Bawuk, Cerita Umar Kayam

BAWUK
Karya: UMAR KAYAM

 I

SURAT ITU datang pada satu senja. Seorang anak kecil dengan mengendarai sepeda dengan tergesa-gesa memberikan surat itu kepada Nyonya Suryo tanpa menunggu jawaban atau pesan. Waktu surat itu dibuka dan dibaca barulah Nyonya Suryo tahu bahwa surat itu dari Bawuk. Sementara itu anak yang mengantar surat sudah terlalu jauh pergi untuk bisa ditanya bagaimana surat itu bisa dibawa anak itu. Surat itu sangat pendek. Hanya terdiri dari tiga kalimat yang juga pendek-pendek dan sederhana susunannya. “Akan datang Sabtu malam ini. Wowok dan Ninuk saya bawa. Sudilah ibu selanjutnya menjaga mereka. Bawuk.”

Alangkah aneh surat begitu datang dari Bawuk, pikir Nyonya Suryo. Aneh? Bukan, bukan aneh. Lebih tepat asing. Alangkah asing surat begitu datang dari Bawuk, pikir Nyonya Suryo. Asing sekali. Kata-kata yang membentuk kalimatkalimatnya begitu pendek-pendek dan sederhana dan kering dan apa adanya. Begitu bukan nada Bawuk. Bawuk yang dikenalnya selama tiga puluh lima tahun adalah perempuan periang, murah dengan kata-kata dan selalu memberi nada yang hiruk-pikuk dalam surat-suratnya. Surat-suratnya dulu selalu penuh dengan cerita-cerita tambahan yang bercanda tentang tetangga-tetangganya, teman-teman sejawatnya di kantor, serta berbagai masakan dan jajan di kotanya, baru kemudian maksud yang sesungguhnya dari surat itu. Itupun hanya beberapa kalimat saja untuk kemudian ditambah lagi dengan cerita-cerita omong kosong lainnya yang pada pendapatnya masih tercecer dan penting untuk ditambahkan. Tidak satu pun dari cerita-cerita tambahannya itu penting untuk diketahui serta ada manfaatnya yang langsung bagi pembaca suratnya. Kebanyakan dari pribadi-pribadi yang dipergunjingkan tidak dikenal bahkan kemungkinan besar tidak akan ditemui selama hidupnya oleh pembaca suratnya. Tetapi justru bumbu-bumbu omong kosong itulah yang membuat surat-surat Bawuk menarik dan banyak membuat kangen saudara dan kawan-kawannya. Sebab meskipun suratsurat itu penuh dengan pergunjingan yang seru, nadanya selalu tidak jahat, penuh humor bahkan penuh pengertian yang menakjubkan tentang hubungan antar manusia. Di luar hubungan surat-menyurat, Nyonya Suryo mengenal anaknya yang paling muda itu sebagai anaknya yang paling ribut tetapi juga paling mengasyikkan, paling cerdas dan pemurah. Waktu kelima anaknya masih kecil, Nyonya Suryo ingat bagaimana setiap pagi mereka naik dokar ke sekolah dari Karangrandu ke M. Jarak yang mereka tempuh setiap hari adalah kurang lebih tiga puluh kilometer pulang-pergi. Perjalanan yang begitu panjang yang mesti dilakukan setiap hari pasti sudah akan membosankan buat anak-anak itu bila Bawuk tidak ikut di dalamnya. Di dalam dokar akan diganggunya kakakkakaknya dengan berbagai pertanyaan mulai dari pelajaran kakak-kakaknya di sekolah hingga segala hal yang ditemuinya di jalan. Dia akan menuntut agar kakak-kakaknya menuruti kemauannya. Kalau tidak bertanya, Bawuk bercerita tentang apa yang terjadi di kelasnya, tentang Juffrouw Dijksma yang gemuk. Tentang hopyes yang dibagikan, tentang kawankawannya, Margriet dan Marijke, si kembar anak tuan besar pabrik Manis Madu, dan segala apa lainnya yang terjadi di kelasnya. Di rumah hal itu akan diulanginya lagi. Ayah-ibunya, pembantu-pembantunya semua seisi rumah mesti mengetahuinya. Maka akan hiduplah kembali apa yang terjadi di sekolah Bawuk di rumah keluarga Suryo, setiap kali Bawuk bercerita tentang itu. Menurut Bawuk seisi rumah juga harus tahu nyanyian apa yang diajarkan Juffrouw Dijksma di kelas. Pembantu-pembantu rumah juga termasuk mBok Inem yang sudah tau serta Sarpan kusir dokar harus mau diajari segala nyanyian Belanda yang dipelajari Bawuk di sekolah.

“Ayo mbok, ayo Pan. Ik ken een kleine officier ….. Lho, jangan kelene opisir. Klei….. ne. Of….. fi…… cieieierrrr. Ayo mbok, ayo Pan. Waaaah, bodo ya kalian.”

Kalau pembantu-pembantu itu sudah kecapekan dan tertawa terkekeh akan kesulitan mereka melipat-lipat lidah mereka menuruti kemauan Bawuk, maka mereka akan harus mendapat hukuman ganti-berganti menggendong Bawuk mengelilingi rumah.

Kakak-kakaknya meskipun cerdas serta cukup menunjukkan kegairahan serta kegembiraan hidup toh terlalu lain dari Bawuk. Keempat saudaranya itu jauh lebih mirip satu dengan lainnya daripada dengan Bawuk. Mereka adalah anak-anak bapaknya. Sebagai anak-anak seorang onder tidak ada yang lebih memenuhi syarat daripada keempat anak-anak itu. Disiplin, patuh, serius, efisien dan efektif. Tulisan tangan mereka bagus dan rapi. Jadwal harian mereka, mereka jalankan dengan ketepatan jam Westminster besar yang berdiri di pojok ruang tamu. Huiswerk mereka selalu mereka kerjakan dengan teliti dan tekun, serta selesai pada waktunya. Dari kelas ke kelas, guru-guru mereka selalu memberi surat-surat yang penuh dengan pujian tentang anak-anak itu. Mereka adalah anakanak teladan di antara anak-anak pangrehpraja serta kampiun sekolahnya.

Dan Bawuk? Bawuk adalah anak yang patuh. Tetapi pengertiannya tentang sifat-sifat baik seperti disiplin dan efisien nampaknya tidak selalu sama dengan kakak-kakaknya. Disiplin dan efisiensi Bawuk bukanlah disiplin dan efisiensi jam Westminster tetapi kelincahan burung kepodang di pagi hari. Meloncat-loncat, berkicau-kicau tetapi toh selalu tidak pernah gagal menyelesaikan tugas hidupnya mengumpulkan makanan buat anak-anaknya di sarang. Begitulah Bawuk. Pekerjaan rumah selalu dia selesaikan menurut waktu yang dipilihnya sendiri. Selalu selesai dengan baik, tetapi tidak selalu sama dengan irama saudara-saudaranya. Kadangkadang bila keempat kakaknya menyelesaikan pekerjaan rumahnya di waktu sore hari, Bawuk enak-enakan main di belakang kandang kuda makan tebu dengan anak mandor tebu yang sering main dengan anak Sarpan. Atau kadang-kadang dia enak tiduran di bale-bale mBok Inem mendengarkan cerita-cerita Jawa lama seperti Timun Emas, Raden Panji atau Ajisaka. Sebagai gantinya dia akan bercerita kepada mBok Inem tentang Rood-kapje dan Sneeuwitje dan juga Hans en Grietje. Sebagai onder teladan yang dikasihi oleh bupati dan wedana karena prestasi kerjanya yang tinggi, dan dengan demikian juga harus menjaga gengsinya dengan sebaik-baiknya, ayah Bawuk sesungguhnya tidak berapa setuju melihat kecenderungan “bohemian” anaknya itu. Tiduran di bale-bale dengan seorang bediende, mainmain dengan anak desa di belakang kandang kuda adalah bukan kebiasaan yang baik buat seorang anak onder yang diusahakan mengecap pendidikan europeesch yang baik. Tetapi tiap kali ayah-ibunya berusaha menegor Bawuk tentang hal ini, selalu saja dengan cara yang khas-Bawuk, Bawuk berhasil menyakinkan orangtuanya bahwa apa yang dikerjakannya itu tidak apa-apa. Dan anehnya, ayahnya yang bisa begitu keras terhadap bawahannya bahkan juga terhadap kakak-kakak Bawuk, seringkali harus banyak mengalah kepada anaknya yang bungsu ini. Matanya yang bulat besar, tertawanya yang berderai serta kebijakan kata-katanya (yang memang dimilikinya sejak dia kecil), adalah gabungan unsurunsur yang sangat sukar untuk ditundukkan. Sifatnya yang manja dan pemurah adalah juga salah satu senjatanya yang ampuh. Dengan royalnya bapak-ibunya akan diciumnya pada pipi, mulut, rambut, telinga dan leher mereka sampai mereka berteriak-teriak kegelian, setiap kali Bawuk mendapatkan apa yang dia minta dari orangtuanya. “Terimakasih, pappie! Terima kasih, mammie!” Dan kembali kedua orang tuanya itu akan digumul-gumulnya sampai mereka kembali membentakbentak dengan penuh kesayangan.

Nyonya Suryo tersenyum. Tiba-tiba dia ingat satu peristiwa di mana sifat-sifat Bawuk yang pemurah dan perasa menonjol jauh lebih nyata dari kakak-kakaknya. Waktu itu Bawuk sudah duduk di kelas lima ELS*). Suatu sore bapak dan ibunya mendapat undangan dari kajeng bupati buat pesta ulang tahun bupati di kediaman kanjengan. Pesta itu boleh dikatakan besar-besaran juga. Semua onder dan wedana di daerah kabupaten itu mendapat undangan. Juga tuan kontrolir, tuan-tuan besar kedua pabrik gula yang ada di kabupaten itu semua mendapat undangan. Makanan berlimpah-limpah seperti air mengalir, mbanyu-mili kata orang Jawa. Brendi, ciu, jenewer juga tidak hentinya berpindah tempat dari botolbotol ke gelas-gelas para tamu. Cerutu Regal dan Ritmeester mengepul dan bau eau de cologne Boldoot di sana-sini, berselang-seling di antara tertawa yang berderai dan suara gamelan. Waktu tuan-tuan Belanda sudah minta pamit dan deru mobil serta andong preman mereka telah lenyap, dimulailah acara puncak pesta malam itu. Kesukan dan tayuban. Main kartu cina dan joget pergaulan. Kesukan atau main judi kecil-kecilan ini (bisa juga disebut ceki atau pei) adalah satu kegemaran yang mesti diikuti oleh para priyayi waktu itu bila dia ingin diterima dan “dipandang” oleh masyarakat. Tuan dan Nyonya Suryo meskipun bukan pecandu kesukan ini, toh bisa juga main dengan baik dan bahkan kadang-kadang kuat juga main sampai fajar datang. Tuan Suryo sesungguhnya lebih suka main bridge dan billiard di soos pabrik bersama administratur dan dokter gula daripada main kartu cina ini. Tetapi kesukan toh harus lebih banyak dia mainkan. Kesukan baginya adalah lebih banyak dia mainkan. Kesukan baginya adalah lebih merupakan “bagian dari upacara” yang mesti dia penuhi dalam fungsinya sebagai seorang onder dan priyayi yang terpandang. Lagi pula bupati yang sudah tua itu adalah seorang pecandu kesukan. Dan main kartu bersama bupati, dalam satu meja adalah satu privilegeI. Seorang onderI yang belum tua, cukup intelek karena tamatan Mosvia, suka kesukan dan cerutu Regel adalah unsur-unsur persyaratan yang paling positif untuk calon wedana. Tayuban adalah satu kesenangan yang menuntut lebih banyak lagi sikap serta citarasa yang khusus. Untuk ini dibutuhkan perwatakan serta “tipe” yang khas lagi. Dia mestilah seorang Casanova yang gembira, lincah dan luwes. Dia mestilah seorang yang tidak kaku dan ragu-ragu membuat gerakan-gerakan tandak apalagi malumalu dalam menghadapi liak-liuk si ledek atau ronggeng yang penuh dengan isyarat serta senyum yang sensuil itu. Pada saat-saat tertentu, pada jatuhnya sesuatu pukulan gong, si penayub diharapkan oleh ledek (dan juga oleh para hadirin) untuk mencium pipi si ledek. Dan bila malam telah larut, bau mulut para penayub itu telah membusa dengan jenewer dam whisky, kendang telah disentakkan dengan suara yang sugestif, si penayub boleh saja menarik si ledek masuk ke dalam kamar.

Tuan Suryo bukanlah seorang penayub. Atau paling sedikit bukan seorang penayub yang baik. Dia tidak memiliki “flair” yang diperlukan buat itu. Sekali dua kali pernah juga dia terpaksa turun ke tengah gelanggang karena wedana dan bupati menyuruhnya. Tetapi itu dilakukan untuk sekadar menyenangkan wedana bupati. Dengan menjoget sekali dua kali putaran dengan gerakan-gerakan yang cuma lumayan saja luwesnya dia sudah akan menyerahkan sampurnya kepada orang lain. Wedana dan bupati akan berteriak-teriak kegirangan menertawai kekikukan onder-nya menayub. “Onder! ‘Ni lihat cara menayub yang betul !” maka bupati akan turun ke gelanggang dan dengan gaya yang betul-betul menarik dia akan menarik-nari berputar-putar mengitari si ledek diiringi sorak-sorai para hadirin. “Cup, cup, cuuup !” begitulah yang hadir akan menyoraki yang berarti menganjurkan agar si penayub mulai menyerempet pipi si ledek.

Malam itu, pada waktu deru mobil tuan-tuan Belanda telah menghilang, meja-meja judi segera disusun dan dipenuhi oleh tamu-tamu. Nyonya Suryo telah menempati tempatnya satu meja dengan isti onder Karangwuni, nyonya wedana dan beberapa nyonya penting lainnya. Demikian juga tuan Suryo telah mulai asyik main satu meja dengan wedana, kanjeng bupati dan lain-lainnya.

Sementara itu di gelanggang tari, di pendopo, gamelan telah mulai dipukul. Seorang penari telah mulai menarikan satu tarian gamyong. Gerakannya luwes, tangan-tangannya yang melengkung seperti gondewa panah itu melentur-lentur dengan indahnya. Sebentar-sebentar mulutnya menyimpulkan senyum serta sekali dua kali matanya melirik ke meja-meja judi di mana para priyayi sedang pada asyik kesukan. Sebentar saja gerak-gerik sang penari telah mulai menarik perhatian orang banyak. Itulah Prenjak dari Ngadirojo, penari dan ledek tayub terkenal yang spesial didatangkan untuk meramaikan malam perayaan itu.

“Onder, itu lho Prenjak sudah mulai melirik kamu !” “

Ah, bukan sama saya tapi sama kanjeng. Masa ondernya dulu “

Dan kanjeng bupati tertawa terkekeh-kekeh, sangat menghargai basa-basi klise dari ondernya itu. “Baiklah nanti kalau sudah mulai menayub, dari saya sampur akan saya lempar kepada wedana dan dari wedana kepada kau, onder! Awas kalau kau tidak berani terus menyelesaikan. Ini perintah van de kanjeng en van de, eh het, eh de …………, jarige lho. Heh, heh, heh, heh.”

Dan Nyonya Suryo yang hanya mengetahui percakapan ini seminggu kemudian dari suaminya malam itu tiba-tiba saja melihat suaminya telah berputar-putar dengan asyiknya menayub dengan Si Prenjak. “Ciu gambar manuk, arep melu ora entuk. Ha-e, ha-e hhaaaaa-e !” begitulah potongan-potongan nyanyian yang terngiang di telinga Nyonya Suryo. Dia melihat suaminya makin lama makin asyik menayub diiringi tepukan tangan para hadirin. Cup, cup, cup, cuuuuup. Dan untuk pertama kalinya selama Nyonya Suryo menjadi Nyonya Suryo dia melihat suaminya mencium pipi seorang ledek di depan orang banyak. Sebagai seorang istri priyayi sejati tentulah Nyonya Suryo harus bisa menyembunyikan apa yang terasa di dalam hatinya. Dengan tenangnya dia terus melempar kartu kartunya kemeja, seakan-akan apa yang terjadi di tengah pendopo itu adalah sesuatu yang sudah routine baginya. Dan pada waktu suaminya diiringi sorakan tamu-tamu mulai menyeret Prenjak ke belakang ke kamar yang sudah tersedia, Nyonya Suryo dengan tenangnya tetap terus bermain kartu sampai selesai. Waktu jam telah menunjukkan menjelang jam tiga pagi. Dengan tenang dan penuh basa-basi seperti biasanya Nyonya Suryo mohon diri dari nyonya bupati dan sendirian di dalam dokarnya diantar pulang oleh Sarpan. Juga waktu sampai di onderan pada jam lima pagi tidak lupa diperintahkannya Sarpan untuk kembali ke kanjengan menjemput Tuan Suryo bila Tuan Suryo telah selesai dan siap untuk pulang. Waktu pagi mulai merekah, ayam hutan di kandang belakang rumah mulai berkokok dan anak-anaknya mulai ribut minta nasi goreng kepada Inem, Nyonya Suryo masih menggeletak di tempat tidurnya. Kepalanya terasa pening, dadanya sesak dan bantalnya basah. Apa benar yang mendorong suaminya menayub lebih dari biasanya, pikir Nyonya Suryo. Begitu berlebih-lebihan sampai-sampai pada penarikan Prenjak ke dalam kamar. Begitu inginkah suaminya menyenangkan wedana dan kanjeng, agar promosi menjadi wedana lekas menjadi kenyataan? Dan dengan begitu kesempatan untuk mencarikan beurs buat anak-anaknya ke negeri Belanda menjadi lebih besar lagi? Suaminya begitu sering membicarakan hari depan anak-anaknya akhir-akhir itu. Waktu Bawuk pelan-pelan masuk ke dalam kamar, Nyonya Suryo buru-buru memejamkan matanya.

“Mamie, sakit, ya? Kok jam segini belum keluar kamar?”

Nyonya Suryo menggeliat. “Mamie capek, Wuk. Jam tiga baru pulang.”

“Pantas pucat betul mamie. Lho, kok matanya merah semua. Kurang tidur ya mamie?”

Nyonya Suryo Cuma mengangguk.

“Biar Inem kocok telor mentah sama merica sama madu, ya?”

Nyonya Suryo mengangguk.

“Sama kopi hitam juga ? Mamie kalau capek suka betul dibikinkan itu semua.”

“Betul, Wuk. Lekas ‘dah mintakan itu semua sama Inem.”

“Papie masih di kanjengan kesukan sama oom Wedana?”

“Sebentar lagi ‘kan pulang.”

Dan waktu Bawuk pergi ke belakang, memang segera terdengar derap kuda delman masuk ke halaman rumah. Kokok ayam hutan di dalam kandang terdengar menyambut. Tapi kemudian juga terngiang: ciu gambar manuk arep melu ora entuk…… hhaaeee……………… cup-cup-cup-cuuup.

Seketika kepala Nyonya Suryo pening lagi dan matanya terasa basah lagi.

Tidak lama kemudian terdengar bunyi selop suaminya yang dibarengi dengan derak-derak tongkatnya memukul lantai.

“Paan! Ayo lekas kuda diganti tapalnya. Masa kuda onderan larinya pincang kaya anak kampung kudisan. Roda-roda dokar juga diminyaki! Suaranya keriat-keriut kaya gerobak desa.”

Dan dari kejauhan Sarpan menjawab ketakutan: “Ingggiiih.”

Kembali derap selopnya terdengar. Dan suara bising anak-anaknya tiba-tiba saja jadi lenyap.

“Neeem! Ineeem!”

“Dalem, ndoro!”

“Ayo Si Manis disirami! Biasanya kokohnya nyaring, kali ini kok kaya tersumbat kodok tenggorokan-nya. Masa ayam onderan suaranya kaya bangau sawah.”

“Inggiiiih.”

Nyonya Suryo ingat baru kemarin Si Manis dielus dengan air, dan lehernya diusap-usap. Tapi Nyonya Suryo juga tahu dalam keadaan begitu siapakah yang berani mengingatkan ndoro-onder.

 “Bawuk! Bawa apa itu!”

“Ssstt ! Pappie jangan keras-keras. Mammie sakit.”

“Heh? Sakit?”

“Capek. Pusing. Pucat.”

“Di mana mammiemu? Di kamar?”

“Ya, tolonglah, pappie. Bawa kopi panas sama telor kocok ini buat mammie, ya? Tolong bilang sama mammie, ini semua Bawuk lho yang bikin.”

“Baik, baik.”

Dan waktu langkah kaki tuan Suryo terdengar terjingkat-jingkat, lirih tidak lagi keras, serta geriut pintu kamar juga lemah didorong suaminya, Nyonya Suryo tahu tanpa kata-kata itulah cara suaminya menyesal dan meminta maaf.

“Mam. Mam. Capek? Kurang enak badanmu? Ini loh Bawuk bikin kopi panas dan telor kocok.”

Dengan tersenyum lemah Nyonya Suryo menerima kopi dan telor kocok itu. Matanya tidak terasa basah lagi.

Nyonya Suryo melipat-lipat surat Bawuk yang pendek itu. Kenapakah pada senja itu, pada waktu dia mencoba mengenang anknya yang bungsu itu justru masa kanak-kanaknya yang paling jelas terkenang? Mungkin karena masa itu adalah masa dia paling merasa memiliki anak-anaknya itu. Masa dia sebagai ibu paling dapat mengenal watak dan pembawaan anak-anaknya itu, waktu anaknya yang paling bungsu tiba-tiba saja muncul dari tempat persembunyiannya dan memberitahukan akan menyerahkan cucu-cucunya, nalurinya sebagai ibu merasakan satu bahaya sedang mengancam salah satu miliknya yang paling berharga tergugah. Dalam keadaan seperti itu terasalah suatu kecenderungan yang keras untuk mengendapkan serta meresapkan segala yang manis dan menyenangkan dari miliknya itu. Seakan-akan nalurinya tibatiba saja berdegup memberitahunya bahwa miliknya itu akan merucut dari jangkauannya. Jangkauan yang dalam waktu sepuluh atau lima belas tahun terakhir ini terasa betul jauhnya.

Nyonya Suryo mengambil keputusan bahwa semua anakanaknya mesti hadir pada waktu Bawuk datang menyerahkan anak-anaknya itu. Masih ada waktu beberapa hari untuk mendatangkan mereka semua. Sesaat dia bimbang. Apakah itu merupakan keputusan yang baik. Apakah itu tidak akan menimbulkan kekacauan perasaan dan keteganganketegangan hubungan antara anak-anak beserta suami dan istri mereka.

Hubungan Bawuk beserta suaminya meskipun baik terhadap suami atau istri kakak-kakaknya toh tidak bisa dikatakan mesra dekat seperti hubungan Bawuk sendiri terhadap kakakkakaknya. Hassan, suami Bawuk, selalu dianggap terlalu keras dan tinggi hati oleh iparnya. Keterusterangan serta ketajaman pikirannya selalu menimbulkan perasaan yang kurang enak kepada saudara-saudaranya itu. Dan aktivitasnya sebagai seorang komunis, pengaruhnya yang sangat dalam pada pemikiran Bawuk, serta kemudian cara mereka bersamasama menghilang pada akhir Oktober, itu semua menambah perasaan kurang senang di antara keluarga itu. Tetapi kemudian Nyonya Suryo berpikir bahwa bagaimanapun Bawuk selalu mendapatkan tempat yang istimewa dalam lingkaran keluarga Suryo. Bagaimanapun Bawuk mesti ditemukan dengan saudara-saudaranya.

Keputusan Nyonya Suryo tetap. Dia tahu bahwa andaikata suaminya masih hidup pasti dia juga akan melakukan hal yang sama.


Baca juga; Cerpen Umar Kayam, Seribu Kunang-kunang di Manhattan

II

HARI SABTU tiba. Senja telah menurun. Mereka telah berada di rumah Nyonya Suryo, rumah induk tempat berkumpul seluruh keluarga. Sejak dua hari terakhir itu mereka berdatangan. Sumi, anaknya yang tertua dan Sun, suaminya seorang brigjen AD, datang dari Jakarta. Mamok, anaknya yang kedua, seorang insinyur sipil, dosen di ITB, datang dari Bandung. Isterinya yang sedang mengandung tidak dibawanya. Syul, anaknya yang ketiga, datang dari Jakarta bersama Sumi dan Sun. Suaminya yang menjadi dirjen salah satu departemen tidak dapat datang. Kemudian Tarto, anaknya yang ke empat, 33 yang menjadi dosen di Gajah Mada datang bersama istrinya, Tini, dari Yogya.

Mereka telah tahu untuk apa mereka datang. Ibu mereka telah menjelaskan.

“Aku tidak tahu bagaimana keadaan Bawuk yang sesungguhnya sekarang. Juga tentang rencananya selanjutnya. Yang kita ketahui Cuma maksudnya untuk menitipkan anakanaknya. Apapun yang akan menjadi rencananya, mari kita coba tolong bersama-sama.”

Mereka terdiam. Tidak seorang pun tergesa-gesa memberikan pendapatnya.

Masing-masing sedang mencoba menggambarkan keadaan Bawuk. Keadaan badannya? Masihkah semampai, sehat, sintal berisi seperti dahulu? Semangat dan kegairahannya? Masihkah penuh vitalitas dan optimisme seperti biasanya? Tertawanya masih berderai dan sopan? Dan anak-anaknya….

Sebuah becak berhenti di depan rumah pada waktu hari mulai menjadi gelap. Itulah mereka. Bawuk dan anak-anaknya. Di tangannya dijinjingnya sebuah kopor dan sebuah tas kecil. Kedua anaknya berjalan bergandengan, erat-erat memegang baju ibunya.

Cara Bawuk datang seperti itu, sama sekali tidak diduga oleh ibu dan saudara-saudaranya. Sebelumnya mereka memperhitungkan Bawuk akan masuk ke rumah itu bila malam telah turun dan tidak sebisa seperti pada senja itu. Tetapi kemudian sesudah Nyonya Suryo melihat bagaimana dengan tenangnya Bawuk turun dari becaknya, membayarnya serta berjalan menggandeng anak-anaknya dengan langkah yang wajar, tahulah Nyonya Suryo bagaimana cerdik sesungguhnya anaknya itu.

Bawuk telah memilih cara itu karena cara itulah yang paling tidak menimbulkan curiga orang. Sebab siapakah dari mereka yang lewat di depan rumah serta tetanggatetangga akan menaruh syak terhadap satu becak yang berhenti dengan penumpang seorang ibu dan dua orang anak? Siapakah yang akan menduga bahwa yang ada di becak itu adalah Nyonya Hassan, isteri tokoh komunis kota S yang sering disebut-sebut Aidit sebagai ahli pemuda yang sangat berbakat, yang pada akhir bulan oktober 1965 ikut mengatur pawai Dewan Revolusi di kota S?

Sesaat Bawuk tertegun melihat mereka yang berkumpul di beranda depan rumah ibunya. Ada nampak sekilas cahaya keheranan pada matanya melihat saudara-saudaranya lengkap pada berkumpul di situ.

“Wuuuuk, nggeeeer!” teriak Nyonya Suryo.

Dan didekapnya anaknya serta cucunya. Diciumnya pipi anak dan cucunya. Air mata berlinang, meleleh pada pipi mereka. Pada Nyonya Suryo, pada Bawuk dan saudarasaudaranya perempuan. Anak-anaknya masih berpegangan tangan berdiri di belakang ibunya. Kemudian untuk beberapa detik beranda itu senyap. Mereka saling memandang. Kemudian Nyonya Suryo mulai melihat garis-garis kecapekan di sekitar mata anaknya. Garis-garis yang biru kehitaman itu sesungguhnya bukan baru satu dua hari saja menguasai tubuh itu. Sedang mata Bawuk meskipun nampak capek juga masih memancarkan sinarnya yang lama, sinar yang selalu mengajak tersenyum. Tetapi kelembutan sinar itu sekarang disertai dengan suatu unsur baru yang dahulu meskipun sudah dikenal ibunya juga, sekarang nampak semakin jelas. Sinar itu adalah sinar yang memancarkan kepastian dan ketetapan hati. Agak kecut hati Nyonya Suryo melihat itu.

“Ayolah duduk. Wowok, Ninuk, sini duduk sama eyang.”

Mereka duduk. Hanya Ninuk yang mau duduk bersama neneknya. Wowok duduk menempel pada ibunya.

“Kapan kalian datang?”

“Wok, Nuk, itu lho bude Sumi sama Pakde Sun. Yang itu pakde Momok dan Bude Syul. Lalu yang ini Pakde Tarto dan Bude Tini. Salam nak, kasih salam sama bude dan pakde. Tadi sudah sayang eyang.”

Dengan malu-malu anak-anak Bawuk memberikan salam kepada saudara-saudara ibunya. Nyonya Suryo melihat bagaimana kurus-kurus cucunya itu. Tetapi dia juga melihat bahwa kekurusan itu bukan kurusnya anak-anak kurang sehat. Mereka nampak sehat dan gesit.

“Kau kaget, Wuk, kami datang semua ke sini?”

“Kaget, sih tidak. Cuma heran sebentar. Tapi kemudian senaang sekali, deh. Mas Mamok, mana isterimu? Hamil lagi ‘ni mesti.”

“Iya. Kok tahu sih jij?”

“Biasanya kalau kau sowan ibu tanpa Yu Yati, ceritamu selalu itu saja. Yati mulai ngidam lagi, Yati mulai muntah-muntah lagi. Dus kali ini begitu saja saya tebak.”

“Wuk, kau kelihatan tuaan sedikit. Tapi kau nampak sehat sekali.”

“Terlalu banyak urusan. Yu Mi. Sebentar lagi saya pasti sudah keriputan semua. Tapi kau nampak seger dan muda saja. Begitu juga mas Sun. Kaya pemuda saja.”

“Memang masih pemuda, kok.” “

Wah, bahaya ‘nis Mas Sun. Ati-ati Yu Mi!”

Semua pada tertawa. Mereka mulai merasakan kehangatan Bawuk yang dahulu kembali berada di tengah-tengah mereka

“Kau ini dari mana, Wuk? Kok tadi datang dengan becak.”

“Wah, susah ceritanya. Ganti-ganti tempat. Tadi kami datang dari M dengan bus.”

“Dengan bus? Begitu saja?”

“Ya, Begitu saja.”

“Sudahlah. Jangan banyak-banyak dulu kalian tanya adikmu. Wuk, kau minum dulu deh teh hangat ini. Juga anakanakmu. Lalu mandilah dulu dengan air hangat. Nanti kita omong-omong lagi.”

“Baiklah, mammie.”

Malam telah menjadi malam. Cengkrik telah berbunyi dan tukang sate dan penjaga wedang jahe telah hilir-mudik meneriakkan jualannya. Anak-anak telah tidur. Makanan telah diangkat. Di ruang tengah, di sekitar meja bundar marmer yang besar itu, yang dulu pernah menjadi saksi permainan pei yang seru-seru, berkumpullah mereka itu. Percakapan telah dimulai….

Waktu pawai Dewan Revolusi telah selesai, Hassan memerintahkan Bawuk berkemas-kemas. Anak-anak harus dibawa, sedang barang-barang yang dibawa cukup pakaian seperlunya saja.

“Dewan Jenderal telah menang di Jakarta. Kita harus susun kekuatan dengan kawan-kawan tani di luar.

“Apakah penangkapan-penangkapan akan segera terjadi di S?”

“Ya, Logisnya begitu, Wuk, tadi kami dapat info, tentara dan mahasiswa-mahasiswa kanan sedang mempersiapkan terror.”

“Tapi kita punya banyak kawan tentara. Pawaimu banyak mereka bantu. Mereka juga ‘kan yang kasih pinjam truk-truk itu? Dan rakyat yang nonton pawai kita di jalan pada melongo saja.”

“Rakyat selalu melongo di mana-mana. Kau ingat ‘kan untuk apa pawai dukungan itu kita organisir? Untuk bikin rakyat yang melongo itu semakin bingung lagi. Tapi sementara ini kekuatan kita di dalam kota tidak seimbang dengan kekuatan kaum reaksi. Tentara lebih banyak yang ragu-ragu daripada ikut kita. Kita menyingkir dulu.”

“Ke mana kita menyingkir?”

“Ke T. Di sana sudah ada yang menampung kita. Di sana kau akan ada tugas-tugas yang penting.”

“Baiklah, saya sudah siap, mas.”

Di T mereka tinggal di rumah camat. Hassan dan kawankawannya yang ikut lari dari S sibuk mengatur kekuatan. Kecamatan T boleh dikatakan mutlak di belakang mereka. Camat dan lurahnya adalah pemuka-pemuka BTI dan Pemuda Rakyat, sedang anggota pimpinan masyarakatnya adalah anggota BTI dan Pemuda Rakyat. Tidaklah sukar untuk menggambarkan bagaimana kecamatan T bisa dikatakan menjadi suatu basis mutlak Partai Komunis Indonesia. Pada siang hari Hassan beserta kawan-kawan dan para anggota pimpinan desa kecamatan bergantian melatih penduduk ketrampilan perang gerilya. Senjata-senjata seperti cung dan sebagainya dibagikan. Molotov cocktail dibikin dalam jumlah yang besar. Pohon-pohon yang besar ditebangi dan ditempatkan di mulut jalan-jalan yang strategis. Kecamatan T telah mereka ubah menjadi semacam benteng yang dilingkari oleh penghambat-penghambat alam. Sungai yang melingkari hampir separoh kecamatan telah menjadi penghambat utama untuk masuk ke wilayah T karena jembatan-jembatannya telah diledakkan atau dirusakkan. Sedang pohon-pohon serta rumpun-rumpun bambu yang telah ditumbangkan dan disusun bertumpukan di mulut-mulut jalan merupakan barikade-barikade alam yang mengerikan. Masuk ke dalam wilayah T seakan-akan masuk ke dalam daerah penyamunpenyamun jaman dahulu.

Malam hari Hassan dan kawan-kawannya terus menerus mengadakan diskusi, menilai keadaan. Kadang-kadang muka-muka baru muncul dalam diskusi-diskusi itu, memberikan penjelasan atau laporan tentang perkembangan keadaan. Mereka mendengar tentang keadaan di S. Mereka mendengar tentang Aidit yang berada di sekitar Solo, dan mereka mendengar tentang sikap Sukarno terhadap Gestapu yang disebutnya Gestok. Laporan-laporan itu dengan hangat dinilai dan dibicarakan bersama-sama. Rakyat di kecamatan T mesti disiapkan untuk segala kemungkinan. Mereka memutuskan rakyat perlu dipertebal semangatnya dan dibawa ke arah kondisi mental untuk bertempur. Itu berarti bahwa mereka harus dibawa ke arah suasana fanatisme yang tidak kenal ragu-ragu lagi. Menurut mereka perlawanan terhadap tentara kaum reaksi adalah perlawanan hidupmati. Sedang Hassan dan kawan-kawannya sibuk mengatur itu semua, Bawuk bersama isteri kawan-kawan Hassan mendapat tugas sendiri. Mereka berkewajiban menggarap para pimpinan Gerwani di kecamatan T itu yang sebagian terbesar adalah isteri-isteri pimpinan masyarakat desa kecamatan T. Ini merupakan pengalaman baru buat Bawuk. Meskipun aneh kedengarannya, Bawuk yang setelah sekian tahun menjadi isteri seorang pemimpin komunis tidak pernah secara resmi menjadi anggota Gerwani, apalagi menjadi pimpinannya. Bawuk tahu banyak tentang Gerwani, tentang Lekra, tentang anak organisasi PKI lainnya. Suaminya selalu memberitahukannya tentang perkembangan organisasi itu, mendorongnya untuk ikut berpikir secara aktif, mengajak berdiskusi dan memberinya bacaan yang cukup banyak. Tetapi Hasan tidak pernah menganjurkan atau menyuruh agar Bawuk secara resmi masuk menjadi anggota salah satu anak organisasi PKI itu. Selama itu Bawuk selalu merasa pertamatama kawin dengan seorang Hassan daripada dengan seorang komunis. Hassan yang kelincahan, kecerdasan serta kegairahannya yang membusa terhadap kehidupan selalu memikat Bawuk sejak pertama kali mereka saling mengenal. Bawuk selalu melihat “kekomunisan” Hassan sebagai sesuatu yang menempel pada Hassan. Sesuatu yang merupakan tambahan yang datang kemudian, yang sesungguhnya (atau seharusnya) tidak merupakan sesuatu yang esensial tetapi toh melekat begitu erat pada diri Hassan. Dan sebagai seorang isteri yang merasa terpikat oleh suaminya, Bawuk tidak bisa lain daripada ikut membagi dari apa yang dirasakan oleh Bawuk sebagai sesuatu yang menempel saja pada diri suaminya.

Di T Bawuk melihat, meraba dan merasakan dari jarak yang jauh lebih dekat lagi daripada sebelumnya apa yang selama ini dipertaruhkan suaminya. Sesuatu yang menempel pada diri suaminya itu telah menjadi semacam setan kecil yang sepenuhnya telah menguasai suaminya. Bawuk tidak akan bisa melupakan kilat mata suaminya selama di T itu. Begitu mengkilat dengan kegairahan. Dan kilatan itu ternyata telah berhasil dia tularkan kepada kawan-kawannya, kepada kawan-kawan baru mereka di T. Tiap kali Bawuk bersama kawan-kawannya berdiskusi dengan kaum ibu, para isteri birokrat desa dan isteri petani-petani, Bawuk melihat kilatankilatan mata mereka itu yang jauh berbeda dari stereotip petani-petani yang selama ini digambarkan sebagai redup dan membosankan. Kilatan mata mereka mengikuti kilatan mata suami-suami mereka. Keras, tegang dan penuh dengan ketetapan hati. (Suami-suami mereka akan dicincang, tanahtanah mereka akan dirampok, padi dan palawija desa akan dikuras habis oleh tentara reaksi yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing).

Kemudian masuklah info yang mengatakan bahwa tentara reaksi mulai mengadakan pembersihan di S dan sekitarnya. Cara mereka membersihkan tidak palang tanggung. Segera T disiapkan untuk menghadapi ini. Hassan dan kawan-kawannya melihat ini sebagai sesuatu yang mereka sebelumnya telah perhitungkan. Tentara pasti akan mengadakan pembersihan dalam arti yang sebenarnya. Dan Hassan beserta kawankawannya meningkatkan perondaan di T. Orang laki-laki dikumpulkan serta ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis. Latihan-latihan kemiliteran terus ditingkatkan. Mental mereka terus-menerus digembleng dengan keyakinan bahwa semangat mereka lebih kuat daripada serdadu-serdadu sewaan. Kepada para kader di kecamatan itu ditekankan artinya situasi revolusioner seperti yang mereka hadapi waktu itu, yakni suatu macam situasi di mana pengertian teori tentang perjuangan senjata kaum tani datang saatnya dicoba. Kepada para petani yang bukan kader didengungkan bahwa perjuangan bersenjata yang akan mereka lakukan adalah perjuangan hidup dan mati, perjuangan tentang hak tanah, tentang hari depan tanah-tanah pertanian mereka, tentang hasil produksi pertanian mereka yang sekarang mau dirampas oleh kekuatan-kekuatan reaksioner yang meminjam bedilbedil tentara sewaan.

Bawuk ingat bagaimana tegang dan panas suasana harihari itu. Suasana kesiapsiagaan yang meningkat. Kesenyapan yang mencekam. Diskusi yang terus-menerus. Pada saat itu, bila malam telah larut, anak-anaknya telah tidur dan diskusidiskusi telah selesai, Bawuk sering memikirkan perjalanan yang telah ditempuhnya selama ini. Perjalanannya bersama Hassan yang penuh dengan busa ideologi, kegairahan untuk mereguk kehidupan hingga dasarnya bersama dengan keyakinan itu. Alangkah jauh perjalanan itu dari setenan Karangrandu yang telah membesarkan dia beserta saudara-saudaranya. Apakah yang akan dipikirkan ayahnya bila dia masih hidup pada waktu itu. Dan hari kemudian anak-anaknya? Mestikah anak-anaknya dibesarkan dalam lingkungan kedaruratan yang nampaknya akan berlangsung lama itu ?

Kemudian datanglah hari yang dinantikan itu. Kurir Hassan yang berkewajiban memberitahu secara tepat kapan tentara mulai menyerang T ternyata tidak muncul. Mungkin tertangkap atau tertembak dalam perjalanan. Tahu-tahu orang berlari-lari meneriakkan bahwa dukuh B telah diduduki oleh tentara. Tentara ternyata telah bergerak dengan gesit, segesit siluman. Sebab tahu-tahu penduduk sudah dibuat buyar dengan hadirnya tentara di B. Kapankah, mereka datang, dan bagaimana mereka menembus barikade alam yang menurut perhitungan akan membuat setiap penerobos kewalahan? Dan di dalam waktu yang menakjubkan pendeknya tentara telah menyusup dimana-mana, di dukuh-dukuh kecamatan T yang strategis. Pertempuran pun pecahlah. Petani-petani yang sudah dilatih Hassan melawan dengan cung, dengan molotov cocktail, dengan bambu runcing dengan segala macam senjata. Petani-petani itu melawan menurut petunjuk pemimpinpemimpin mereka. Mereka melawan dengan semangat dan pengertian bahwa yang menjadi lawan mereka adalah kaum reaksi yang akan menghancurkan mereka, yang akan merampas tanah-tanah mereka. Hasilnya sangat mengerikan. Petani-petani yang belum begitu lama mendapatkan latihan kemiliteran itu melawan dengan membabibuta. Dalam waktu satu hari saja seluruh T telah jatuh dan sepenuhnya telah diduduki oleh tentara. Rumah-rumah dan limbung-lumbung dibumihanguskan oleh para petani sendiri. Dan para petani yang tidak mau menyerah dihantam tanpa ampun lagi. Mayat mereka bergelimpangan di tengah pematang sawah, di pinggir kali dan di lorong-lorong pendudukan. Seperempat dari penduduk telah mati, hampir separoh dari penduduk lakilaki menjadi tawanan tentara. Mereka yang menjadi tawanan sesudah selesai mengumpulkan mayat-mayat kawan mereka dan menguburkannya, digiring dan dikumpulkan di halaman kecamatan.

Semalam suntuk mereka diwajibkan duduk terus di halaman itu sampai pagi merekah. Embun membasahi tubuh mereka yang letih yang telah sehari penuh mereka peras dengan habis-habisan di dalam percobaan mereka yang gila melawan suatu tentara yang paling terlatih. Semalam suntuk itu mereka diperbolehkan mengeluarkan sepatah kata pun oleh penjaga-penjaga yang hilir-mudik berjalan di antara mereka. Mata petani-petani itu merah dan tegang. Apa benar yang mereka coba pikirkan dalam keadaan begitu. Seluruh peristiwa itu yang berkembang dengan pesatnya menjadi suatu peperangan? Perang? Dalam desa mereka yang hijau itu?

Bawuk tidak sempat lagi mengendapkan pertanyaanpertanyaan yang begitu. Hassan telah tidak kelihatan sejak dua hari yang terakhir itu. Dengan sebat Bawuk mengambil keputusan bahwa dia harus menyingkirkan diri dengan kedua anaknya.

Tidak mungkin tinggal lebih lama di kecamatan T. Hassan, anak-anaknya dan perjuangan selanjutnya harus dipikirkan. Perjuangan selanjutnya?

Apakah itu artinya? Bawuk berlari dan berlari, mengendapendap mencoba keluar dari perbatasan kecamatan T yang dikepung rapat oleh tentara. Dan ajaib sekali, Bawuk dapat keluar dari kepungan itu dengan tidak menjumpai sesuatu kesulitan. Pikirannya yang cepat memutuskan bahwa tempat yang justru aman untuk sementara adalah kembali ke S.

Di S Bawuk dan anak-anaknya tinggal berpindahpindah. Dicobanya mencari kontak dengan suaminya. Sisa kawan-kawannya yang berada di S kebanyakan bukan dari lingkungannya yang lama. Mereka yang sebelum Gestapu dekat dengan Bawuk dan Hassan sudah pada menyingkir, kebanyakan ikut ke T. Di S Bawuk mulai mendengar siapasiapa yang mati dalam pertempuran di T. Camat dan lurahlurah serta sebagian besar dari kawan-kawan Hassan ternyata ikut mati tertembak dalam pertempuran itu. Dari sedikit Bawuk mulai mengenal jaringan baru yang ada di S. Jaringan itu ternyata terjalin dengan cukup rapi dengan berbagai lapisan masyarakat termasuk tokoh-tokoh partai lain yang selama ini nampaknya tidak beberapa aktif mendukung Dewan Revolusi.

Bawuk akhirnya menemukan kontak dengan koordinator dari jaringan di S ini. Seorang dengan nama Pak Jogo. Bawuk tahu bahwa nama itu adalah nama samaran. Mengerti akan kode yang berlaku, Bawuk tidak berusaha mengetahui siapa nama Pak Jogo sesungguhnya. Yang penting bagi Bawuk adalah mengenal koordinator ini menurut perkiraan Bawuk pasti pada suatu waktu akan dapat menceritakan di mana Hassan berada.

Dari Pak Jogo, Bawuk mendapat tugas menjadi kurir dan mengamati gerak-gerik mahasiswa. Menurut Pak Jogo, Bawuk mempunyai potongan yang tepat untuk melaksanakan tugas itu. Dia tidak pernah menonjol selama ini di S. Tidak terlalu banyak orang S yang mengenalnya sebagai isteri Hassan, tidak pernah menonjol dalam berbagai rapat atau seminar terbuka yang diorganisir oleh PKI, Lekra atau anak organisasi yang lainnya, dan yang lebih penting kata Pak Jogo, Bawuk memiliki kecerdasan serta kesabaran yang diperlukan untuk itu semua. Bawuk menuruti penunjukkan itu. Degan patuh diikutinya segala petunjuk yang diberikan oleh Pak Jogo dan kawan-kawannya. Bawuk diwajibkan bekerja sendiri. Hanya dengan beberapa orang dia diijinkan berhubungan. Dengan Pak Jogo, Bawuk boleh dikatakan tidak pernah lagi ketemu sejak dia mendapat tugasnya yang tetap itu.

Sementara itu anak-anak Bawuk; Wowok dan Ninuk, sudah mulai bisa membiasakan diri mereka dengan hidup dalam pengejaran itu. Berpindah-pindah tempat pada setiap waktu, membungkus pakaian mereka dengan cepat dan rapi, berjalan cepat dengan tidak terlalu banyak mengeluarkan suara, adalah ketrampilan-ketrampilan baru yang telah mereka kuasai. Tetapi di samping itu anak-anak itu juga mempunyai kebiasaan baru. Kebiasaan untuk tidak banyak bertanya, tetapi untuk melaksanakan saja perintah-perintah. Juga kebiasaan untuk menyimpan rahasia. Dengan kebiasaan yang baru ini anak-anak itu yang dulu banyak mewarisi sifatsifat ibunya yang ramah dan ramai, berubah menjadi anakanak yang pendiam, pemurung dan suka menarik diri. Mulamula Bawuk tidak terlalu memperhatikan hal ini. Kesibukannya serta macam pekerjaan yang dibebankan kepadanya yang menuntut banyak waktu serta kegesitan berpikir dan bertindak tidak banyak memberikan kesempatan baginya untuk banyak merenungkan tentang perkembangan jiwa dan anak-anaknya. Tetapi hal ini kemudian mulai dilihatnya pada waktu Bawuk satu ketika harus berpindah tempat ke dalam rumah seorang simpatisan dengan keluarga yang agak besar. Di situ Bawuk mulai kaget melihat kekikukan anak-anaknya bergaul dengan anak-anak keluarga itu. Kaku dan agak terlalu peka buat lelucon-lelucon yang sedikit mengganggu. Ninuk akan cepat sekali jengkel dan merajuk dengan bermain dengan kawan-kawannya. Wowok lebih suka bermain sendiri dan melihat setiap ajakan bermain dengan sikap kecurigaan dan sikap yang was-was. Bawuk melihat itu sebagai gejala yang mengkhawatirkan. Dalam usia yang justru sangat membutuhkan pergaulan dan mengenal hidup bermasyarakat, mereka sudah mulai menaruh curiga kepada masyarakat itu. Dengan sedih Bawuk melihat ini sebagai bayaran yang dia mesti bayar buat perjuangannya dan perjuangan suaminya.

Pak Jogo tidak terlalu lama bisa bertahan dengan jaringannya. Intelijen tentara dengan cepat mencium gerakgerik jaringan itu. Dan waktu cukong gerakan itu, seorang pedagang emas dan arloji di S tertangkap, jatuhlah semua jaringan itu ke tangan intelijen tentara. Bawuk yang selama itu dengan cepat telah mengembangkan nalurinya sebagai seorang pelarian dengan gesit mencium gejala kerontokan itu dan segera berkemas menyingkir ke Jawa Timur. Tetapi sebelumnya dia telah mendapat info bahwa Hassan berada di Jawa Timur dan bergerak bersama kawan-kawan dari Jakarta menyusun kekuatan baru. Di Jawa Timur kembali Bawuk mengulangi dari depan mencari kontak-kontak baru dengan alamat-alamat simpatisan yang dia dapat dari kawankawan di S. Kembali Bawuk mengulangi lagi hidupnya yang berpindah-pindah tempat bersama kedua anaknya. Bawuk makin merasakan sulitnya hidup dalam pengejaran. Mencari kontak-kontak baru tidak semudah dahulu lagi. Begitu juga mencari tempat persembunyian yang lebih aman dan lebih baik. Tekanan tentara di mana-mana dia rasakan makin ketat. Meskipun nama Bawuk belum secara resmi belum pernah masuk dalam koran sebagai yang sedang dicari, namun Bawuk merasa bahwa pasti namanya sudah tercantum dalam daftar hitam intelijen di kota S. Apalagi sesudah Pak Jogo dan kawan-kawannya tertangkap, pastilah intelijen tentara yang begitu efisien bisa merangkaikan lagi nama-nama dari jaringan yang bercerai berai itu. Karenanya Bawuk harus lebih meningkatkan kewaspadaannya serta lebih mempertajam lagi pancainderanya di dalam menilai gerak-gerik tentara. Dalam suasana pelarian yang makin sulit itu, Bawuk tidak pasti lagi apakah pelarian serta intensitas gerakannya itu lebih banyak didorong untuk keinginannya untuk menemukan Hassan, ataukah memang idealisme yang sudah ditancapkan oleh Hassan serta kawan-kawannya selama ini betul-betul sudah mulai merasuk dalam darah dagingnya sehingga kedua dorongan itu sudah bersenyawa menjadi satu.

Kemudian di M Bawuk mendapatkan kontak yang tahu di mana Hassan berada. Hassan ternyata berada di Selatan dengan banyak kawan-kawan dari Jakarta. Menurut kawan itu Hassan sudah sejak kehancuran pertahanannya di T tempo hari bergerak di daerah itu berusaha kembali menyusun kekuatan dengan para petani.

“Mengapa Mas Hassan tidak memberitahu saya?”

“Dia terlalu sibuk.”

“Sibuk? Juga terhadap isterinya!”

“Ya. Partai dalam keadaan sangat sulit. Saudara tahu hal ini ‘kan ?”

“Kenapa masih mengeluh tidak ada kontak dengan Hassan?”

“Dia suamiku. Aku isterinya.”

“Sudahlah. Saudara tahu bikin kontak bisa membahayakan Hassan. Dengan demikian juga bisa bikin buyar semuanya. Harap saudara ingat yang kita hadapi bukan intelijen TNI.”

“Bukan ?”

“Bukan. Yang kita hadapi CIA. Yang lain-lainnya Cuma embel-embel saja.”

“Lantas apa yang mesti aku kerjakan?”

“Menunggu. Tunggu sampai Hassan bisa berhubungan. Waktunya pasti akan datang.”

Bawuk tunduk terhadap penyelesaian itu. Dia harus menunggu di M. Yang menjadi persoalan adalah anakanaknya, Wowok dan Ninuk. Sudah setahun lebih mereka tidak lagi sekolah. Dan perkembangan mereka makin menunjukkan perkembangan yang tidak normal. Sikap mereka yang makin pendiam dan menarik diri sangat merisaukan pikiran Bawuk.

Sikap anak-anak yang begitu tidak pernah dijumpai dalam lingkungan keluarganya. Dan lebih mengganggu pikirannya adalah bahwa tempo hari sebelum pelarian mereka, mereka begitu lain. Pastilah itu karena lingkungan keluarga yang lebih tenang dan normal, pikir Bawuk. Di tengah-tengah kesibukan organisasi tempo hari Hassan masih sempat bercerita tentang macam-macam hal kepada anak-anaknya. Juga bermain okordeon, menyanyi lagu-lagu rakyat dan anak-anak dari berbagai negeri. Dan Bawuk sendiri ingat bagaimana dia bisa mengatur waktunya dengan baik waktu itu. Bawuk memutuskan anak-anaknya harus hidup dalam lingkungan yang normal. Anak-anaknya mesti sekolah lagi. Dan lingkungan itu hanyalah ada pada rumah ibunya. Bawuk memutuskan anak-anaknya akan diserahkan kepada ibunya.

“Wok, Nuk, besok kalian ibu antar ke rumah eyang.”

“Dengan ibu ?”

“Ya, ibu yang antarkan.”

“Ibu Cuma antarkan?

”Ya. Kalian harus tinggal sama eyang. Kalian mesti sekolah lagi.”

“Ibu mau ke mana?”

“Ibu kembali ke mari. Ibu mesti mencari bapak.”

“Bapak di mana sekarang?”

“Bapak sedang berjuang. Ibu mesti tunggu bapak.”

“Nanti kalau ibu sudah ketemu bapak akan datang menjemput Wowok dan Ninuk ?”

“Tentu saja, Wok.”

“Apa eyang suka bikin bubur ketan hitam?”

“O, ya, dan lain-lainnya juga. Klepon, kolak pisang, kuwih mangkok. Dan masih banyak lagi. Kalian pasti senang di sana.”

Nyonya Suryo menggeliat, capek duduk terus-menerus mendengar kisah pelarian anaknya yang bungsu itu. Alangkah muda dan tua anaknya itu. Bawuk putri onder Karangrandu, bintang societeit Concordia, menjadi pelarian komunis ? Di mana letak kesalahan semua itu ? Kemudian Sun memecah keheningan yang sebentar itu.

“Jadi kau masih akan kembali ke M, Wuk ?”

“Ya, Mas Sun.”

“Kapan?”

“Besok pagi-pagi betul. Kira-kira waktu subuh.”

“Tinggal beberapa jam lagi, Wuk.”

“Ya, Yu Syul.”

Hening lagi. Jam di dinding menunjukkan lewat tengah malam. Berdenting satu kali. Kepala-kepala itu menengadah melihat kepada jarum dan angka-angka rum di jam. Jam setengah satu. Kepala-kepala kijang yang terpancang di kiri dan di kanan jam masih menunduk, keberatan memikul tanduk-tanduk-nya persis sekian tahun yang lalu di setenan Karangrandu.

“Apa yang kau kerjakan di M, Wuk ?”

“Menunggu, Ya. Menunggu, Mas Mamok.”

“Menunggu? Siapa dan apa yang kau tunggu? Hassan ? Comebacknya PKI?”

“Aku tidak pasti lagi, Mas Sun. Mungkin sekali yang mendorongku untuk menunggu adalah Hassan, suamiku.”

“Kalau begitu, kenapa tidak di sini saja menunggu suamimu itu. Kau bisa menemani ibu, menunggui anak-anakmu. Aku bisa mengusahakan perlindungan dan surat-surat yang kau perlukan.”

“Aku condong untuk tetap memilih menunggu di M, Mas Sun.”

“Kalau begitu kau tidak hanya menunggu di M. Kau pasti ada tugas tertentu, Wuk, dari kawan-kawan Hassan.”

“Tunggu. Tunggu, Mas Sun. Biar ganti saya yang bertanya.”

“Wah, ini namanya kena interogasi. Baiklah, Mas Tok.”

“Wuk, apakah kau anggota PKI ?”

“Bukan.”

“Maksudmu belum ?”

“Aku isteri Hassan.”

“O, Wuk, kau tidak menjawab pertanyaanku.”

“Mas Tok, aku sudah menjawab pertanyaanmu itu. Aku kira itu sudah menjelaskan dengan seterang-terangnya.”

“Baiklah. Aku harap aku bisa mengerti apa yang kau maksudkan.”

Tarto berhenti bertanya. Dan yang lain-lainnya nampaknya sedang mencoba mencari pertanyaan lain.

“Wuk, kalau kau bukan PKI bagaimana kau masih bisa menjalankan tugas-tugas yang diberikan mereka seperti menjadi kurir dan sebagainya itu ?”

“Yu Mi, terus terang saja aku sendiri kurang mengetahui secara pasti. Selama ini aku mencoba mengerti hubunganku dengan PKI. Ternyata tidak gampang.”

“Di mana letak kesulitan itu? kau ikut suamimu memberontak. Kau patuh kepada instruksi-instruksi kawan-kawan suamimu. Buat saya tidak terlalu berliku-liku hubunganmu dengan PKI, Wuk.”

“Mungkin buat kau, Yu Mi. Kau selalu begitu jernih dan logis pikiranmu sejak di HBS dulu.” “Loh, jangan ngleedek dong, Wuk.”

“Tidak Yu Mi. Sungguh, secara jujur aku iri kepada kemampuanmu melihat segala persoalan. Begitu terang, begitu sederhana dan begitu sistematis. Saya selalu kesulitan di dalam mencoba mengerti dengan sederhana dan jelas tentang hubungan dengan PKI itu. Satu-satunya hal yang terang bagiku hanya hubunganku dengan Hassan.”

“Bagaimana ? Dia PKI ‘kan?”

“Betul, Yu Mi. Tapi ya hanya itulah yang menjelaskan kaitanku dengan PKI. Yang lain-lainnya, seperti kenapa aku mau terus lari bersama PKI kadang-kadang jadi kurir mereka, mencatat beberapa hal untuk mereka, saya …….. saya tidak begitu jelas. Sungguh itu sesuatu yang kompleks untuk bisa saya terangkan meskipun buat saya sendiri, Yu Mi.”

“Wuk, kau tahu artinya penghianatan buat negara ?”

“Masya Allah, Mas Sun, kau sekarang kedengeran sebagai seorang brigjen betul. Yang aku harapkan ketemu adalah Mas Sun-nya Yu Mi, jadi mas Sun saya juga.”

“Wuk, aku masih tetap masmu. Kau tak usah ragu tentang hal itu. Baiklah aku akan mengganti pertanyaan itu kalau kau mau. Bekerja untuk PKI itu menurut kau berbahaya atau tidak?”

“Berbahaya, Mas Sun. Kalau tidak, aku tidak perlu menyerahkan anak-anakku ke mari.”

“Hanya buat kau dan anak-anakmu saja ?”

“Tidak. Buat banyak orang juga. Buat kau juga.”

“Jadi ?”

“Jadi ? Wat wil je daarmee zeggen, Mas Sun?”

“Sederhana sekali. Apakah kau tidak merasa bersalah ikut membantu satu aktivitas yang membahayakan buat banyak orang?”

“Aduh, Mas Sun, sedih saya kalau kau mulai bertanya tentang salah atau tidak salah. Dari sudut keluarga ini perkawinanku dengan mas Hassan sudah sejak semula salah. Kalau aku tempo hari mau saja kawin dengan seorang akademikus yang baik atau seorang perwira yang simpatik kaya Mas Sun, dan tidak dengan seorang revolusioner, komunis dan sekarang berontak lagi, semuanya bukankah sudah beres ?”

“Wuk, Itu tidak fair. Kau tau tidak seorang pun dari kita menghalangimu waktu tempo hari kau memilih Hassan sebagai bakal jodohmu. Aku kira kau belum menjawab Mas Sun. Malah nampaknya kau mau menghindari.”

Mata Bawuk mulai terasa agak panas dan basah. Perkataan Mamok yang terakhir adalah terlalu tajam dia rasakan. Di dalam pandangan matanya yang sudah mulai agak kabur itu nampaknya semua jari saudara-saudaranya dan ipar-iparnya pada diangkat dan ditunjukkan kepadanya.

“Wuk, kau jangan terlalu merasa kami pojokkan. Cuma satu kepentingan kami. Kami tidak ingin kehilangan kau, Wuk. Kau adik kamu yang bungsu dan ibu sudah tua dan kesepian. Kenapa tidak kau terima saja usul Mas Sun agar kau tinggal di sini menunggu sampai semua tenang kembali.”

Bawuk mendengar kata-kata Tarto itu, tetapi ajaib dia tidak melihatnya. Yang Bawuk lihat adalah dokar berlari dari Karangrandu ke sekolah. Lalu suara-suara kakak-kakaknya dan suaranya sendiri mulai terngiang membicarakan boterham yang mereka bawa serta karnaval anak-anak yang akan datang si Societeit Concordia.

Kemudian sore-sore dilihatnya bapak dan ibunya duduk di korsi goyang minum teh dan makan kaasstengels, sedang Sumi, Syul, dan dia sendiri pada bermain zondag-maandag di bawah pohon sawo. Kemudian hujan yang lebat sekali dan upacara temu pada perkawinannya dengan Hassan. Hassan terbata-bata mengikuti penghulu mengucapkan “laa illaha illa ‘llaahu muhammada ‘rrasuulu ‘llaah.” Semua kakak-kakaknya menciumi dia dan ibunya memandangi dengan wajah yang lega meskipun air matanya meleleh juga. Onderan Karangrandu. Dalem kabupaten. Societeit Concordia. Kebon tebu. Dan tiba-tiba T. Mayat bergelimpangan di pematang. Hassan. Ditengoknya jam di dinding. Sudah jam tiga lewat. Bawuk tahu waktu makin menipis. Mereka yang duduk mengitari meja marmer yang bundar itu menunggu keputusan Bawuk. Menerima atau menolak usulan Sun yang nampaknya secara bulat telah diputuskan menjadi usulan pokok. Cuma ibunya yang sejak tadi diam, tenang-tenang mengikuti percakapan anak-anak dan menantunya. Dari wajahnya, Bawuk menduga bahwa ibunya kurang tertarik kepada soal menerima atau menolak usulan Sun. Sinar mata ibunya yang begitu dia kenal, tiap kali ibunya ingin menanyakan sesuatu yang serieus kepada bapaknya, kepada anak-anaknya.

Bawuk gelisah. Bukan karena waktu yang telah memojokkan dia untuk memutuskan hubungan Sun dan kakak-kakaknya. Tetapi karena waktu telah tidak terlalu bermurah hati di dalam memberi ruang kepadanya untuk mengendapkan pertanyaan yang selama ini menerobosi benaknya dan yang baru malam ini secara bertubi-tubi dihantamkan kepadanya oleh saudarasaudaranya. Ya, Allah, bagaimana saya bisa menjelaskan itu semua, keluh Bawuk. Ibu pasti hanya tertarik untuk jawaban ini. Keluh Bawuk. Kemudian dari sedikit Bawuk merasa bisa mengatur dan menyusun kalimat-kalimat yang amat dia perlukan untuk menjelaskan kepada semua saudara-saudara dan ibunya. Kemudian seakan-akan Bawuk mendengar dari jauh dari sesuatu tempat di dalam rongga tubuhnya suaranya sendiri bergaung mengeluarkan penjelasan.

“Yu Mi dan Mas Sun, Mas Mamok dan Yu Yati, Yu Syul dan Mas Pik, Mas Totok dan Yu Tini, mammie dan pappie. Ingatkah kalian pada waktu dulu, satu sore eyang putri pernah bertanya kepada kita, ingin jadi apa kita ini kalau sudah besar. Yu Mi menjawab ingin jadi isteri dokter, Mas Momok ingin jadi burgemeester, Yu Syul ingin jadi isteri arsitek, Mas Tok ingin jadi meester in de rechten dan saya karena cintaku pada kebon ingin jadi isteri landbouwconsulent. Kita tahu impian kita itu adalah impian anak-anak yang dibangun dari kemauan orang tua kita. Tanpa kita sadari kita ucapkan satu demi satu impianimpian itu yang sesungguhnya sudah dibentuk dari hari demi hari oleh orang tua kita. Pappie adalah seorang priyayi penting, seorang onder dengan karier gemilang, yang ingin melihat kegemilangannya itu diteruskan oleh anak-anaknya. Begitu juga mammie adalah seorang priyayi, masih den ayu dari Solo, yang ingin melihat anak-anaknya mengibarkan terus bendera kapriyayen itu. Jawaban kita kepada pertanyaan eyang putri itu adalah harapan orang tua kita. Harapan agar kita tetap menjadi priyayi dengan kedudukan yang sangat terpandang di masyarakat. Oh, saya tahu tak seorang pun dari kalian menjadi seperti yang kalian inginkan itu. Tetapi toh kalian mencapai apa yang dimaui oleh orang tua kita. Jadi priyayi. Dan ya, cukup terpandang juga. Yu Mi dapet Mas Sun, seorang brigjen. Siapa yang mau menyangkal bagusnya kedudukan brigjen dalam masyarakat kita sekarang? Brigjen adalah seorang priyagung, priyayi agung. Juga kau, Yu Syul. Kau dapat Mas Pik, seorang priyagung sipil. Seorang dirjen pada waktu ini tentu lebih terpandang dari seorang arsitek. Dan Mas Mamok dan Mas Tok, meskipun harus lewat jalan berliku-liku, sambil kerja setengah mati, akhirnya bisa menjadi orang-orang bertitel akademis. Kalian tidak punya pendapatan cukup, tapi yah, kalian adalah priyayi yang baik, yang manis, yang burgerlijk. Cukup terpandangan di masyarakat. Mau apa lagi pappie dan mammie kita, selain harus memandang jullie dengan kepuasan bahkan juga mungkin kebanggaan. Dan aku? aku kawin dengan seorang pemimpin gila. Aku tidak seberuntung Yu Mi dan Yu Syul bisa kawin dengan seorang priyayi yang terpandang. Aku ketemu dengan seorang SMA pun tidak tamat. Seorang yang mimpi bahwa tanpa satu ijazah, tanpa kedudukan resmi orang pun bisa terpandang di masyarakat. Alangkah tololnya dia. Dia mengira dia mengetahui masyarakat kita. Tapi sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa. Seharusnya dia menamatkan sekolahnya, meneruskannya di dalam negeri atau di luar negeri, mengusahakan tempat kedudukan yang baik di pemerintahan dan dari sana terus maju lagi paling tidak jadi kepala bagian, sukur-sukur jadi direktur atau dirjen. Yang dia kerjakan malah berhenti sekolah, jadi marxis, belajar intrik, kasak-kusuk lagi, mimpi lagi dan akhirnya malah berontak. Tapi mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, itu lah dunia pilihanku. Dunia abangan yang bukan priyayi, dunia yang selalu resah dan gelisah, dunia yang penuh ilusi yang memang seringkali bisa indah sekali. Karangrandu kita, onderan kita, Concordia kita, kanjengan kita, sinterklaas kita, ayam hutan kita, kuda dan dokar kita, hilang menguap di dalam duniaku itu. Dunia Mas Hassan. Malam ini dengan kalian di seputar meja marmer yang bundar ini, untuk sekejap saya mendengar tertawa terkekeh tante kontrolir dan lain-lainnya. Untuk sekejap saya mengecap dunia kita dulu yang sangat hangat dan comfortable. Untuk sekejap ada saya rasakan daya tarik yang kuat sekali yang akan menyedot saya kembali ke dalam dunia itu. Dan terus terang, untuk sekejap saya tergoda untuk mau disedot oleh tarikan itu. Tetapi oh, alangkah kelirunya aku. Kenyataannya Hassan masih ada di sana, di tempat yang lain sama sekali. Dunia dan impiannya sekarang penuh asap dan mesiu. Penuh pengejaran dan pelarian. Mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie, aku masih tetap bagian dari dunia itu. Yang sekarang penuh asap dan mesiu, pengejaran dan pelarian. Dan kita yang malam ini ada di sekitar meja marmer bundar ini sesungguhnya tinggal lagi diikat oleh mammie dan oleh itu yang di tembok itu, jam Westminster kecil yang diapit kepala kijang di kiri dan kanan. Hanya mereka itulah yang tidak berubah. Kita, kalian mas-mas dan mbak-mbak dan aku sudah berubah. Ada tingkat-tingkat perubahan memang. Tapi yang pokok kita berubah. Dan kita pasti akan terus berubah, bergeser terus ke sana dan ke sini, karena kita telah menjadi bagianbagian dunia yang lain. Itulah mas-mas dan mbak-mbak dan mammie-pappie yang saya coba mau katakan. Kalian dengarkan?”

Mereka yang ada di sekitar meja masih menunggu. Mereka Cuma melihat Bawuk duduk diam. Air matanya meleleh ke bawah.

“Oh, mas-mas, mbak-mbak, mammie-pappie. Aku telah berbicara banyak sekali dan panjang sekali. Dan tidak kepada kalian yang ada di sini saja, tapi juga kepada Yu Yati, Mas Pik bahkan juga kepada pappie yang sudah tidak ada lagi. Kau dengarkah? Aku harap semua itu telah menjelaskan yang kalian tanyakan padaku semalam suntuk ini. Aku harap kalian telah mendengar dengan baik. Dengan baik. Dengan baik.”

Mereka yang ada sekitar meja marmer bundar masih menunggu Bawuk. Tidak sepatah pun yang mereka dengar dari Bawuk kecuali isak yang pelan yang kadang-kadang keluar mendengus dari hidungnya. Nyonya Suryo memandang ke arah wajah anaknya yang bungsu. Kemudian pelan-pelan dia berjalan ke belakang kursi tempat Bawuk duduk. Tangannya diletakkan di atas pundak anaknya.

Jam telah menunjukkan jam empat lewat.

“Wuk, sudah jam empat lebih. Kau mesti lelah sekali. Kita telah terus berbicara semalam suntuk. Kau jadi segera berangkat ?”

“Ya, mammie, aku harus berangkat.”

“Itu sudah mammie duga. Pergilah! Cari suamimu itu.”

“Ya, Mammie. Saya kira saya harus berangkat segera, sebelum fajar. Aku tidak akan bangunkan Wowok dan Ninuk. Mereka sudah tahu bahwa mereka harus tinggal. Titip mammie.”

Bawuk berdiri. Satu demi satu kakak-kakak dan ipar-iparnya diciumnya. Matanya telah kering. Tiba-tiba Bawuk merasa damai sekali. Alangkah aneh perasaan manusia, pikir Bawuk. Bagian apakah dari tubuh kita yang kuasa memerintah bagianbagian perasaan kita ? Yang kuasa mengatur dan memasak rangsang-rangsang? dengan tenang Bawuk melangkahkan kakinya menuju ke jalan. Hanya ibunya yang mengiringkan dia sampai ke jalan. Dari pintu pagar Bawuk masih melihat kakak-kakak dan ipariparnya pada berdiri di ruang depan memandanginya dan akhirnya melambaikan tangan mereka.

Di pagar, ibunya kelihatan remang-remang karena cahaya fajar yang belum mereka belum sanggup meneranginya. Tangan ibunya terasa dingin waktu memegang erat-erat tangannya.

“Wuk, ati-ati, nduk. Kau cari Hassan sampai ketemu, ya ?”

“Ya, mammie.”

Pintu pagar berderit. Dan sekejap Bawuk telah melangkahkan kakinya di jalan. Mulutnya komat-kamit.

“Ibu yang bijaksana. Ternyata cuman kau yang mengerti.”

III

TANAH di halaman masih basah. Hujan baru berhenti sore itu. Angin yang menghembus membawa harumnya tanah yang baru menyerap air. Dari beranda depan Nyonya Suryo mendengar cucu-cucunya membaca Al-fatihah dengan bimbingan gurunya. Di pangkuannya masih tergeletak surat kabar sore. Dikabarkan di situ bagaimana usaha PKI untuk menguasai Jawa Timur lewat Blitar Selatan telah dapat dihancurkan sama sekali. Pemimpin-pemimpinnya yang terkemuka telah tertangkap atau mati terbunuh. Munir, Sukatno, Sri Sukatno, Ir. Surachman dan beberapa gembong yang lain telah tertembak mati. Salah satu nama yang tertembak mati yang tidak banyak dikenal secara nasional adalah Hassan. Bawuk?

“Iyyaaka na’budu waiyyaaaka nasta’iin. Ayo, gus, de rara, dicoba. Iyyaka na’budu ……….”

Sepatah ayat dari Al-fatihah itu menerobos ke telinga Nyonya Suryo. Tidak satu patah pun di ayat itu dia ketahui baik bunyinya maupun isinya. Lingkungannya yang priyayi abangan itu tidak pernah memberinya kesempatan untuk mengetahui itu semua. Tetapi Nyonya Suryo berpendapat memanggil guru agama untuk mengajar cucu-cucunya mengaji dan beribadah adalah sesuatu yang baik dan semestinya.

“Artinya, ngger. Hanya engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkaulah kami mohon pertolongan. Ayo, kita ulang lagi, ngger. Iyyaakana’budu…………”

Alangkah asing suara Pak Kaji mengeluarkan kata-kata itu. Hassan telah pergi. Dan Bawuk ? Nyonya Suryo memejamkan matanya. Mulutnya pelanpelan bergerak-gerak. Dia tidak melihat langit telah berubah menjadi ungu dan serombongan bangau sawah dengan rendahnya melintas di depan rumahnya untuk bertengger di rumpun bambu pojok rumahnya. Dan mungkin hanya sayupsayup saja dia dengan Pak Kaji melanjutkan pelajarannya lagi: “Ihdina ‘shshiraatha ‘Imustaqim. Shiraatha ‘lladziina an’amta ‘alaihim ghairi ‘Imaghdluubi ‘ alaihim wala ‘aldlaalliin. Aaaamiiiin ………….”

TAMAT

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *