Jembatan Wheatstone dan George Saa

Familiar dengan gambar ini?

Mungkin selamanya aku tak akan melupakan Jembatan Wheatstone. Ini berkat guru Fisika-ku ketika kelas 2 SMA. Namanya bu Erni Rita. Cara mengajarnya enak sekali. Beliau akrab dengan murid-muridnya, dan tidak pernah pilih kasih. Kepada anak-anak yang bandel pun, beliau selalu perhatian. Nah, frase “Jembatan Wheatstone” ini yang selalu beliau gunakan untuk menyindir murid-murid yang malas mencatat dan tidak mengerjakan PR.

Sederhananya, Jembatan Wheatstone digunakan untuk memperoleh ketelitian terhadap tahanan yang nilainya relatif sangat kecil. Ia adalah rangkaian jembatan paling sederhana dan paling umum. Prinsip utama dari Jembatan Wheatstone ini adalah keseimbangan. Sifat dari arus listrik adalah ia akan mengalir ke polaritas yang lebih rendah. Kalau polaritas antara kedua titik sama, maka arus tidak akan mengalir. Nah, penghubung kedua titik itulah yang disebut Jembatan Wheatstone.

Ada hukum fisika yang terkait dengan Jembatan Wheatstone. Hukum Ohm. Jika suatu arus listrik melalui suatu penghantar, maka kekuatan arus tersebut adalah sebanding-larus dengan tegangan listrik yang terdapat di antara kedua ujung penghantar tadi. Rumusnya V = I.R

Tentu, kalian akan bingung dengan penjelasan di atas.

Yang ingin aku bilang adalah prinsip keseimbangan yang dimiliki Jembatan Wheatstone. Aku nggak tahu apakah bu Erni sengaja atau tidak sengaja menggunakan Jembatan Wheatstone sebagai bahan olok-olok kami. Bentuknya tidak sesederhana rangkaian seri atau paralel. Rangkaian ini dapat menentukan hambatan sekecil apapun pula.

Tak lama setelah itu, kelas 3 SMA, aku ambil bimbingan belajar di Nurul Fikri. Ada seorang pengajar Fisika didatangkan langsung dari Jakarta. Dia memotivasi kami soal hambatan ini. Seorang anak dari Papua, bernama George Saa, baru saja memenangkan kompetisi First Step to Nobel in Physics. Penelitiannya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal Lattice Networks of Identical Resistor. Kalau kalian baca biografinya, di tengah keterbatasn yang dia miliki, hambatan yang dia alami untuk mendapatkan sekolah yang layak, sungguh, kalian akan tersentuh.

Kalau ingin tahu penelitiannya bagaimana, bisa diunduh kok. Dicari di Google ada. Pada intinya, George Saa yang saat itu masih anak SMA, menyederhanakan perhitungan rumit dari rangkaian. Soal-soal yang tadinya harus dicari begitu lama jawaban penyelesaiannya, dengan mengingat-ingat hukum Kirchoff, hukum Ohm, dll… tinggal jebret, kita bisa mendapatkan jawabannya. Detailnya aku lupa sih.

Sejujurnya, kenangan tentang bu Erni Rita ini masih membekas kuat di hatiku. Aku dan Randi, sahabatku yang juga teman sebangkuku, kerap mengenang beliau. Di masa itulah, pelajaran Fisika terasa jauh lebih mudah kupahami. Nilaiku tidak buruk.

Ketika berganti guru di kelas 3 SMA, aku kedodoran. Nilai ulanganku sering di bawah 5. Fisika lambat laun menjadi momok bagiku, dan aku kepayahan mengerjakan soal-soal Fisika dalam tes masuk universitas. Aku jadi bodoh dalam Fisika.

Ketika beberapa tahun kemudian aku mengungkapkan ini ke istriku, dia menjawab, “Kelas 2 kita masih belajar Fisika Klasik. Kelas 3 kita beranjak ke Fisika Modern. Untuk memahami Fisika Modern, kita perlu ganti gigi dari Fisika klasik. Dan lebih baik mendapatkan guru yang memahami filosofi dari rumus. Bukan sekadar ngajar rumus doang.”

Istriku itu sendiri kutemukan di ITB. Dia jurusan Fisika. Dan bukan cuma sarjana, dia seorang Master Fisika. Setiap dia bertanya, kenapa aku mencintainya. Aku diam, meski ingin kukatakan padanya. Karena Fisika. Bersamamu, aku merasa lengkap. Aku memiliki sesuatu yang tak kumengerti.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *