Tentang Defisit Anggaran

Kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh suatu negara senantiasa berhadapan dengan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi menjadi suatu syarat untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera. Pembangunan ekonomi tidak hanya berfokus pada perkembangan ekonomi, tetapi juga mengenai peningkatan kesejahteraan, keamanan dan kualitas sumber daya yang dimiliki. Sumber daya dimaksud bukan hanya pengolahan sumberdaya alam, tetapi juga mengenai peningkatan kualitas sumber daya manusia. Khusus terhadap pertumbuhan ekonomi, diperlukan adanya kebijakan yang kondusif agar sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

Ada 2 sebab yang mengharuskan sebuah negara harus mencapai pertumbuhan ekonominya, yaitu untuk menciptakan lapangan pekerja bagi penduduknya yang setiap saat bertambah dan untuk menaikkan tingkat kemakmuran masyarakat (Sadono sukirno, 1994 ; 25). Berdasarkan hal tersebut maka pembangunan ekonomi dilakukan oleh semua negara, termasuk Indonesia.

Pada tahun 2008 terjadi krisis ekonomi yang diawali dengan runtuhnya Lehman Brothers yang merupakan bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat. Krisis ini berdampak pada situasi perekonomian Indonesia. Tingkat pertumbuhan GDP Indonesia mengalami penurunan walaupun tidak terlalu parah dibandingkan negara lain yang mencapai 6.0 persen pada tahun 2008 yang semula berada pada tingkat 6.3.

Tabel di bawah ini menampilkan perkembangan pertumbuhan GDP selama periode 2007-2014.
Tahun Pertumbuhan Defisit
2007 6,3 1,26
2008 6,0 0,08
2009 4,6 1,58
2010 6,2 0,73
2011 6,5 1,14
2012 6,2 1,86
2013 5,7 2,23
2014 5,1 2,26
Sumber: Pencarian penulis

Pertumbuhan ekonomi tersebut mencerminkan kinerja perekonomian pada saat tahun target. Kinerja ekonomi akan sangat dipengaruhi oleh faktor–faktor internal dan eksternal dari negara yang bersangkutan. Contoh faktor eksternal yang digunakan sebagai indikator dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia adalah Harga Minyak dan Nilai Tukar Rupiah. Faktor internal yang digunakan dalam asumsi makro antara lain Tingkat Inflasi; Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia; dan Lifting Migas.

Anggaran negara, melalui unit yang menangani penerimaan dan belanja, memegang peranan penting dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pengelolaan anggaran sangat berpengaruh terhadap kualitas anggaran tersebut. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) masih menunjukkan defisit pada tahun 2014 dan pada RAPBN 201 , hal tersebut terjadi karena Indonesia masih menganut penganggaran defisit.

Pada jurnal ini akan dibahas mengenai penganggaran defisit dan dampak kebijakan defisit anggaran terhadap faktor lain dalam asumsi makropembentukan APBN serta alasan dari mengurangi defisit dan hubungannya dengan mandatory spending.

2. Tinjauan Pustaka

Menurut Rahardja dan Manurung (2004), defisit anggaran adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, karena budget constraint, pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (G>T) untuk memenuhi tujuan bernegara. Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi.
Definisi dari defisit anggaran menurut Samuelson dan Nordhaus (2001) adalah suatu anggaran ketika terjadi pengeluaran lebih besar dari pajak. Sedangkan menurut Dornbusch, Fischer dan Startz defisit anggaran adalah selisih antara jumlah uang yang dibelanjakan pemerintah dan penerimaan dari pajak. Kombinasi dari besaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah terangkum dalam suatu anggaran pemerintah.

Untuk menghadapi kondisi perekonomian tertentu, salah satu yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui
kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal tersebut dapat dilihat dalam anggaran pemerintah, dan defisit anggaran adalah salah satu kebijakan fiskal pemerintah yaitu kebijakan fiskal ekspansif.

Algifari (2009) melakukan penelitian terhadap perekonomian Indonesia berdasarkan data defisit anggaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi tahun 1990-2007 dengan partial adjusment model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa defisit anggaran pemerintah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode berikutnya.

Menurut Abimanyu (2005), defisit anggaran pemerintah merupakan stimulus fiskal yang bersifat ekspansif. Perekonomian yang berada pada kondisi kelesuan, yang ditunjukkan oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi memerlukan kebijakan fiskal ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Menurut Kartika (2006), pemerintah mempunyai tiga pilihan untuk menutup defisit APBN, yaitu dari hasil privatisasi BUMN, Utang Dalam Negeri, dan dari Utang Luar Negeri.

4. Analisis dan Pembahasan

a. Defisit Anggaran
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi diperlukanlah peran pemerintah di dalam perekonomian. Pada dasarnya peranan pemerintah dalam perekonomian sangat luas. Salah satu bentuk aktivitas tersebut dapat dirangkum dalam kerangka anggaran pemerintah. Anggaran suatu negara dapat disusun berbeda-beda tergantung pada kondisi perekonomian negara tersebut.

Suatu negara dapat menyusun anggarannya secara seimbang apabila kondisi perekonomian normal. Kebijakan anggaran yang surplus dapat diaplikasikan manakala terjadi perubahan kebijakan fiskal yang bersifat Ekspansioner atau Kontraksioner (Shone,1989:116). Selain itu, negara juga dapat menyusun penganggaran defisit.
Pada masa Depresi Besar, teori klasik ataupun neo klasik tak dapat menyelesaikan persoalan. Keynes datang membawa solusi, pada masa resesi, anggaran berimbang atau surplus tidak dapat diterapkan. Pemerintah haruslah menerapkan defisit anggaran. Kini, defisit anggaran diterapkan hampir di setiap negara.
Pada saat perekonomian mengalami krisis, defisit anggaran pemerintah merupakan kebijakan yang dipilih oleh banyak negara untuk menggairahkan perekonomian.

Tentang seberapa penting defisit anggaran, kita akan menemukan jawaban yang berbeda tergantung pada keadaan/status ekonomi suatu negara. Cara termudah menghitung ukuran defisit anggaran adalah persentase GDP. Ada batas tertentu yang dijadikan ukuran itu. Di Indonesia, untuk tahun 2015, defisit anggarannya adalah 2,21 %. Defisit anggaran terbesar terjadi di Irlandia, Jepang, UK dan US sebesar lebih dari 8% GDP.

Bagi negara yang sedang berkembang, utang merupakan salah satu sumber dana untuk membantu mempercepat proses pembangunan ekonomi negaranya. Hal ini terjadi karena belum cukupnya dana yang berasal dari tabungan di dalam negeri, sehingga sumber pembiyaan berupa utang, khususnya utang dari luar negeri sangat diperlukan. Salah satu alternatif untuk mencukupi kekurangan dana di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia diatasi oleh pemerintah yang bersangkutan dengan cara mencari bantuan berupa utang.
Pengeluaran pemerintah untuk pembiayaan pembangunan ekonomi dengan menggunakan utang, khususnya yang bersumber dari luar negeri memang mendatangkan manfaat, namun selain memperhatikan pemanfaatannya bagi pertumbuhan perekonomian, hal lain yang harus dipikirkan ada beban utang yang muncul di kemudian hari.
Namun dalam tahap awal pembangunan, penggunaan komponen utang sebagai sumber pembiayaan memang sangat menguntungkan (Subri dan Basri, 2003).
Pada intinya, kebijakan fiskal adalah kebijakan untuk mengendalikan keseimbangan makro ekonomi (Surjaningsih et al, 2012). Kebijakan fiskal merupakan bentuk campur tangan pemerintah dalam perekonomian dan pembangunan ekonomi suatu negara. Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok, yaitu Penerimaan dan pengeluaran pemerintah (government expenditure) (Mankiw, 2003; Turnovsky, 1981).
Dampak kebijakan fiskal merupakan isu yang kontroversial dan sudah ada sejak lama. Beberapa upaya reformasi kebijakan
fiskal sering dilakukan agar perekonomian berjalan pada jalur yang benar. Namun kebijakan yang diambil belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal karena pengaruh kebijakan non-ekonomi yang lebih dominan.
Hendrin H. Sawitri (2006) menyatakan bahwa bermula dari krisis tahun 1997 hingga sekarang yang berlanjut dengan krisis–krisis yang lain mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat sulit untuk tumbuh positif. Krisis ekonomi ditandai dengan menurunnya permintaan agregat sehingga kondisi perekonomian menunjukkan ciri– ciri depresi seperti menurunnya daya beli secara drastis, berkurangnya bahkan hilangnya investasi asing, dan meningkatnya pengangguran di berbagai sektor. Di sektor yang lain, sektor penawaran, terjadi ketidakkondusifan berbagai kebijakan yang mengakibatkan elastisitas penawaran sangat lemah.
Kebijakan fiskal dalam perekonomian tersebut dituangkan dalam pos–pos yang tercantum dalam penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Menurut Romer dalam Sawitri (2006) menyatakan bahwa secara simultan fungsi fiskal bertujuan untuk menciptakan kondisi makro ekonomi secara kondusif dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, penciptaan tenaga kerja yang sekaligus menekan jumlah pengangguran, pengendalian tingkat inflasi, dan mendorong distribusi pendapatan semakin merata.
Kebijakan defisit anggaran menjadi penting dalam masa krisis sehingga banyak persoalan menjadi dilematis dalam memilih kebijakan fiskal yang tepat. Kebijakan defisit maupun surplus anggaran menjadi isu penting untuk dikaji karena dalam siklus bisnis defisit anggaran menjadi pembahasan yang cukup serius dalam memacu pertumbuhan ekonomi.
Secara teoritis, kebijakan defisit anggaran mempengaruhi variabel moneter malalui dua jalur (R. Maryanto, 2004). Kedua jalur tersebut mempengaruhi variable moneter melalui sektor riil dan melalui hubungan keuangan antara pemerintah dan penguasan moneter.
Stanley Fischer dan William Easterly (1990) juga mengungkapkan terdapat hubungan antara persamaan income account budget, persamaan pendanaan defisit anggaran, dan persamaan dinamik antara evolusi rasio utang terhadap GNP. Efek kebijakan defisit anggaran merupakan pergerakan yang tidak tampak karena mempunyai dampak jangka panjang.

b. Mengurangi Defisit Anggaran
Di dalam dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015, pemerintah berencana menurunkan target defisit anggaran tahun 2015 menjadi 1,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut Menteri Keuangan, Bambang P.S. Brodjonegoro, penurunan defisit anggaran ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi defisit transaksi berjalan.
Seperti diketahui, sebelumnya, dalam APBN tahun anggaran 2015 defisit anggaran ditargetkan sebesar 2,21 persen dari PDB. Tujuan pengurangan target defisit anggaran ini sendiri adalah untuk memberikan sinyal kepada pelaku pasar bahwa pemerintah bersungguh-sungguh untuk mengurangi defisit anggaran sekaligus defisit transaksi berjalan pada tahun 2015 ini.
Penurunan defisit transaksi berjalan sendiri sangat diperlukan sebagai upaya untuk memitigasi dampak rencana penaikan tingkat bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS).
Dalam rangka menutup defisit anggaran tersebut, akan dilakukan langkah–langkah kebijakan guna memperoleh sumber pembiayaan dengan biaya rendah dan tingkat risiko yang dapat ditoleransi.
1. Kebijakan pembiayaan dalam negeri
Kebijakan di sisi pembiayaan dalam negeri tersebut dapat ditempuh dengan:
– melakukan pengelolaan portofolio surat utang negara (SUN) melalui langkah-langkah pembayaran bunga dan pokok obligasi negara secara tepat waktu, penerbitan SUN dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, penukaran utang (debt switching) serta pembelian kembali (buyback) obligasi negara;
– melanjutkan kebijakan privatisasi yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku di pasarmodal;
– memanfaatkan dana eks moratorium untuk membiayai program rekonstruksi dan rehabilitasi NAD-Nias;
– menggunakan sebagian dana simpanan pemerintah; dan
– memberikan dukungan dana bagi percepatan pembangunan infrastruktur dalam rangka kemitraan Pemerintah–Swasta.

2. Kebijakan pembiayaan luar negeri
Langkah-langkah yang ditempuh antara lain meliputi:
– Mengamankan pinjaman luar negeri yang telah disepakati dan rencana penyerapan pinjaman luar negeri, baik pinjaman program maupun pinjaman proyek, dan
– Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri yang sudah jatuh tempo.

Dalam rangka membiayai pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah akan mengedepankan prinsip kemandirian dengan lebih memprioritaskan pendanaan yang bersumber dari dalam negeri. Pendanaan dari luar negeri akan dilakukan lebih selektif dan berhati-hati dengan mengupayakan beban pinjaman yang paling ringan melalui penarikan pinjaman dengan tingkat bunga yang rendah dan tenggang waktu yang panjang dan tidak mengakibatkan adanya adanya ikatan politik serta diprioritaskan untuk membiayai kegiatan–kegiatan yang produktif.

3. Kebijakan dari Sisi Pengeluaran:
– Mengurangi subsidi; Bantuan yang diambil dari anggaran negara untuk pengeluaran yang sifatnya membantu konsumen untuk mengatasi tingginya harga yang tidak terjangkau oleh mereka agar tercipta kestabilan politik dan sosial lainnya, misalnya subsidi pupuk, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi listrik, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya negara memberikan subsidi terhadap suatu barang, karena barang itu dianggap harganya terlalu tinggi dibanding dengan kemampuan daya beli masyarakat. Agar tidak terjadi gejolak di masyarakat, maka negara mengeluarkan dana untuk mensubsidi barang tersebut. Subsidi itu dilakukan dengan beberapa cara, misalnya :
• memberikan subsidi kepada konsumen dengan cara memberikan subsidi harga barang-barang yang dikonsumsi;
• memberikan subsidi kepada produsen, yaitu memberikan subsidi pada bahan baku yang dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut. Kalau pengeluaran subsidi itu dikurangi akan berakibat pada kenaikan harga barang yang diberi subsidi itu.
– Penghematan pada setiap pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pembangunan
– Penghematan pada pengeluaran rutin dilakukan oleh departemen teknis, misalnya untuk pengeluaran listrik, telepon, alat tulis, perjalanan dinas, rapat-rapat, seminar dan sebagainya tanpa mengurangi kinerja dari departemen teknis yang bersangkutan.
– Menyeleksi sebagian pengeluaran-pengeluaran pembangunan
Pengeluaran pembangunan yang berupa proyek-proyek pembangunan diseleksi menurut prioritasnya, misalnya proyek-proyek yang cepat menghasilkan. Proyek-proyek yang menyerap biaya besar dan penyelesaiannya dalam jangka waktu yang lama, sementara ditunda pelaksanaannya.
– Mengurangi pengeluaran program-program yang tidak produktif dan tidak efisien.
Program–program semacam ini yang tidak mendukung pertumbuhan sektor riil, tidak mendukung kenaikan penerimaan pajak, dan tidak mendukung kenaikan penerimaan devisa. Pemotongan program-program ini harus dilakukan dengan hati-hati. Pemotongan pengeluaran tanpa memperbaiki produktivitas program, berarti akan ada kecenderungan akan menurunnya kualitas dan kuantitas output.

Mengurangi defisit anggaran itu dapat menjadi masalah. Jika sebuah negara punya defisit yang meningkat cepat, maka pemerintah harus membuat kebijakan pengurangan defisit. Hal tiba-tiba ini bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat dan resesi ekonomi.
Mengurangi atau menambah defisit anggaran, tentulah harus diperhatikan penggunaan pembiayaan defisit anggaran tesebut. Menilik kondisi saat ini, APBN kita masih negative net flow. Cash Flow Negatif adalah situasi di mana pembayaran (dana yang ke luar) selama jangka waktu tertentu melebihi arus kas masuk (dana yang masuk) pada periode yang sama. Hal ini dicontohkan bahwa Pemerintah meminjam dana 1 milyar rupiah, namun di tahun yang sama kita membayar pinjaman sebesar 2 milyar rupiah. Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa setiap utang yang diterima tidak memiliki manfaat sama sekali pada proses pembangunan di Indonesia. Hal inilah yang mendasari pemerintah untuk berusaha mengurangi porsi pembiayaan yang berasal dari pinjaman luar negeri. Perlu disadari atau tidak bahwa kebijakan utang luar negeri hanya melanjutkan praktik eksploitasi luar negeri terhadap anggaran Indonesia akibat terjadinya selisih transfer negatif sejak tahun 1984/1985.
Selain itu penggunaan utang luar negeri bukan merupakan solusi untuk mengurangi beban utang karena makin meningkatnya beban-beban utang dari penarikan utang – utang baru berbiaya mahal yang sangat bias dengan kepentingan kreditor.
Hal lain yang mendasar dari net negative flow adalah Indonesia mengirim hasil kegiatan ekonomi nasional ke luar yang ditransfer untuk pembayaran utang. Net negative flow juga menyebabkan struktur ekonomi menjadi rentan karena kebutuhan pembayaran hutang yang besar sekaligus kebutuhan cadangan ekonomi yang besar.
Namun, kegagalan dalam mengurangi defisit anggaran, seperti yang sudah diterakan sebelumnya, dapat merusak pertumbuhan ekonomi. Kegagalan dalam mengurangi defisit anggaran dapat disebabkan beberapa hal. Pertama, perbedaan antara riil GDP dengan nominal GDP. Penerimaan perpajakan yang tidak tercapai dan di bawah tax ratio. Dan yang ketiga, arah fiskal belum berada di sisi penawaran. Arah fiskal yang belum berada di sisi penawaran ini menyebabkan kegiatan produksi belum memiliki nilai yang signifikan untuk menciptakan neraca perdagangan yang baik.

c. Fiscal Sustainibility dan Problem Mandatory Spending
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah alat utama dalam mengimplementasikan kebijakan fiskal dan sekaligus sebagai pedoman penganggaran dalam rangka pelaksanaan pembangunan di Indonesia.
Menurut Musgrave, 1959 (dalam Nurcholis Madjid, 2012) ada tiga fungsi utama dari kebijakan fiskal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa fungsi alokasi dari APBN mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Mengingat begitu strategisnya kebijakan fiskal maka APBN—yang berfungsi sebagai alat utama dalam mengimplementasikan kebijakan fiskal tersebut—harus dijaga agar tetap sustain.
Fiscal sustainability dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai apakah APBN Indonesia dalam kondisi sustain atau terancam. Brixi dan Mody, 2002 (dalam Haryo Kuncoro, 2011) mengatakan bahwa isu fiscal sustainability merupakan bagian integral dari pembahasan bagaimana pemerintah mempunyai kemampuan untuk membayar utang dalam jangka panjang. Sementara itu, Chalk dan Hemming, 2000 (dalam Haryo Kuncoro, 2011) menjelaskan bahwa fiscal sustainability adalah terkait dengan upaya pemerintah dalam menjaga pemecahan masalah fiskal sehingga menciptakan surplus APBN. Sedangkan menurut Nurcholis Majid, 2012, kesinambungan fiskal dapat didefinisikan sebagai kondisi pada satu periode yang dapat menjamin solvency di masa datang. Ini berarti bahwa APBN dikatakan sustainable apabila tidak menghadapi tekanan pembiayaan yang berlebihan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi utang secara terus menerus yang terlalu besar dan tidak terkendali, serta mempunyai surplus keseimbangan primer yang cukup memadai dan dapat memelihara rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) minimal tetap (konstan) atau secara bertahap menurun sehingga memiliki ketahanan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, masalah utama dalam fiscal sustainability sebenarnya adalah pada seberapa besar tingkat defisit dan utang yang dipunyai oleh pemerintah.
Dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 12 ayat 3 telah dinyatakan bahwa rasio defisit dan rasio utang masing-masing tidak boleh lebih dari 3 persen dan 60 persen dari PDB. Yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana cara menjaga defisit anggaran dan tingkat utang yang aman sehingga fiscal sustainability dapat terjaga.
Ada beberapa faktor yang dianggap dapat menjaga kondisi fiskal agar tetap sustain dan sekaligus memaparkan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi ancaman terhadap kesinambungan fiskal tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa kesinambungan fiskal dapat terjadi apabila asumsi ekonomi makro mendekati angka aktualnya, APBN mempunyai nilai keseimbangan primer yang positif dan mempunyai kapasitas dalam membayar utang, pemerintah dapat mengendalikan mandatory dan nondiscretionary spending sehingga pemerintah mempunyai ruang fiskal yang cukup, dan pemerintah dapat meminimalkan kondisi kerentanan fiskal serta mempunyai fleksibilitas dalam mengelola penerimaan dan belanja terutama dalam kondisi mendesak.
Besaran mandatory spending—yaitu pengeluaran negara pada program-program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundangan yang berlaku—semakin lama semakin membesar. Misalnya, dalam APBN 2013 bahwa yang termasuk mandatory spending yaitu
1. Kewajiban anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sesuai amanat Amandemen keempat UUD 1945 pasal 31 ayat (4) tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan dari APBN/APBD
2. Kewajiban penyediaan Dana Alokasi Umum (DAU) minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto, dan Dana Bagi Hasil (DBH) sesuai ketentuan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
3. Penyediaan alokasi anggaran kesehatan sebesar 5 persen dari APBN sesuai dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
4. Penyediaan dana otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus provinsi Aceh dan Papua masing-masing sebesar 2 persen dari DAU Nasional.

Jika dilihat dari klasifikasi belanja ekonomi maka dalam APBN tahun 2013, khusus untuk anggaran belanja Pemerintah Pusat (di luar belanja transfer ke daerah) alokasinya meningkat dari tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp1.139,0 triliun (12,3 persen terhadap PDB). Namun demikian, dari jumlah tersebut ternyata sebagian besar merupakan belanja mengikat (nondiscretionary spending) yaitu sekitar 65,5 persen (Rp746,4 triliun) yang merupakan belanja yang bersifat wajib untuk dipenuhi seperti belanja pegawai, belanja barang operasional, subsidi, pembayaran bunga utang, dan bantuan sosial untuk cadangan bencana alam. Sedangkan sisanya sebesar 34,5 persen (Rp392,6 triliun) adalah belanja yang merupakan diskresi Pemerintah yang terdiri dari belanja barang nonoperasional, sebagian bantuan sosial, belanja modal, belanja hibah, dan belanja lain-lain.
Besaran mandatory dan nondiscretionary spending yang besar tersebut berakibat pada semakin sempitnya ruang fiskal bagi Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan belanja-belanja yang bersifat mendesak pada setiap tahunnya seperti belanja untuk pembangunan infrastruktur dan pemberian bantuan sosial bagi rakyat yang membutuhkan.
Ketika Pemerintah benar-benar memerlukan tambahan belanja yang mendesak maka Pemerintah tidak mempunyai ruang fiskal yang cukup untuk menutup kebutuhan tersebut karena mayoritas dana APBN sudah dkavling untuk mandatory dan nondiscretionary spending.
Ada beberapa langkah rekomendatif yang mungkin dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam jangka waktu tertentu untuk menghadapi kondisi ini. Tindakan Pemerintah yang perlu dilakukan ini akan terealisasi jika terbuka peluang untuk mengamandemen peraturan perundangan yang selama ini menjadi landasan dalam mengalokasikan belanja-belanja mengikat tersebut.
Langkah-langkah rekomendatif tersebut adalah sebagai berikut:
1) Melakukan prioritisasi terhadap mandatory dan nondiscretionary spending. Dari beberapa jenis belanja di atas, suatu saat Pemerintah perlu menghapus beberapa jenis mandatory spending yang dianggap tidak prioritas dan tidak terkait langsung dengan tujuan pembangunan nasional.
2) Mengurangi besaran porsi masing-masing belanja mengikat yang dianggap prioritas tersebut. Setelah memilih beberapa belanja prioritas tersebut, Pemerintah harus menghitung ulang besaran dari masing-masing belanja tersebut, hal ini bisa dilihat dari angka penyerapan anggaran yang selama ini tercapai, seperti anggaran pendidikan (20 persen APBN/APBD) berdasarkan LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) beberapa tahun anggaran hanya mampu menyerap anggaran rata-rata sebesar 90 persen, hal ini berarti Pemerintah seharusnya mempunyai diskresi untuk mengalokasikan sisa anggaran tersebut ke program/kegiatan lainnya (pada tahun anggaran tertentu).
3) Mengusulkan agar besaran mandatory spending diatur secara periodik (berkala) atau secara tahunan tergantung kondisi pada tahun anggaran bersangkutan dan melihat pengalaman penyerapan anggaran pada tahun sebelumnya. Hal ini, dapat dilakukan apabila ada kemauan politik baik dari pihak eksekutif maupun legislatif yaitu membuat peraturan perundang-undangan terkait belanja mengikat yang dirancang dan disahkan secara tahunan (seperti halnya Undang-Undang Nota Keuangan dan APBN) sehingga setiap tahun anggaran dapat dilakukan monitoring dan evaluasi dari efektivitas mandatory spending tersebut.

5. Kesimpulan dan Saran
Analisis Basic Keynesian menyarankan peningkatan defisit anggaran pada masa resesi adalah hal baik. Pada masa resesi, sektor pembayaran privat jatuh, dan tabungan meningkat, menyebabkan sumber-sumber ekonomi banyak tak digunakan. Pinjaman pemerintah adalah cara untuk menmberdayagunakan pinjaman ini dan “menendang” ekonomi. Pembayaran defisit dapat menumbuhkan pertumbuhan ekonomi, yang memungkinkan pendapatan pajak lebih tinggi dan defisit kemudian akan berakhir. Kalau negara menggunakan anggaran berimbang pada masa resesi, resesinya akan semakin buruk.
Jika defisit terjadi selama periode pertumbuhan ekonomi yang kuat, maka defisit pemerintah akan mengacaukan sektor privat. Pinjaman pemerintah akan mengurangi investasi di sektor privat, dan kita dapat berargumen pembayaran pemerintah sebenarnya tidak lebih efisien dari sektor privat.
Jika pemerintah meminjam untuk investasi dalam meningkatkan infratrruktur, itu mungkin saja akan mengatasi kegagalan pasar dan meningkatkan kapasitas produksi dalam perekonomian. Tapi jika pemerintah meminjam untuk transfer pembayaran, akan ada ruang yang terbatas dalam kapasitas produksi.
Mengurangi atau menambah defisit anggaran, tentulah harus diperhatikan penggunaan pembiayaan defisit anggaran tesebut. Menilik kondisi saat ini, APBN kita masih negative net flow. Cash Flow Negatif adalah situasi di mana pembayaran (dana yang ke luar) selama jangka waktu tertentu melebihi arus kas masuk (dana yang masuk) pada periode yang sama.
Selain itu penggunaan utang luar negeri bukan merupakan solusi untuk mengurangi beban utang karena makin meningkatnya beban-beban utang dari penarikan utang – utang baru berbiaya mahal yang sangat bias dengan kepentingan kreditor.
Hal lain yang mendasar dari net negative flow adalah Indonesia mengirim hasil kegiatan ekonomi nasional ke luar yang ditransfer untuk pembayaran utang. Net negative flow juga menyebabkan struktur ekonomi menjadi rentan karena kebutuhan pembayaran hutang yang besar sekaligus kebutuhan cadangan ekonomi yang besar.
Oleh karena itu, defisit anggaran harus dikurangi dengan salah satunya opsi mandatory spending tersebut dalam upayanya juga meningkatkan ruang fiskal kita yang terbatas.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *