Dragon Ball Super sudah melebihi episode 100. Kelanjutan cerita Akira Toriyama itu terpaut cukup jauh dari Dragon Ball Z, yakni sekitar 10 tahun. Tidak seperti Dragon Ball GT yang dianggap sebagai cerita fan fiction, Dragon Ball Super adalah versi kanon Dragon Ball. Artinya, ia harus betul-betul memperhatikan karakter hingga plot Dragon Ball sebelumnya.
Satu nilai tambah dari seri ini adalah karakter-karakter yang tenggelam akibat superiotas Son Goku dimunculkan dan didalami sehingga pemirsa dapat lebih memahami berbagai sudut pandang tiap karakternya. Son Goku memang tokoh utama, tapi bukan berarti potensi perkembangan karakter yang ada pada (misalnya) Son Go Han diabaikan.
Usaha untuk mengungkap berbagai sudut pandang dalam satu cerita itu juga dilakukan Han Kang dalam The Vegetarian. Han Kang adalah penulis prosa Korea kedua yang kubaca setelah Tablo. Personel Epik High yang juga lulusan sastra Stanford University itu pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen.
Mulanya aku berpikir The Vegetarian akan berisi tentang bagaimana kehidupan seorang vegan. Namun, yang kudapat adalah berbagai bentuk kemuraman—yang mau tak mau juga membuatku gelisah.
The The Vegetarian bercerita mengenai seorang perempuan bernama Yeong Hye yang mendadak berubah menjadi The The Vegetarian. Suaminya begitu kaget dengan perubahan tersebut. Yeong Hye berasal dari keluarga yang menyukai daging. Ia punya seorang kakak dan seorang adik. Mendengar Yeong Hye tidak mau makan daging lagi, dan melihat ia berubah menjadi begitu kurus, keluarganya sangat khawatir dan memaksa ia memakan daging. Sayangnya, usaha itu malah berakibat percobaan bunuh diri yang dilakukan Yeong Hye.
Jika pidana mengenal mens rea, cerita juga kudu memiliki motif. Kenapa Yeong Hye mendadak berubah menjadi vegan? Bagaimanakah masa lalu Yeong Hye? Bagaimanakah keadaan pernikahan mereka? Seperti apa keluarga Yeong Hye? Pertanyaan-pertanyaan itu berkelindan ketika mulai membaca novel ini, dan Han Kang begitu terampil menuliskan jawabannya.
Jawaban itu bukanlah mengenai Young Hye semata, tapi juga melingkupi manusia, atau lebih jauh… kehidupan itu sendiri.
Saya pernah bertanya-tanya ketika masih remaja, kenapa kok sebelum menikah banyak orang berpacaran, dan ada yang hingga berkali-kali. Seorang teman menjawab hal itu untuk saling mengenal. Tidak mungkin kita beli kucing dalam karung, menikahi seseorang yang tidak kita kenali. Meski di sisi lain, banyak juga orang yang menikah tanpa menjalani proses pacaran itu dan memiliki risiko sama: bahagia atau tidak bahagia. Pernikahan kemudian dirayakan dengan begitu mewah seolah-olah itu adalah akhir yang paling bahagia dari sebuah hubungan. Dongeng-dongeng pun mengakhiri cerita dengan pernikahan-bahagia-selamanya.
Saya sudah menikah. Dan saya berpacaran lebih dari tiga tahun dengan istri saya. Tapi, setelah menikah, saya menyadari, saya sama sekali belum banyak mengenal dia. Dan meski, saya mengenal dia, manusia berubah. Dia juga akan berubah, dan setiap hari kita mengalami proses itu—proses untuk saling mengenali dan memahami perubahan masing-masing.
Bukan hanya itu, pernikahan juga kerap membuat kita menyadari, sesungguhnya kita belum banyak mengenali diri kita sendiri.
Cara memandang pernikahan itu pun berbeda-beda. Pada serial Dragon Ball, bangsa Saiya sebagai bangsa petarung menikahi wanita-wanita Bumi. Bangsa Saiya yang superior itu malah tak bersemena-semena terhadap istri mereka. Malah mereka sangat menghormati istri-istrinya.
The Vegetarian adalah antithesis penelitian Burges dan Locke. Menurut Burges dan Locke (196)), hubungan antar suami-istri berubah dari hubungan yang ada pada keluarga yang institusional ke hubungan yang ada pada keluarga yang companionship. Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-faktor seperti adat, pendapat umum dan hukum. Seiring perkembangan zaman, pengaruh faktor-faktor tersebut mulai berkurang. Hubungan antar suami-istri kini seharusnya lebih didasarkan atas pengertian dan kasih sayang timbal balik serta kesepakatan mereka berdua.
Pola yang adalah pola yang otoriter, sedangkan companionship adalah pola yang demokratis. hubungan yang otoriter menunjukkan pola hubungan yang kaku, seorang istri yang baik adalah istri yang melayani suami dan anak-anaknya. Sebaliknya, dalam pola yang demokratis hubungan suami-istri menjadi lebih lentur, istri yang baik adalah pribadi yang melihat dirinya sebagai pribadi yang berkembang terus.
Korea Selatan menganut sistem patrilineal. Dalam hal pernikahan, kebanyakan pola yang dianut adalah pola yang otoriter. Pola otoriter ini bisa bersifat hubungan owner property, bisa juga ke head complementer. Owner property menekankan peran istri sebagai milik suami seutuhnya yang diatur dan ditata oleh suaminya. Sementara pola head complementer tak berbeda jauh, istri adalah pelengkap sang suami. Bedanya adalah sifat otoriter sang suami berkurang karena istri diperbolehkan memilih dan menentukan pilihan dalam konteks rumah tangganya.
Kekuatan adat yang dimiliki Korea Selatan ini kemudian berhadapan dengan perkembangan yang dialami negara tersebut. Sejak Olimpiade Seoul 1988, Korea melesat menjadi salah satu negara maju di Asia bahkan pelan-pelan menggeser Jepang sebagai negara pengekspor teknologi.
Hal yang dilakukan oleh Korea Selatan untuk mencapai itu semua salah satunya dengan strategi kebudayaan. Kebanggaan pada identitas Korea itu ditanamkan dalam segala bidang sehingga segenap lapisan masyarakat mampu mengidentifikasi siapa dirinya, apa masa lalunya, dan bagaimana masa depan yang mereka inginkan.
Namun, pertumbuhan ekonomi dan liberalisme pasar juga membawa efek samping, yakni infiltrasi kebudayaan dan filsafat yang menyertainya. Mulai dari pandangan tentang modal hingga pandangan mengenai gender dalam berbagai relasinya, termasuk dalam pernikahan.
Perempuan-perempuan Korea memiliki dualisme. Mereka dituntut cantik (yang berarti terikat oleh pandangan misoginis). Di sisi lain, wanita ini ingin tampil cantik karena dengan cara itulah kesempatan kerja ke perusahaan yang bagus meningkat. Keinginan wanita untuk mandiri ini terkait dengan feminisme. Dualisme itu tak hanya sampai di situ. Pada jenjang pernikahan, hal itu terjadi pula. Dalam dunia selebritis misalnya, artis wanita Korea yang sudah menikah banyak yang diminta berhenti berkarir oleh suaminya
Disadari atau tidak, dualism dalam peran itu akan menimbulkan rasa asing. Rasa asing itulah yang disajikan Han Kang pada karakter-karakter di dalam The The Vegetarian. Kritik terhadap pernikahan yang makin kini hanya semacam lembaga/ institusi suami dan istri, hubungan profesional semata dalam memerankan fungsi masing-masing. Hal ini saya duga tidak terlepas dari tren pernikahan di Korea Selatan, yang menjadikan kesuksesan sebagai tolak ukur, sehingga usia pernikahan makin lama makin tua ( >35 tahun).
Han Kang juga mengkritik bahwa pernikahan tak bisa mengekang hasrat seseorang. Hal ini terlihat dari bagaimana suami Yeong Hye kerap membayangkan hal erotis bersama kakaknya Yeong Hye, juga kakak ipar Yeong Hye menginginkan dirinya dengan dalih ekspresi seni. Dalam kenyataan, open marriage juga kian menjamur. Tak masalah kau mau bercinta dengan siapa, asalkan selalu kembali ke rumah dan bertanggung jawab terhadap keluargamu.
Pernikahan sebagai fenomena budaya (dan pergeserannya) ini diterjemahkan dengan begitu suram oleh Han Kang.
Tak seperti prosa Korea yang baru dua buah yang saya baca, film dan serial drama Korea sudah lama menjadi favorit saya. Baeksang Award beberapa hari lalu memunculkan kejutan hebat karena Goblin yang digadang-gadang akan menang mudah, kalah oleh serial drama yang ratingnya jauh lebih rendah: Dear My Friends. Drama ini ditulis oleh Noh Hee Kyung yang juga menulis drama It’s Okay It’s Love.
Noh Hee Kyung setia pada drama-drama realis. Ada satu kesamaan It’s Okay It’s Love dengan The The Vegetarian, yakni sakit mental yang diderita para tokohnya. Yeong Hye dan Jang Jae Yeol sama-sama menderita Skizofrenia. Baik Hee Kyung maupun Han Kang memaparkan masa lalu yang gelap yang dialami tokohnya: kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Ketidaksanggupan mental manusia menanggung rasa sakit itu melahirkan gangguan kejiwaaan. Penderita skizo akan mengalami episode demi episode halusinasi, dalam sebuah skenario yang sebenarnya ia ciptakan sendiri. Akhir dari skenario itu adalah keadaan yang membahayakan diri mereka. Perbedaannya, Hee Kyung memberikan penyelesaian konflik yang mudah dan bahagia (karena drama adalah kitsch, yang mempertimbangkan pasar), sementara Han Kang membiarkan konflik itu melahirkan potensi konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh di sekitar Yeong Hye (terutama kakaknya). Han Kang seakan melegitimasi bahwa karya sastra adalah karya yang hidup dan bebas ingin hidup seperti apa di benak para pembacanya.
Dalam kegelisahan ini, saya kembali bertanya-tanya, kenapa setiap orang ingin bahagia? Apa sih sebenarnya kebahagiaan itu? Dan kenapa Tuhan menciptakan kebahagiaan?***