Kalau kamu belum mati hari ini, jangan sombong. Apalagi sampai bilang kalau malaikat maut tak akan sanggup menyabut nyawa kamu. Kematian bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dengan sebab yang dahsyat maupun yang remeh. Misalnya, tiba-tiba kamu lupa cara bernapas.
Akhir-akhir ini saya merasa sering lupa dan khawatir hal itu akan terjadi. Melihat telapak tangan yang bergerak sendiri di luar kuasa saya, mungkin ini perasaan yang sama yang dirasakan Tuhan ketika melihat makhlukNya membangkang. Saya mengatakan ini bukan dengan maksud menyamakan diri dengan Tuhan apalagi berniat jadi Tuhan. Hanya saja, saya merasa selalu akan ada hal-hal yang terjadi tanpa kita sadari, tanpa bisa kita mencegahnya.
Hari ini, saya mendengar sebuah kabar bahagia. Seorang teman pulang ke Palembang dan mengajak bertemu seorang perempuan yang diinginkannya. Dia melamarnya dan mendapat tanggapan positif. Senang rasanya, sebab saya membantunya untuk menyusun daftar kalimat yang harus diucapkannya.
Kira-kira begini daftar yang saya susun:
- Bicarakanlah sesuatu mengenai keterlambatan pesawat. (Saya menebak dengan benar pesawatnya akan ditunda keberangkatannya karena asap masih menutupi wilayah Palembang. Pasti pesawat baru berani berangkat ketika matahari sudah lebih lelaki)
- Bicarakanlah sesuatu mengenai diri dan visi dirimu ke depan.
- Katakan tentang usia, lalu katakan perasaanmu dengan menatapnya tajam.
- Minta dia menjadi hidupmu.
- Terakhir, saya menitip pesan kepadanya, jatuh cintalah karena kesiapan, bukan karena kesepian.
Syukurlah jika itu berhasil. Meski di sisi lain, saya sedang merasa sedih. Begitulah hidup, seperti dua sisi mata uang. Di saat yang sama, ada seorang lelaki yang tidak bisa pulang dan percintaannya di ambang perpisahan. Perasaan kehilangan seringkali membuat seseorang lebih baik mati.
Saya membutuhkan vitamin sea untuk menyegarkan pikiran. Kemudian terjebak dalam foto-foto pantai yang pernah saya kunjungi. Entah kenapa, pikiran saya menuju ke Ernest Hemmingway. Mungkin karena judul buku Lelaki Tua dan Laut yang ditulisnya. Mungkin juga karena saya tahu beliau mati bunuh diri setelah pernah 5 kali lolos dari maut.
Ketika menjadi sopir ambulans pada Perang Dunia I, Hemingway tersambar pecahan peluru, dan 237 pecahan peluru bersarang di tubuhnya. Beliau juga pernah tertembak saat berhadapan dengan hiu. Yang paling epik menurut saya adalah ketika ia membawa granat, mengarungi perairan Gulf Stream dengan kapal kayu sepanjang 11, 5 m demi memburu kapal selam Jerman. Hal itu bukan yang terakhir. Setelah itu beliau dua kali selamat dalam kecelakaan pesawat.
Lima kali selamat dari kematian, dan mampu bertahan dari penderitaan-penderitaan mahadahsyat, apa yang membuat Ernest Hemingway bunuh diri?
Mata saya terpaku pada satu foto. Tanjung Tinggi. Pantai yang disebut di Laskar Pelangi itu memiliki pemandangan yang khas. Batu-batu yang konon sudah ada dari zaman Jura seperti diletakkan rapi oleh raksasa. Pasirnya putih. Seorang perempuan tersenyum pada wilayah POV 1:3 yang biasa disebut dalam teknik dasar fotografi. Dan pemandangan itu membuat saya ingin kembali ke sana.
Apakah Ernest Hemingway pernah melihat pemandangan semacam ini? Atau bahkan pantai-pantai lain yang lebih indah, dan semakin indah bila menuju timur Indonesia?
Kamu harus mencanangkan perihal wisata dalam hidupmu. Keliling Indonesia, keliling dunia… jangan hanya diam di dalam kamar. Mati di dalam kamar karena sakit jantung atau stroke, atau kaget karena digigit nyamuk, itu memalukan sekali. Mati ketika menjadi musafir lebih keren.
Ahasveros, seorang raja Persia, dalam kitab Ezra disebut rela meninggalkan tahtanya untuk mencari sesuatu. Ia tidak tahu apa yang dicarinya, bahkan sampai ia mati, membusuk, hancur tulang-tulangnya.
Setelah mati, apa yang terjadi? Saya tidak tahu.
Agama-agama menyebutkan adanya kehidupan setelah kematian. Aneh rasanya jika sudah payah-payah bunuh diri, tahunya hanya pindah ke kehidupan yang lain. Di sana, seorang pelaku bunuh diri pasti akan frustasi mencoba bunuh diri lagi. Disebutkan bahwa kehidupan lain itu abadi, artinya, pelaku bunuh diri dapat mencoba semua teknik bunuh diri, mengulanginya terus-menerus sampai para penontonnya bosan.
Pada titik ini, saya berpikir, buat apa hidup dalam keabadian? Dan dalam keadaan pasrah menerima penghakiman, bahagia atau menderita selamanya?
Jika masuk surga, saya akan menyusun agenda berikut:
- Bercinta dengan bidadari yang selalu kembali perawan, yang kulit-kulitnya putih cerah, memantulkan cahaya.
- Mencoba meminum sungai madu, mengingat madu-madu asli mahal harganya ketika di dunia. Ah, tapi sebelum meminumnya, saya akan mengetesnya terlebih dahulu. Apakah ia dapat dibakar? Apakah ia tidak membeku bila diletakkan di dalam kulkas? Apakah ia tidak akan dikerubungi semut? Barangkali saja, buat jaga-jaga, sungai madunya juga dicampur air.
- Bercinta lagi.
- Tidur, tapi, apa ada rasa kantuk nanti?
- Bercinta lagi, eh tunggu dulu, apa nanti nafsu juga masih ada?
Saya menggeleng-geleng, mengangguk-angguk dan seorang yang berprinsip empiris harus menguji jawaban secara langsung. Apakah Ernest Hemingway meyakini empirisme?
Orang-orang yang benci agama seringkali menjadikan empirisme sebagai tameng. Mereka berteriak, “Jika Tuhan ada, muncul sekarang juga!”
Lalu hujan turun, seharusnya mereka berpikir hujanlah Tuhan.
Sebaliknya, jika masuk neraka, ah saya tidak ingin masuk neraka. Ngeri. Saya membaca buku siksa api neraka ketika masih kecil. Ada yang ditusuk-tusuk dengan besi panas, disiram dengan lahar, dan yang paling ringan siksaannya, berjalan di terompah api. Pasti panas sekali.
Sementara orang-orang menghindari panas di bumi. Di kamar memasang AC. Tak ada AC, siang-siang enaknya masuk ke dalam lemari es.
Saya pernah berpikir untuk masuk ke lemari es dan mencoba membekukan hati saya. Tapi sudah saya setel nol derajat celcius, hati saya tak beku juga. Saya takjub menyadari titik beku hati lebih minus daripada titik beku air.
Saya kemudian berkonsultasi ke mahasiswa Fisika tentang hal tersebut. Mahasiswa itu bilang, tidak seharusnya titik beku hati lebih minus daripada titik beku air. Ia mencopot hati saya dan menjadikannya sebagai objek penelitian.
Ia meminta waktu selama satu minggu untuk mencari kebenaran dan entahlah, saya merasa senang berjalan-jalan tanpa hati.
Di jalan saya melihat seorang pengemis, dan saya tak tergoda memberi uang kepadanya. Kemudian saya menonton drama Korea dan baru kali itu saya tak menangis. Saya pukul semua orang yang saya temui dan tidak ada perasaan bersalah.
Dalam keadaan tanpa hati saya berpikir, kenapa manusia diciptakan ada yang kuat dan ada yang lemah? Hal itu terjadi bukanlah agar yang kuat melindungi yang lemah, melainkan agar yang kuat melindasi yang lemah.
Dalam keadaan tanpa hati, waktu terasa cepat berlalu. Mahasiswa Fisika meneleponku dan memintaku datang menemuinya.
Kami bertemu di kafe. Kafe itu memainkan lagu-lagu cinta seperti lagu yang dinyanyikan kembali oleh Ahmad Dhani. Judulnya Kawin Tiga. Dalam keadaan tanpa hati, lagu itu terasa romantis sekali.
Mahasiswa Fisika itu menyerahkan sebuah kresek. Di dalamnya ada hati saya.
“Saya sudah tahu jawabannya…” katanya.
Saya diam.
“Hati kamu penuh cinta. Aku tak yakin, bahkan bila hati kamu diletakkan di Everest, ia dapat membeku. Cinta di hati kamu selalu lebih api dari api.”
Saya berusaha mencerna kata-kata itu dan berpikir apakah Hemingway pernah mendapatkan kalimat seperti ini di dalam hidupnya? Apakah Hemingway juga pernah merasakan cinta?
“Orang-orang yang punya cinta tidak perlu mati….” lanjutnya sambil menunduk. Kemudian seorang pelayan mengantarkan menu, dan berdiri di samping meja dengan pose siap mencatat kata-kata kami.
Sayangnya, saat itu, saya kehabisan kata-kata.
(2015)