Ada Hal-Hal yang Tetap Tak Boleh Kita Ucapkan

Ketika menonton Inception, aku menyadari betapa berbahayanya sebuah ide. Ketika kita mengucapkan sesuatu, sama saja artinya dengan menanamkan sebuah ide di kepala kita sendiri maupun di kepala orang lain yang mendengarnya. Ide itu bisa menancap, bersembunyi, atau justru menyebar dengan cepat dan luas. Cepat atau lambat, ide itu akan mewujud di kenyataan yang kita jalani saat ini.

Pada dasarnya, kita tak boleh mengucapkan hal buruk. Karena hal buruk tersebut akan menjadi ide yang menggerogoti kita dan orang lain.

“Kita akan gagal!” Ini adalah contoh kalimat yang haram hukumnya diucapkan.

Ketika aku pindah dari Sumbawa, kemudian ke Bandung, lanjut kembali penempatan di Jakarta dengan rumah di Citayam, aku sebenarnya sangat menghindari kondisi ini. Siapa yang mau dengan sukarela berangkat sebelum jam 6 pagi, desak-desakan di kereta yang mirip dengan kaleng sarden, dan penumpangnya adalah ikan sarden yang dijejalkan, selama 1 jam lebih dengan memperhitungkan antrian di pemberhentian dekat-dekat Manggarai?

Saya bilang saya rela. Sungguh. Setelah sebulan menjalani hidup semacam ini, saya rela asal ketemu sama kekasihku dan anakku di rumah.

Namun, apakah pengorbanan semacam ini pernah dipahami oleh orang yang paling kita inginkan untuk memahaminya?

Di sisi lain, aku pun menjadi bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa aku menarik? Apa aku masih menarik? Apa aku sedemikian tidak pantasnya untuk mendampingi seseorang yang hebat? Apa aku memang seburuk itu, setidak bertanggung jawab itu? Apa aku meminta terlalu banyak? Apa semua caraku salah? Sehingga terucaplah hal-hal yang seharusnya tidak diucapkan?

Mungkin saja karena karakter manusia yang berbeda-beda. Ada orang yang ketika ulangan di sekolah maunya dapat nilai terbaik terus. Atau telah terbiasa bersama orang-orang yang begitu luar biasa sehingga ketika mendapati hal yang biasa-biasa saja, atau justru kurang, langsung kecewa.

Hidup mengajari saya mendapat nilai 3 di sekolah. Saya sih mau dapat 10. Jika saya menuntut 7 yang tersisa, saya akan malu sendiri. Memangnya saya sudah seberusaha apa untuk mendapatkan nilai sempurna? Saya sudahkah belajar dengan giat?

Ketika baru masuk DSP, saya mendapat kalimat yang luar biasa dari ibu-ibu di Bagian Umum. “Ya beginilah hidup, nggak mungkin mau enak-enaknya saja. Semua pasti ada kurangnya. Kurangnya itu bukan diterima dengan berat hati, tapi ya dinikmati. Nanti suatu hari barangkali kalau serius menjalani, kenangan susah-sedih itu malah jadi lelucon untuk lebih bahagia.”

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *