Antara Kapitalisme dan Harga Buku yang Semakin Mahal

20415_10205370497733650_5408135833209091215_n

                Baru-baru ini, beberapa penerbit mengumumkan kenaikan harga buku-bukunya. Kenaikan itu berkisar antara 10-20%. Banyak konsumen/pembaca buku mengeluh karena harga buku makin tinggi dan tak terjangkau.

Di tengah kelesuan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi, penjualan buku mengalami penurunan. Hingga kuarter ketiga tahun 2015, penjualan buku turun hingga 40%. Konsumen buku menjadi sangat selektif karena mereka juga harus mengencangkan ikat pinggang. Barangkali hal ini juga yang menyebabkan banyak penerbit mengobral buku-bukunya sepanjang tahun 2015. Bisa kita lihat di gerai-gerai Carrefour, Giant, Hypermart, dan toko-toko buku, buku-buku dijual mulai harga Rp10.000,-

Lesunya industri buku diperparah dengan penegakan aturan pengenaan PPN 10% untuk setiap buku nonpendidikan. Banyak penerbit kecil gulung tikar akibat penerapan PPN tersebut.

Penerbit-penerbit kecil tidak memiliki percetakan sendiri. Setiap kegiatan yang menghasilkan nilai tambah, dengan entitas berbeda, berarti memunculkan kewajiban pajak. Implikasinya, harga pokok produksi mereka juga naik 10% karena percetakan pun harus melaporkan pajaknya.

Kemudian, setelah buku selesai dicetak, buku didistribusikan ke toko buku. Ada dua pihak lain yang terlibat dalam rantai industri buku, yakni distributor dan toko buku. Pembagian pendapatan dalam rantai tersebut rata-rata adalah 17% distributor, 35% toko buku, 38% untuk penerbit dan 10% untuk penulis. Setelah itu masing-masing pihak juga dikenakan pajak penghasilan.

Pertanyaannya, bagaimana perhitungan dan pembebanan PPN kepada masing-masing pihak?

Ilustrasinya, harga buku dari penerbit Rp100.000,- maka harga jual di toko buku adalah Rp110.000,-

Proporsi pendapatan dari setelah PPN disisihkan terlebih dahulu seharusnya:

  • Penerbit 38% x 100.000 = 38.000
  • Royalti penulis 10% x 100.000 = 10.000
  • Distributor 17% x 100.000 = 17.000
  • Toko buku 35% x 100.000 = 35.000

Secara adil, pembagian pendapatannya harusnya seperti itu.

Namun, per September lalu, secara sepihak, pembagian pendapatannya menjadi 39% toko buku, 17% distributor, 10% penulis dan 34% penerbit. Terjadi pengurangan 4% milik penerbit yang dialokasikan ke toko. Saat saya tanya kenapa demikian, awalnya pihak penerbit mengatakan 4% itu untuk pemerintah. Saya tanya lagi atas dasar aturan apa 4% itu, apakah ia pajak? Kalau pajak, pajak pasal berapa dan ada di PMK(Peraturan Menteri Keuangan) no berapa? Mereka diam.

Jika penerbit hanya mendapatkan 34% dari harga setelah dipotong pajak, dengan harga pokok produksi 25%, maka penerbit hanya mendapat 9% atau Rp9.000,- per buku. Jika oplah minimal 3000 buku, maka modal yang dibutuhkan adalah 75 juta. Maka untuk mencapai BEP, penerbit harus dapat menjual minimal 2250 buku atau 75% dari oplah. Dengan kondisi sekarang, rata-rata buku per judul terjual 250 buku/bulan, berarti aliran kas untuk BEP adalah 9 bulan. Tak heran, jika banyak penerbit gulung tikar.

Dengan enteng kemudian, penerbit diberi solusi oleh mereka untuk menaikkan harga buku 20% agar mendapatkan pendapatan seperti semula. Namun kenaikan harga 20% akan memberatkan konsumen buku.

4% yang diminta pihak toko, usut diusut adalah “kompensasi” PPN yang dibebankan ke penerbit. Atau, pihak toko tidak mau dibebani dengan membayar PPN. Mereka menaikkan tarifnya akibat PPN. Sementara kalau harga dinaikkan, keuntungan yang didapatkan oleh toko akan semakin besar. Inilah benar-benar sifat kapitalis!

Solusinya?

Pertama, pengenaan PPN atas buku menjadi awal kekisruhan ini. Di tengah upaya menggalakkan dunia literasi, kita malah dihadapkan dengan kondisi harga buku yang semakin tinggi. Saya tidak paham kebijakan pemerintah jika memang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, harusnya memperhatikan industri buku dari hulu ke hilir. Untuk itu, PPN atas buku harus dihapuskan.

Kedua, pihak yang egois adalah pihak toko buku. Hal itu terjadi karena posisi tawar mereka yang kuat dengan memiliki banyak toko buku di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah dapat melakukan pengelolaan pada gedung-gedung pemerintah, dewan kesenian daerah, perpustakaan daerah, untuk menjadi toko buku dengan pembagian pendapatan yang lebih rendah dari toko buku lain. Di satu sisi, hal ini dapat menjadi PNBP, di satu sisi ini akan membantu persebaran buku.

Pada akhirnya, pemerintah memang bertanggung jawab untuk meningkatkan minat baca rakyat Indonesia sehingga tidak melulu rakyat Indonesia mendapat peringkat rendah dalam kategori minat baca. Bukankah buku adalah jendela dunia?

Wallahualam.

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *