Lupa
Hawa dingin terasa mengepungku. Aku merasa ada sesuatu yang hangat berdersir naik ke kepalaku. Ingin kubuka mata, tetapi kelopak mata terasa seperti berton-ton muatan yang ditimpakan ke atas mata, berat sekali. Aku beralih mencoba menggerakkan kaki dan tangan, tetapi mereka terasa begitu kaku. Segala yang tadinya leluasa kugerakkan tidak merespon kecuali aku masih dapat menggerakkan kepalaku dan menggeliatkan tubuhku dengan payah.
Tiba-tiba aku merasa tubuhku disepak. Sepakannya terdengar begitu keras, tetapi aku tak merasa begitu sakit. Sepakan itu beberapa kali menerpaku. Mulanya ia menyepak kakiku hingga ke sisi-sisi tubuhku. Ia tampak belum puas karena setelah itu ia menampar-nampar pipiku sampai akhirnya aku bisa membuka mata. Seorang lelaki muda, kotor, dan perawakan yang berantakan tampak memandangiku.
“Syukurlah,” katanya, “aku pikir kamu sudah tidak bisa dibangunkan,” lanjutnya sambil memberiku segelas air hangat. Sebelumnya ia membantuku duduk dan kusadari ia telah menyelimutiku dengan banyak kain.
“Kamu bisa saja mati kedinginan tadi…” kata lelaki itu sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Tapi untunglah, setelanmu itulah yang mungkin sempat melindungimu…. ngomong-ngomong siapa kamu? Kenapa kamu berada di sini? Apa kamu mabuk semalam, lalu tak sengaja terkapar di sini?” Ia menyerbuku dengan pertanyaan sambil membaui tubuhku yang mungkin meninggalkan bau alkohol.
Aku masih kesulitan dalam mencerna pertanyaan demi pertanyaan itu. Kepalaku masih terasa pusing dan kurasakan masih sedikit tenaga yang berhasil kukumpulkan.
Setelah kusingkap kain-kain yang menutupi tubuhku, aku baru menyadari aku mengenakan setelan yang sungguh mewah. Ini bukan hanya tentang jas dan celana bahan, lengkap dengan dasinya, yang kukenakan. Tapi begitu aku meraba pakaianku, aku tahu bahan yang digunakan untuk membuat pakaian itu bukan bahan yang murah.
Ketika aku berusaha menjawab pertanyaan siapa aku, kepalaku terasa berpusing hebat. Aku tidak bisa menemukan memori itu. Yang ada di kepalaku malah banyak hal lain seperti cerita-cerita di seputar Konferensi Asia Afrika, kemenangan Barcelona atas Juventus di final Liga Champion, disanksinya Indonesia oleh FIFA yang di saat bersamaan terkena skandal dan mengakibatkan Sepp Blatter mengundurkan diri dari Presiden FIFA padahal ia baru saja terpilih. Aku berusaha mengingat diriku, mengingat-ingat hal yang kulakukan semalam sehingga aku bisa berada di sini sekarang. Tapi aku tak bisa menemukannya. Aku tak ingat diriku. Aku bahkan tak ingat namaku!
Dia
“Apa? Kau tak ingat? Jangan bilang kau terkena amnesia…” kata lelaki itu. Ia menatapku dengan wajah yang bingung. Kerutan tampak di dahinya.
Suara kendaraan yang melintas mulai sering terdengar. Suara hewan-hewan malam masih ada. Kuperhatikan sekelilingku yang penuh pepohonan dan bangku-bangku. Aku menyadari ini sebuah taman karena bentuknya yang dibuat sedemikian rapi. Lampu-lampu penerang malam dengan cahaya kuning keoranyean juga masih menyala. Kudongakkan kepala, kuperhatikan langit yang berada di balik dedaunan di pucuk-pucuk pepohonan. Aku segera tahu, sebentar lagi pagi akan datang.
Aku masih memegang gelas yang ia berikan. Ada asap yang mengepul di atasnya. Aku mulai menyeruputnya dan sensasi meminum air hangat di suhu udara yang dingin terasa begitu melegakan kerongkongan. Bibir dan lidah yang tadinya kaku dan begitu kering juga terasa lebih baik.
Lelaki itu masih muda. Setidaknya dia tidak mungkin lebih tua dariku. Rambutnya panjang sebahu, hidungnya mancung dan mukanya, meski kotor, tidak menampakkan tanda-tanda penuaan. Dia mengenakan mantel bulu tebal berwarna abu-abu. Aku pikir tidak mungkin mantelnya terbuat dari bulu serigala.
“Aku sudah melihat semua jenis manusia, tapi aku belum pernah melihat manusia hilang ingatan. Ya, kecuali di sinetron. Tapi darimana aku punya televisi, bukan?” katanya lagi sambil terkikik.
“Orang-orang ingin punya rumah, tidur di kasur yang empuk, kalau panas ada AC, kalau dingin bisa pakai penghangat, kau malah tidur di sini,” ocehnya.
Aku tak begitu menggubris ucapannya dan masih berusaha memahami diriku. Yang pertama berusaha kuingat adalah nama. Andi, Rendi, Subandi, ada banyak nama berseliweran di kepalaku, tetapi aku tak merasa dekat dengan nama-nama itu. Aku malah mengingat sebuah ucapan Shakespeare—ah, aku bahkan mengingat Shakespeare! What is in a name? Aku tak tahu kenapa what is diterjemahkan sebagai apalah yang terkesan meremehkan, bukan malah apakah yang membutuhkan jawaban.
Tiba-tiba aku merasakan getaran dari dada kiriku disertai kokok ayam jantan yang makin lama volumenya makin meninggi. Di balik jas, terdapat saku dan aku menemukan sebuah ponsel. Ponsel tersebut tidak terkunci dan hanya menampilkan gambar langit biru sebagai background.
Kugerakkan jariku untuk menghentikan alarm. Segera aku mencoba membuka menu kontak. Dan aku tidak menemukan kontak siapapun yang tersimpan di ponsel itu. Aku coba buka kotak pesan, sama, kosong juga. Galeri juga tidak memuat foto sama sekali. Benar-benar seperti ponsel yang baru dibeli dari toko.
“Ponselmu?” tanya lelaki itu. “Bagus tuh, tampak seperti keluaran terbaru. Aku sih nggak punya ponsel,” lanjutnya.
Aku hanya bisa menggeleng. Aku tak ingat ponsel ini.
“Kau tak ingat ponsel ini?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Dia dengan cepat merebut ponsel itu dari tanganku. “Sini, coba kulihat…”
Barangkali itu kebiasaannya untuk meminta izin belakangan.
“Hah, kok kosong nggak ada apa-apanya?”
Aku hanya bisa mengangkat bahu. Sama-sama tidak tahu jawabannya.
Dia tampak mengutak-atiknya lalu beberapa kalimat meluncur dari mulutnya. “Waw, pulsamu banyak. Pas seratus ribu. Tapi kok kamu pakai kartu ini sih?” Aku tahu nama provider yang disebutkannya memang sering bermasalah dengan layanan. Tiba-tiba pulsa lenyap, paket internet habis…eh…sebentar…. “Nah ini ketemu, nomor ponselnya ada,” lanjutnya persis seperti yang aku pikirkan..
~
Aku menemukan beberapa keanehan. Keanehan pertama, bagaimana mungkin sebuah ponsel masih memiliki kapasitas baterai yang penuh setelah lama menyala. Tidak mungkin hanya 1-2 jam aku tidak sadarkan diri. Setidaknya baterai itu tidak menunjukkan angka 100%. Itu angka yang mustahil. Kecuali bila ada seseorang yang sengaja meletakkan aku dan kemudian menaruh ponsel baru itu ke dalam sakuku, hanya beberapa saat sebelum aku sadarkan diri. Keanehan kedua, lelaki gelandangan ini mengaku tak punya televisi dan tak punya ponsel, tetapi ia tahu berita-berita dan begitu fasih memakai ponselku barusan.
“Taman ini jadi nyaman setelah ada walikota baru itu… sudah tidak ada sampah-sampahnya. Aku jadi bisa tidur lebih nyenyak di sini. Semoga saja dia tidak keburu nafsu seperti walikota yang dulu itu. Diliput media, masuk televisi, jadi gubernur, dan sekarang bisa jadi presiden. Aku sih ya, tidak suka durian dikarbit. Durian yang masak di pohon itu lebih enak….” celotehnya sambil memunguti daun-daun kering yang berguguran di sekitar kami. Ia lalu berjalan ke arah tong sampah dan pas memasukkannya ke dalam tong sampah organik.
Aku jadi merasa dia bukan gelandangan sembarangan. Cara bicara dan sikapnya tampak cukup berpendidikan.
“Aku benar-benar bingung harus bagaimana memperlakukanmu. Dengan nomor ponsel itu apa kita seharusnya ke rumah sakit atau ke customer center kartumu? Atau kau mau coba resep jituku? Kalau orang amnesia biasanya sih karena benturan dan perlu benturan lagi untuk mengembalikan ingatan.”
Aku bergidik membayangkan dia akan membenturkan kepalaku ke bangku taman atau ke batang pohon pinus yang diameternya lebih panjang dari lebar tubuhku. Tapi kuraba juga daerah-daerah di kepalaku. Barangkali benar ada benturan. Namun, semua tampak baik-baik saja. Bekas digigit nyamuk pun tidak ada.
Aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Aku bahkan belum tahu siapa namanya. Sementara aku belum berucap satu kata pun sejak aku sadarkan diri tadi.
Bunyi burung-burung semakin ramai. Bunyi kendaraan lebih ramai lagi. Orang-orang lewat juga banyak. Sebagian mereka sedang jogging dan lari pagi. Beberapa sudah masuk ke dalam taman dan duduk-duduk di bangku taman. Orang-orang tua berjalan di track yang sudah disediakan. Kami berdua agak tersembunyi di pojokan di balik semak bunga-bunga. Aku tahu ini Taman Lansia. Dekat dengan Gedung Sate.
“Ini benar-benar aneh. Sampai detik tadi aku masih merasa kau sedang beracting di depanku. Lalu akan ada kamera rahasia di sekitar sini dan muncul kru-kru tivi yang menyatakan aku sedang berada di dalam sebuah reality show. Tapi kau tahu, aku tidak percaya ada orang Indonesia bisa bermain peran dengan sempurna, apalagi untuk adegan lupa ingatan. Kau tampak seperti benar-benar lupa ingatan, mamen….”
“Aku benar-benar tidak ingat apa-apa…” akhirnya aku menjawab ucapannya. Dia tampak serius menatapku. Mata kami bertemu. Dia sedang mencoba mencari kebohongan di dalam diriku. Tapi aku tidak menyimpan satu pun rahasia.
“Oke, coba kau berdiri…” Dia segera membantuku berdiri dan tangannya langsung masuk ke dalam kantong belakang celanaku. Cepat sekali seperti seorang copet. Dia telah mengambil dompetku. Astaga, aku baru sadar kalau aku punya dompet. Dengan cepat pula dia membuka dompet itu dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
“Astaga… kau betul-betul orang kaya!” serunya sambil mengipas segepok uang ratus ribuan dengan tangan kanannya. “Setidaknya ini lebih dari dua juta. Orang macam apa yang membawa uang tunai sebanyak ini di zaman sekarang? Hah?”