Surat Untuk Renald Khasali, Bagian 1

Belum dua tahun yang lalu, ternyata aku pernah mengirim surat ke Renald Khasali, si tokoh itu. Kukirim surat berjudul Pertanyaan-pertanyaan tentang Diri sebagai syarat seleksi program pemuda yang akan dimentori beliau. Sebenarnya, aku tak memenuhi syarat definisi pemuda yang dia inginkan karena pemuda dalam program itu harus belum menikah. Namun, aku tetap nekat menulis surat, dan aku lolos tahap pertama. Di tahap selanjutnya, dalam wawancara tertulis, barulah aku tidak bisa terpilih, karena syarat lain mengharuskan aku dikarantina selama beberapa waktu, yang tentu itu tak bisa kulakukan karena statusku sebagai pegawai negeri yang sedang tugas belajar.

Berikut isi surat itu:

Ketika seseorang telah berada di puncak piramida Maslow, apa yang akan ia lakukan?
Aku dirasuki pertanyaan tersebut beberapa waktu belakangan ini dan belum dapat menemukan jawabannya. Dalam pencarianku, aku melihat pengumuman rumah perubahan dan tercenung dengan syaratnya:

Tuliskan dirimu, mimpi terliarmu. Usia maksimal 30 tahun. Belum Menikah.

Aku mendapatkan pertanyaan lain. Apakah Rhenald Kasali berpendapat, sepatutnya manusia belum menikah sebelum usia 30 tahun? Ataukah beliau ingin mengatakan orang-orang yang sudah menikah dilarang memiliki mimpi terliar?

Namaku Pringadi Abdi Surya. Kini, aku berusia 27 tahun. Dan aku menikah pada saat berumur 23 tahun. Hari ini aku menatap sebuah tembok, batas pemisah antara menikah dan belum menikah, dan aku merasa kembali dunia kembali ketika Jerman Barat dan Timur masih terpisahkan.

Dalam konsep diri, aku selalu mengingat untuk mengenali kelebihan dan kelemahan terlebih dahulu sebelum memutuskan citra diri paling ideal tentang diri kita menurut kita sendiri disandingkan dengan citra diri paling ideal menurut orang lain.

Aku tidak tahu ini dapat disebut kelebihan atau kelemahan, tetapi aku selalu ingin menjadi orang pertama yang menghancurkan tembok Berlin. Aku tidak pernah berlama-lama meratapi kegagalan karena ketika gagal, sebenarnya kita hanya menghabiskan stok gagal milik kita. Aku percaya segala sesuatu di dunia ini sudah dijatah secara adil. Misalnya, kamera. Setiap kamera punya shutter count. Pada titik tertentu, ketika batas itu dilewati, kamera tidak lagi bisa berfungsi secara maksimal. Juga manusia. Di dalam hidupnya, manusia diberi batas stok gagal dan stok berhasil. Sayangnya, kita tidak tahu stok mana yang akan keluar duluan.

Ada banyak keberhasilan di dalam hidupku. Juga ada banyak kegagalan yang kualami. Seperti apa itu, aku pikir tak akan cukup dalam 5000-8000 karakter. Aku memilih satu kisah yang menjadi salah satu titik balik dalam hidupku:
– Jika f′(a) = 0 maka x=a disebut pembuat stasioner, f(a) disebut nilai stasioner dan (a , f(a)) disebut titik stasioner.
– (a , f(a)) disebut titik balik maksimum jika f′(a-) > 0 , f′(a) = 0 , f′(a+) < 0 atau jika f′(a) = 0 dan f′′(a) < 0. - (a , f(a)) disebut titik balik minimum jika f′(a-) < 0 , f′(a) = 0 , f′(a+) > 0 atau jika f′(a) = 0 dan f′′(a) > 0.
– (a , f(a)) disebut titik belok jika f′(a-) > 0 , f′(a) = 0 , f′(a+) > 0 atau f′(a-) < 0 , f′(a) = 0, f′(a+) < 0 atau jika f′(a) = 0 dan f′′(a) = 0.

Matematika pernah kental di dalam hidupku. Tercatat sejak kelas 5 SD, tatkala aku terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba matematika di Kabupaten Musi Banyuasin. Aku menang dan maju ke tingkat provinsi, dikarantina selama 1 minggu tanpa ibu.

Aku anak bungsu dan belum pernah berpisah dari ibu. Dalam lomba itu, aku hanya berada di peringkat ke-7 dari 10 peserta. Tapi aku sungguh tidak merasa kalah. Pada saat tes tertulis, aku peringkat II. Tapi pada babak lain yang dilakukan di depan umum, bertatap muka, aku tak berkutik. Aku menyadari masalah utamaku adalah mental.

Kenangan masa kecil itu menjadi sebuah pemicu bagiku untuk lebih mengenal matematika. Aku beberapa kali mengikuti perlombaan di bidang matematika, namun tidak pernah menang. Hal itu tidak merusak rasa penasaranku pada bidang ini, dan kemudian memutuskan melanjutkan kuliah ke Matematika ITB.

Singkat cerita, kuliahku tidak selesai di ITB. Aku menjadi pembangkang selama di Bandung. Aku tidak pernah masuk kuliah, tidak ikut ujian, kemudian aku ter-drop out dari ITB. Satu yang kusesali belakangan, aku kehilangan cita-cita di bidang matematika.
Dalam keterpurukan, aku mengurung diri di kamar. Dan tak tahu di mana ada jalan keluar. Satu-satunya yang kupikirkan dalam kesendirian itu adalah aku merasa menyesal dan aku tak mau merepotkan orang tuaku lagi. Dari situ aku menemukan jawaban. Kuliah yang gratis, tanpa harus membebani orang tua, adalah sekolah kedinasan. Yang kupilih adalah STAN.

Dua minggu aku belajar sungguh-sungguh untuk mengikuti tes masuk STAN dan aku berhasil lulus di Akuntansi Pemerintahan.

Jeda waktu saat keterpurukan itu membuatku menjadi pribadi yang berbeda. Tiba-tiba saja aku sangat suka menulis. Aku memang memiliki ketertarikan di dunia literasi sejak kecil, namun hanya sebagai pembaca. 2007 itu, aku mulai rajin menulis puisi.

Di bidang Matematika, aku tak pernah menaklukan provinsi. Namun, di bidang bahasa, pada tahun 2009 aku menjadi Duta Bahasa Provinsi Sumatra Selatan. Lomba-lomba menulis kuikuti, dan tak jarang aku masuk di dalam daftar pemenang lomba tingkat nasional. Buku-bukuku terbit, tetapi hanya itu. Aku hanya meraih segalanya untuk diriku.

Setelah lulus dari STAN, aku ditempatkan di Ditjen Perbendaharan. Kantor pertamaku adalah KPPN Sumbawa Besar. Aku menikah tepat sebelum aku berangkat ke Sumbawa. Dan dalam tahun-tahun pertama di sana, hidup kami datar dan bahagia. Tidak ada tantangan, tidak ada sesuatu yang lebih. Barangkali inilah yang disebut comfort zone.

Kami memutuskan untuk keluar dari zona nyaman itu. Istriku ikut tes S2 di ITB, aku ikut tes DIV di STAN. Rencananya kami berdua akan lulus bersama-sama. Namun, yang terjadi adalah, istriku lulus, aku tidak. Hal itu meluluhlantakkan aku. Selama lebih dari setahun aku menjalin hubungan jarak jauh dengannya. Tetapi aku tidak menyerah. Pada tes ketiga, aku berhasil lulus DIV. Dan itu memangkas jarak antara kami berdua. Kini aku sedang menyelesaikan skripsiku di Bintaro, dia tengah merampungkan tesisnya di Bandung. Bintaro-Bandung menjadi jarak pemisah cinta di antara kami.

Suatu ketika, istriku memulai sebuah dialog, “Uda itu pintar dan cerdas, tetapi kepintaran dan kecerdasan Uda hanya untuk Uda sendiri. Apakah Uda tidak berpikir untuk bisa berguna bagi orang lain?”

27 tahun aku hidup, aku hanya memikirkan kepentinganku sendiri. Itu tak bisa kubantah.
Mulai awal tahun 2015, meski terlambat, aku mulai merancang beberapa hal. Aku masuk ke grup-grup anak muda seperti Biodiversity Warriors, Inspirator Indonesia, dan kelompok kepenulisan untuk dapat berbagi hal-hal yang kupahami. Aku juga merancang mimpi untuk membuka kelas literatur, taman baca, dan berkolaborasi dengan istriku dalam hal itu (ia memiliki passion yang kuat di bidang pendidikan). Kami bahkan membuka day care sederhana di rumah.

Pada titik ini, aku merasa seperti bayi dan butuh banyak asupan gizi. Aku mengharapkan Pak Rhenald Khasali membaca tulisanku ini dan memberiku kesempatan untuk lebih banyak mengetahui. Aku ingin berubah. Aku ingin melakukan sesuatu. Dan aku menyadari, melakukan sesuatu secara bersama-sama itu lebih baik.

Saya merenung membaca surat saya itu dan atas pernyataan terbarunya (tentang tak apa-apa copy paste), saya jadi ingin menulis surat yang berbeda. Surat kekecewaan. (Dinantikan ya)

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *