Anna, Nova dan Critical In Danger

September lalu, aku mendapatkan kesempatan untuk datang ke Taman Nasional Way Kambas. Saat itu masih musim kemarau dan kabut asap melanda hampir seluruh Sumatra. Lampung belum terimbas karena arah angin lebih mengutara. Sumber kebakaran terparah pun ada di Sumatra Selatan, Jambi, dan Pekanbaru. Meskipun begitu, di beberapa titik di taman nasional, relawan pengawas api berjaga. Setiap ada potensi kebakaran, api kecil yang mulai tersulut, akan segera dipadamkan.

Saya ke Way Kambas bersama dengan Biodiversity Warriors, sebuah kelompok pemuda yang peduli pada keanekaragaman hayati.

Saat membaca Dunia Anna karya Jostein Gaardner, saya teringat mereka. Saya teringat betapa ada anak-anak muda yang hapal nama spesies, hewan dan tumbuhan, dan merasa sangat antusias ketika menemukan spesies-spesies di habitat aslinya. Mereka pun banyak memberikan pencerahan kepada saya tentang spesies dan pentingnya spesies itu.
Saya juga teringat ucapan Einstein yang mengatakan jika lebah menghilang/punah dari muka bumi ini, maka manusia hanya punya waktu dua tahun lagi untuk hidup. Ucapan Einstein itu mengindikasikan tentang peran dan keterkaitan setiap hal yang ada di dunia ini. Punahnya satu hal akan menjadi sebuah efek kepunahan yang lain. Termasuk juga, satu hal yang kamu lakukan di dunia ini, akan memiliki pengaruh pada keseimbangan alam semesta.

Filsafat seperti itu juga yang ada di Dunia Anna. Sesuai dengan subjudul novel ini yang bicara tentang filsafat alam semesta. Sehingga siapapun yang menyadari bahwa manusia hanya hidup di bumi, sebuah bola yang menggantung di tata surya, yang apa saja bisa terjadi kepadanya, seharusnya tidak merasa sombong. Manusia seharusnya tidak merasa bahwa merekalah yang berhak atas segala sesuatu di bumi ini dan tidak menjaga keseimbangan yang ada.
Ketika itu, di TNWK, saya sempat menyambangi sebuah kali yang kering. Tak ada airnya sama sekali. Di sana diletakkan ember-ember yang akan dipenuhi air dua kali seminggu untuk minum para satwa liar. Saya tak tahu, jika generasi saat ini tak merasa bertanggung jawab pada alam, tak peduli pada alam, generasi mendatang akan menjadi satwa-satwa yang tak lagi memiliki kali air.

Oh betapa….

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *