanita untuk memiliki semacam suspender begitu di masa sekarang? Model untuk rumah bordil, mungkin.

“Bugil enggak apa. Dan kau nggak usah bergerak,” ucapku.

Empat menit telah berlalu.

“Bulu pubisku masih basah,” ucap wanita itu. “Aku tak mengeringkannya dengan benar. Jadi masih basah. Hangat dan oh sangat basah.”

“Dengar, jika kau tak keberatan-”

“Dan di bawah sana, sangat hangat. Seperti lelehan mentega panas. Oh sangat panas. Tak bohong. Coba tebak sedang dalam posisi apa aku sekarang? Aku mengangkat lututku dan kaki kiriku mengangkang. Membentuk pukul 10:05 jika diibaratkan aku sebuah jam.”

Aku bisa bilang dari caranya bicara bahwa dia tidak sedang mengada-ada. Dia benar-benar mengangkangkan kakinya membentuk pukul 10:05, bahwa vaginanya hangat dan basah.

“Cumbu dengan bibir. Secara lembut, dan perlahan. Lalu buka. Perlahan, ya seperti itu. Sekarang cumbu dengan lembut oleh jarimu. Oh, ya, perlahan… perlahan. Sekarang biarkan satu tanganmu meremas dada sebelah kiriku, dari bawah, angkat dengan lembut, cubit saja putingnya. Lagi dan lagi. Sampai aku bisa-”

Aku menutup telepon tanpa basa-basi. Kemudian aku merebahkan diri di atas sofa, menyalakan rokok, dan menatap langit-langit, stopwatch menunjukan lima menit dua puluh tiga detik.

Aku menutup mataku dan kegelapan pun singgah, kegelapan yang buta namun berwarna.

Apa barusan? Kenapa orang-orang tak bisa meninggalkanku sendirian dalam ketenangan?

Belum sampai sepuluh menit, telepon berdering lagi, tapi kali ini aku tak mengangkatnya. Lima belas kali berdering dan kemudian berhenti. Aku membiarkannya mati, dan gravitasi serasa runtuh berganti keheningan mendalam. Keheningan yang begitu dingin itu membatu dalam bekuan gletser lima puluh ribu tahun yang lampau. Lima belas dering telepon itu telah mengubah kualitas udara di sekitarku.

ada bola yang super keras, bagaimana menurut Anda?”

Gadis itu batuk-batuk pendek.

“Belakangan ini, aku sering memikirkan ini. Mungkin karena aku punya banyak waktu luang setiap hari. Tapi memang, aku memikirkan ini. Jika aku tak melakukan apa-apa, pikiranku selalu mengawang-awang jauh. Aku jatuh dalam pikiranku, sulit untuk mencari jalan kembali.”

Sekarang, gadis itu melepaskan jarinya dari pergelangan tanganku untuk meminum sisa minuman sodanya. Aku bisa tahu dari bunyi es dalam gelas kosong itu.

“Tenang saja. Aku terus mengawasi kucing itu. Jangan khawatir. Segera saat aku melihat Noboru Watanabe, aku akan memberitahumu. Jadi kau bisa menutup matamu. Noboru Watanabe pasti lewat sini beberapa menit lagi. Maksudku, semua kucing punya jalur yang sama, jadi dia bakal muncul. Mari membayangkan saat kita menunggunya. Seperti, Noboru Watanabe mendekat, makin dekat. Dia muncul dari balik semak-semak, menyelinap di bawah tembok, berhenti lalu membaui bunga-bunga, makin dekat setiap menitnya. Coba dan bayangkan dia.”

Aku mengikutinya dan mencoba melihat kucing itu dalam mata batinku, tapi semua yang bisa kucapai hanya gambaran kucing yang sangat kabur. Benderang matahari membakar melalui pelupuk mataku, memencarkan area gelap pada citraanku; di samping itu, bagaimana pun aku mencoba aku tak bisa mengingat wajah mungil berbulu itu seakurat mungkin. Noboru Watanabe yang kubayangkan adalah citraan yang gagal, bisa dibilang menyimpang dan tak wajar. Hanya suaranya saja; yang lain-lain tak ada. Aku bahkan tak ingat bagaimana cara dia berjalan.

Gadis itu meletakan kembali jarinya di pergelangan tanganku sekali lagi dan kali ini menggambar suatu pola. Diagram aneh tentang bentuk tak tentu. Saat dia menggambari bagan di pergelangan tanganku, bersamaan dengan itu aku merasakan sepenuhnya beragam kegelapan menyusup ke kesadaranku. Aku pasti jatuh tertidur, pikirku. Bukan karena aku mengantuk, tapi sesuatu memberitahuku bahwa aku tak bisa mengelak dari sesuatu ini. Tubuhku terasa berat di atas lengkungan kanvas kursi.

Di tengah-tengah naungan kegelapan ini, sebuah gambaran jelas dari keempat kaki Noboru Watanabe muncul di kepalaku. Empat cakar coklat mungil dengan bantalan empuk pada telapaknya. Tanpa bersuara, dia berjalan dengan lesu di sebuah tanah lapang.

Tanah lapang apa? Dimana?

Aku tak bisa membayangkannya.

Kemungkinan besar kau punya sebuah titik buta di suatu tempat? ucap wanita itu lembut.

*

Aku terbangun dan mendapati diriku sendirian. Yang pergi adalah gadis itu yang berbaring di kursi di sampingku. Handuk dan rokok juga majalah-majalah masih ada di tempat, tapi minuman soda dan radio pemutar kaset sudah tak ada.

Matahari sudah condong di barat dan diriku sampai pergelangan kakiku berada dalam bayang-bayang pohon pinus. Tulisan di jam tanganku menunjukan pukul 3:40. Aku menggeleng kepalaku beberapa kali seakan menggoyang-goyang kaleng kosong, bangkit dari kursi, dan melihat ke sekeliling. Semuanya masih sama seperti saat aku pertama melihatnya. Halaman rumput yang lebar, kolam yang mengering, pagar, patung burung, bunga-bunga kecil, antena TV, tak ada kucing. Tak ada si gadis.

Aku mengempaskan diriku ke atas rumput yang terbayangi dan melarikan tanganku ke rumput hijau, sebelah mata melihat jalur kucing, sementara aku menunggu gadis itu untuk kembali. Sepuluh menit kemudian, masih tak ada tanda baik dari kucing atau gadis itu. Bahkan tak ada sesuatu yang beranjak. Aku dibuat bingung untuk melakukan apa selanjutnya. Aku merasa aku sudah melakukan sesuatu yang buruk saat tidur tadi.

Aku berdiri lagi dan menatap rumah itu. Tapi masih tak ada tanda siapa pun di sana. Hanya sinar matahari dari barat yang menyinari jendela. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali menerobos lagi ke gang dan mengikuti jalan pulang. Jadi aku tidak menemukan kucingnya. Baiklah, setidaknya aku sudah mencoba.

*

Kembali di rumah. Aku membawa masuk cucian kering dan melempar semuanya lalu membuat makanan sederhana. Kemudian aku merebahkan diriku di atas lantai ruang tengah, punggungku bersandar di tembok, untuk membaca koran siang. Pukul 5:30, telepon berdering dua belas kali, tapi aku tidak mengangkatnya. Setelah dering berhenti, kekosongan berkepanjangan melayang-layang dalam ruang gelap debu yang mengambang. Jam dinding di atas TV mencoreng panel tak terlihat dalam ruang dengan cakar rapuhnya. Dunia ini hanyalah mainan yang diputar, pikirku. Sekali tiap hari burung nejimaki akan muncul dan memutar pegas dunia ini. Sendiri dalam rumah menyenangkan ini, tempat aku menua ini, sebuah bola pucat kematian mengembang di dalam diriku. Meski aku tidur di antah berantah antara Saturnus dan Uranus sekali pun, burung nejimaki di mana pun terus sibuk memenuhi tugasnya.

Aku mempertimbangkan untuk menulis puisi tentang burung nejimaki ini. Tapi tidak ada baris pertama yang terpikirkan. Di samping itu, aku ragu kalau anak-anak perempuan SMA akan tertarik untuk membaca puisi tentang burung nejimaki. Mereka bahkan tak tahu kalau burung nejimaki itu sungguh ada.

*

Sudah pukul tujuh tiga puluh ketika istriku pulang.

“Maaf, aku pulang telat,” dia meminta maaf. “Aku harus mati-matian mengurus catatan kuliah seorang murid. Perempuan yang kerja sampingan itu sungguh lelet, sehingga aku yang kena getahnya.”

“Jangan dipikirkan,” kataku. Lalu aku melangkah menuju dapur, memasak sepotong ikan dengan mentega, dan menyiapkan salad dan sup miso. Sementara itu, istriku membaca koran sore di meja dapur.

“Kau tidak di rumah jam setengah enam ya?” tanyanya. “Aku mencoba menghubungimu untuk bilang kalau aku bakal telat.”

“Aku kehabisan mentega jadi aku keluar untuk membeli,” aku berbohong.

“Kau ingat untuk pergi ke bank?”

“Tentu lah,” jawabku.

“Kalau soal kucing?”

“Belum ketemu.”

“Oh,” timpal istriku.

*

Aku menyembul keluar sehabis mandi setelah makan malam dan mendapati istriku duduk sendirian di ruang tengah yang gelap. Aku memakai kaos abu-abu dan meraba-raba dalam gelap agar bisa sampai di tempat istriku teronggok seperti barang-barang. Dia terlihat seperti seorang yang sangat kehilangan. Jika saja mereka menempatkannya di tempat lain, mungkin saja dia bisa terlihat sedikit bahagia.

Mengeringkan rambutku dengan handuk, aku duduk di sofa di seberangnya.

“Ada masalah apa?” tanyaku.

“Kucing itu sudah mati, aku tahu,” ucap istriku.

“Ayolah,” protesku. “Kucing itu cuma mau jalan-jalan. Sebentar lagi juga dia bakal lapar dan kembali pulang. Hal ini pernah terjadi sebelumnya, kau ingat kan? Saat kita masih tinggal di Koenji-”

“Kali ini berbeda. Aku bisa merasakannya. Kucing itu mati dan membusuk di rerumputan. Kau mencarinya di halaman rumah kosong itu kan?”

“Hey, hentikan. Itu memang rumah kosong, tapi itu tetap rumah orang. Aku enggak mau masuk tanpa izin.”

“Kau membunuhnya!” tuduh istriku.

Aku menghela nafas dan menyeka kepalaku dengan handuk.

“Kau membunuhnya dengan tatapanmu itu!” dia mengulang dalam kegelapan.

“Bagaimana bisa?” belaku. “Kucing itu menghilang karena keinginannya. Bukan salahku. Kau harus tahu itu.”

“Kau! Kau gak pernah suka kucing itu!”

“Oke, memang iya,” aku mengaku. “Setidaknya aku enggak segila kau terhadap kucing. Tetap, aku ga bakal menyiksanya. Aku kasih makan tiap hari. Meski aku gak terpikat dengan si mungil celaka itu, bukan berarti aku akan membunuhnya. Berkata seperti ini dan aku jadi ingin membunuh setengah umat manusia di bumi ini.”

“Baik, memang kau,” istriku memberi vonis. “Memang kamu. Selalu, selalu seperti ini. Kau membunuh semuanya tanpa perlu mengayunkan tanganmu.”

Aku akan balas menghardik tapi dia mulai menangis. Aku menghentikan ucapanku dan melempar handuk ke keranjang kamar mandi, pergi ke dapur, mengambil bir dari kulkas, dan menyesapnya. Hari yang begitu tak masuk akal! Satu hari yang tak masuk akal, dari bulan yang tak masuk akal, dalam tahun yang tak masuk akal.

Noboru Watanabe, pergi kemana kau?, pikirku. Apakah burung nejimaki memutar pegasmu?

Ini hanya sebuah puisi biasa:

 Noboru Watanabe

Kemana kau pergi?

Apakah burung nejimaki

Memutar pegasmu?

Aku belum menghabiskan setengah birku saat telepon mulai berdering.

“Bisakah kau mengangkatnya?” aku berteriak ke kegelapan ruang tengah.

“Tak mau! Angkat saja sendiri,” balas istriku.

“Aku enggak mau mengangkatnya,” kataku.

Tak ada yang membalasnya, dan telepon terus berdering. Dering itu menggegerkan debu yang menempel sehingga bertebaran di dalam gelap. Baik aku atau istriku tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku meminum birku, istriku terus tersedu-sedu. Sudah dua puluh kali berdering sampai aku berhenti menghitung dan membiarkan telepon tetap berdering. Kau tak bisa terus menghitung selamanya.

***

NB: Penerjemah (Arif Abdurrahman) menggunakan istilah “Burung Nejimaki” untuk “Wind-Up Bird”, yang berarti burung mainan yang ada motor pegas pemutar di bagian belakangnya.

Diterjemahkan dari “Wind-Up Bird and Tuesday’s Women” yang ada dalam kumcer The Elephant Vanished. Cerpen Haruki Murakami yang kemudian menjadi bab pertama dari novel The Wind-Up Bird Chronicle.

Sumber: https://yeaharip.com

Cerpen Haruki Murakami yang lain bisa dibaca di sini.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *