Tidak Mudah Menjadi Hesti-nya Maulidan Rahman Siregar

Apa kabar indonesia?

Maaf jika masih menggunakan huruf kecil.


Orang mungkin akan menyebut Joko Pinurbo atau Hasta Indrayana kalau ditanya siapa penyair yang sajaknya penuh humor dengan makna yang mendalam. Sekarang, nama itu patut ditambah seorang lagi, Si Brewok, bernama Maulidan Rahman Siregar.

Kutipan puisi di atas tampak sederhana. Hanya persoalan penggunaan huruf kecil pada kata Indonesia yang seharusnya diawali huruf kapital. Tafsir yang muncul adalah belum mampunya Indonesia menjadi negara besar. Bisa juga ketiadaan kapital (modal) di negara kita yang sudah sedemikian dikuasai asing. Kapitalisme, disadari atau tidak, masih membuat bangsa kita menjadi bangsa kecil (atau mungkin juga kerdil).

Kredo Maulidan

Suatu hari di Facebook, Maulidan pernah menulis pernyataan betapa herannya dia pada orang-orang yang menulis buku tapi menampilkan kesedihan. Hidup ini sudah begitu sedih. Baca buku seharusnya buat hiburan.

Aku tak mengerti kenapa ia bisa berpikir demikian. Setelah kubaca buku Tuhan Tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang, barulah aku menemukan Hesti sebagai alasan. Maulidan sepertinya mengalami patah hati kronis. Dunia tanpa wanita yang ia cinta adalah dunia omong kosong. Ia pun menciptakan dunia baru, dunia yang menggembirakan, dengan Hesti yang bisa hadir di mana saja, kapan saja, dan mampu menjadi apa saja. Hal ini mengingatkan kita pada kredo celana Jokpin yang mampu hadir dalam berbagai situasi dan menciptakan berbagai penafsiran.

Maulidan melakukan konstruksi Hesti persis dengan cara Jokpin mengonstruksi celana. Pada suatu waktu Hesti berada dalam lagu, Hesti mandi, Hesti bisu, tula dan buta, dan pada waktu yang berbeda Hesti bisa rekaman juga.


Aku pernah melihat Hesti berenang sambil

memegang jenggot Chris Martin di tangan

kirinya. dan ikan-ikan yang cemburu melihat

mereka berdua, lari ke penggorengan ibu.


Kalau kenal Coldplay, kamu pasti kenal Chris Martin. Aku suka sih mendengarkan Coldplay, tapi tak sesuka Mario F. Lawi yang sampai punya buku khusus “Mendengarkan Coldplay” yang terinspirasi lagu-lagu Coldplay.

Upaya Maulidan ini mengingatkanku pada jenis senin Pop Art. Pop Art sebagai bagian dari posmodernisme memiliki karakteristik warna-warna yang cerah dan mencolok, lalu mamadu-padankan gambar selebriti populer, karakter fiksi dalam komik, iklan, dan juga majalah yang dikemas sedemikian rupa. Masuknya Chris Martin ke dalam puisi, sebagai sebuah alusi (yang tentu Maulidan punya maksud, intertekstual, tersendiri) bisa dibilang sebagai karakteristik itu.

Masih banyak tanda-tanda kemencolokan Maulida sebagai justifikasi bahwa Maulidan adalah seniman puisi Pop Art. Dalam puisi berjudul “Sajak Tak Punya” misalnya, Maulidan  menulis lirik Pelacur Vietnam dijual murah. Urut Badan Thailand 30 ringgit dapat kaki. Orang Bangla menjual teksi dalam omongan. Pengemis Indonesia tak dapat pulang. Ditangkap, dikurung. Melayu pada dibunuh cina-cina. Maulidan gila, dia menulis nama negara itu menggunakan huruf kapital. Ya, bagian Indonesia, dilekatkan dengan kata pengemis. Aku tak tahu Maulidan sadar atau tidak ulahnya ini menghasilkan tafsir yang jahanam. Kita menjadi bangsa pengemis yang besar, dengan utang yang terus membesar. Aku pun tak tahu kenapa cina-cina dipakaikan huruf kecil juga. Apakah ini mengisyaratkan sentimen orang Melayu kepada orang Cina?

Menjadi Romantis Ala Maulidan

Kebanyakan puisi romantis menggunakan kata rintik hujan, desau angin, temaram senja. Kata-kata bersedu-sedan macam itu tak akan kita jumpai pada diri Maulidan.

Maulidan menjadi romantis dengan cara yang berbeda, tak disangka-sangka. Misalnya:


Aku ingin tua di puisimu.

Tulislah apa saja, kekasih.

Setia Novanto bunuh diri misalnya.


Coba simak yang ini:

Mencintaimu

bagai dangdut kini-kini

makin pedih syair

makin asyik goyang-goyang


Atau yang ini boleh juga:

Hesti tak pernah jadi abadi

tak pernah selesai ditulis

puisi selalu ada kurangnya


Di sini, Maulidan mengajari aku sebuah hal penting. Aku-puisi sebenarnya bisa dijelajahi. Karakter aku-puisi (begitu juga dalam aku-fiksi) tidak selalu harus yang tinggi. Keprofanan karakter bisa digali dalam berbagai sudut pandang. Ke-apa-adanya-an dan keluguan (dalam bingkai kebrengsekan) bisa menghasilkan sesuatu yang indah dan mendalam. Karakter-karakter profan semacam ini kita jumpai dalam novel-novel Eka Kurniawan seperti O dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.

Maulidan membuat sebuah langkah maju untuk menghilangkan label elitisme pada kepenyairan. Ia adalah contoh baik, bagaimana puisi muncul pada sesuatu yang seolah-olah sepele. Tidak semata bermain kata. Tapi memunculkan dunia yang tak terduga. Entah itu kita namakan sebagai Dunia Hesti atau Dunia Anti-Kapitalisme Ala Maulidan!

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *