Puisi-puisi Wiji Thukul

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!.

(Wiji Thukul, 1986)

SAJAK SUARA

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku

suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu : pemberontakan!

sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang merayakan hartamu
ia ingin bicara
mengapa kaukokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?

sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ia yang mengajari aku untuk bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

BUNGA DAN TEMBOK

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
 Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
 Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
 Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
 Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun–tirani harus tumbang!

P E N Y A I R

jika tak ada mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!

sarang jagat teater
19 januari 1988

KEMERDEKAAN

kemerdekaan
mengajarkan aku berbahasa
membangun kata-kata
dan mengucapkan kepentingan

kemerdekaan
mengajar aku menuntut
dan menulis surat selebaran
kemerdekaanlah
yang membongkar kuburan ketakutan
dan menunjukkan jalan

kemerdekaan
adalah gerakan
yang tak terpatahkan
kemerdekaan
selalu di garis depan*

Solo, 27-12-1988

DERITA SUDAH NAIK SELEHER

kaulempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kausiksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras
kau paksa aku terus menunduk
tapi keputusan tambah tegak
darah sudah kau teteskan
dari bibirku
luka sudah kau bilurkan
ke sekujur tubuhku
cahaya sudah kau rampas
dari biji mataku
derita sudah naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar batas

17 November 96

TUJUAN KITA SATU IBU

kutundukkan kepalaku,
bersama rakyatmu yang berkabung
bagimu yang bertahan di hutan
dan terbunuh di gunung
di timur sana
di hati rakyatmu,
tersebut namamu selalu
di hatiku
aku penyair mendirikan tugu
meneruskan pekik salammu
“a luta continua.”

kutundukkan kepalaku
kepadamu kawan yang dijebloskan
ke penjara negara
hormatku untuk kalian
sangat dalam
karena kalian lolos dan lulus ujian
ujian pertama yang mengguncangkan

kutundukkan kepalaku
kepadamu ibu-bu
hukum yang bisu
telah merampas hak anakmu

tapi bukan hanya anakmu ibu
yang diburu dianiaya difitnah
dan diadili di pengadilan yang tidak adil ini
karena itu aku pun anakmu
karena aku ditindas
sama seperti anakmu

kita tidak sendirian
kita satu jalan
tujuan kita satu ibu:pembebasan!

kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk

kepada penindas
tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak

4 Juli 1997

UCAPKAN KATA-KATAMU

jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan

jika kau tahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu
terampas

kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput

atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian

jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan

kemasan-kentingan-sorogenen


AKU MASIH UTUH DAN KATA-KATA BELUM BINASA

ku bukan artis pembuat berita
Tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa

Puisiku bukan puisi
Tapi kata-kata gelap
Yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan
Ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti
Ia tak mati-mati, meski bercerai dengan rumah
Ditusuk-tusuk sepi, ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka

Kata-kata itu selalu menagih
Padaku ia selalu berkata, kau masih hidup

Aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa

(Wiji Thukul.18 juni 1997)

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *