Sejarah Bulan Bahasa

Ada yang masih ingat bunyi Sumpah Pemuda?

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

 

Sejarah penetapan Oktober sebagai Bulan Bahasa juga tak terlepas dari Sumpah Pemuda. Salah satu sumpah yang tercantum dalam Sumpah Pemuda berbunyi, “Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”.

Sumpah tersebut terlihat sederhana, namun memiliki makna yang luas. Bagaimana tidak, bangsa Indonesia terbentuk dari beragam suku dan bahasa. Peta Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 2008 mengidentifikasi ada 442 bahasa daerah di Indonesia. Belum lagi bila ditambah aksennya. Data terbaru menyebutkan jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 652 bahasa, menurut  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2017).

Dari bunyi sumpah tersebut, khusus tentang bahasa, diksi yang digunakan adalah “menjunjung” bukan “mengaku”, “bahasa persatuan” bukan “bahasa yang satu”. Diksi itu tentu memiliki makna tersendiri.

Kata menjunjung tak sekadar mengaku. Dalam thesuarus, kata junjung juga berarti dari kata junjung adalah membawa, mendukung,menyunggi, memuliakan, memundi-mundi, memunjungi, menghormati, mematuhi, menaati, mengindahkan,menuruti. Diksi menjunjung mengacu pada keharusan sikap yang nyata. Bahasa Indonesia tidak cukup hanya diakui, tetapi harus lebih dari itu yakni dijunjung. Sedangkan kata persatuan memiliki makna “bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.

Pada Oktober 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36). Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

 

Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu

Dilansir dari Kemendikbud, keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan di antaranya menyatakan bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Sejak zaman dulu, bahasa Melayu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu dikenal di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Buktinya adalah prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara. Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

 

Peringatan Bulan Bahasa

Peringatan Bulan Bahasa adalah momentum untuk merawat Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang seharusnya dijunjung kini semakin tergerus. Maraknya kosa kata asing yang berseliweran di kehidupan kita sehari-hari mengancam Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi yang seharusnya digunakan di ruang publik. Apalagi sekarang kian merebak bahasa sosialita dalam jejaring media sosial, istilah-istilah “alay” dalam kamus gaul remaja masa kini juga terus meningkat, dan yang terbaru fenomena bahasa “Anak Jaksel”.

Pengutamaan bahasa Indonesia adalah sesuatu yang sangat perlu. Hal ini bukan hanya tugas Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB), melainkan juga tugas seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, sebagai bentuk upaya BPPB untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia, kegiatan Bulan Bahasa dan Sastra yang diselenggarakan setiap tahun. Tujuannya tidak lain sebagai bentuk memelihara semangat dan meningkatkan peran serta masyarakat luas dalam menangani masalah bahasa dan sastra itu.***

PS:

Selanjutnya, akan dibahas peranan sastra dalam bahasa.

***Tulisan dikutip dari berbagai sumber.

 

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *