Dangar Ode, Surga Kecil di Sumbawa

Hidung perahu dengan pelan membelah lautan. Angin laut yang khas menerpa tubuhku. Ini perjalanan pertamaku bersama Adventurous Sumbawa. Ini juga perjalanan pertamaku menaiki perahu nelayan yang kecil.
Kucelupkan kaki dan kubiarkan kakiku beradu dengan air laut. Menyenangkan. Kurang lebih 40 menit perjalanan dari dermaga di Desa Prajak. Sebuah pulau kecil sudah berada di depanku. Perahu melambat untuk merapat ke pesisir. Di kejauhan, sosok Gunung Tambora menjulang angkuh.
Ada satu adegan yang berkesan dalam film Pirate of Carribean, yakni ketika Jack Sparrow ditinggalkan di sebuah pulau kecil dengan pasir putih. Berada di atas pasir yang putih, di tengah lautan dan di bawah langit yang birunya tak bisa dibedakan adalah salah satu impianku. Tak perlu jauh-jauh ke Kepulauan Karibia, atau Maldives yang terkenal, di Indonesia juga ternyata ada tempat seperti itu. Di Lombok ada Gili Kapal. Di Sumbawa juga ada Dangar Ode.
 
Dangar Ode adalah sebuah pulau kecil di kawasan utara Teluk Saleh. Teluk Saleh saat ini sudah dikenal sebagai akuarium dunia karena memiliki 59 jenis karang dan 405 jenis ikan karang. Bahkan di beberapa kawasan di Teluk Saleh terkenal banyak anak hiu dikarenakan melimpah ruahnya makanan bagi mereka. Di Dangar Ode sendiri, bila beruntung kita bisa menemui lumba-lumba.
Salah satu alternatif menuju Dangar Ode adalah melalui dermaga di Desa Prajak. Desa Prajak adalah salah satu desa nelayan di Sumbawa dan berjarak kurang lebih 20 km dari kota Kabupaten. Hujan semalam membuat medan yang kami lalui menjadi becek dan berlumpur. Butuh keterampilan dan ketabahan untuk melaluinya.
Kupikir, beginilah Indonesia, semakin ke Timur, infrastruktur semakin kurang memadai. Tak terbayangkan pula bagaimana perjuangan nelayan-nelayan mengantarkan ikan-ikannya ke pasar di Sumbawa dengan medan seperti ini. Tak tega rasanya bila nanti ke Seketeng, aku menawar ikan-ikan itu lagi.
Dangar merupakan nama sebuah pohon dalam bahasa Sumbawa yang banyak ditemukan di wilayah Sumbawa. Pohon ini menghasilkan getah seperti karet yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Dahulu, Dangar Ode dan Dangar Besar banyak ditumbuhi dangar dan dimanfaatkan oleh masyarakat dengan membuka perkebunan dangar. Namun seiring berjalannya waktu pohon dangar sudah habis dan tidak terdapat lagi di pulau. Masyarakat juga sudah tidak lagi melakukan aktivitas perkebunan di pulau ini.
Perahu nelayan merapat, aku melompat ke bibir pantai. Sebuah pohon tumbuh sendirian di sisinya. Sebuah bangunan berdiri di tengah-tengah pulau. Seorang teman berkata, bangunan itu adalah sebuah mushalla. Tidak ada yang tahu siapa yang membangunnya. Cerita setempat juga menyebutkan, seberapa pasang pun lautan, air laut tidak pernah sampai merendam lantai mushalla tersebut. Sayangnya mushalla tersebut tampak tak terawat. Seharusnya pemerintah turun tangan untuk melakukan pemeliharaan. Selain menjadi tempat shalat, ia dapat juga menjadi tempat beristirahat dan berteduh ketika hujan turun lebat.
 
Pasir putih mengelilingi Dangar Ode. Dan yang menarik adalah permukaannya tidak curam tiba-tiba. Kita dapat menenggelamkan tubuh kita sedikit demi sedikit ke dalam lautan dengan dasar pasir yang masih terlihat karena begitu beningnya. Tampak juga banyak bintang laut di sana-sini. Jangan khawatir, tak ada bulu babi.
Hingga air laut mencapai bahu barulah dasar lautan terisi dengan rumput-rumput laut. Aku mencelupkan wajahku dan terlihat berbagai jenis ikan berwarna-warni. Aku berenang lebih ke tengah, dan karena aku tak begitu pandai berenang, aku memilih berada di dekat perahu supaya kalau kenapa-kenapa aku bisa mencari pegangan. Sesekali aku mencelupkan kepala untuk melihat pemandangan bawah air yang menakjubkan. Dan lebih banyak aku menikmati panorama yang disajikan alam. Beberapa teman menyelam lebih dalam dan aku merasa iri. Mereka bilang ada coral table, terumbu karang yang berbentuk seperti meja bundar. Juga menemukan ikan nemo di mana-mana.
 
 
Aku menyesal ketika kecil tidak belajar berenang hingga mahir. Yang bisa aku lakukan cuma mengambang beberapa saat. Huh.
Puas berenang, mengelilingi pulau, dan menyantap ikan bakar yang kami bakar sama-sama, kami diguyur hujan yang sangat deras. Setelah menunggu dan berharap hujan akan reda, berkenalan dan bercerita banyak, kami memutuskan nekat menyeberangi lautan. Syukurlah, meski hujan, lautan tetap tenang. Mendekati dermaga, barulah hujan reda dan langit yang mendung menyingkapkan dirinua. Cahaya keemasan menembus mereka dan seakan-akan kami terendam di dalamnya.
Sebuah puisi lahir saat itu:
kau bersikeras akan menelan semua hujan
yang tak bosan menceritakan hidupnya yang singkat
di atas laut, di bawah bayangbayang maut
kita akan selalu sama: melihat langit keemasan
setelah segalanya reda adalah doadoa kecemasan
sebelum perjalanan lain menuju pulang
Tantangan sesungguhnya adalah medan di daratan. Jalan yang baru diguyur hujan membuatnya seperti bubur lumpur. Jarak tempuh 20 km itu kami lalui lebih dari 3 jam setelah beberapa motor mengalami kerusakan, dan kami menunggu, saling membantu dan bahu-membahu agar semuanya sampai ke tujuan. Kebersamaan, meski baru sekali bertemu, membuat perjalanan ini pantas dikenang seumur hidup.
Semoga saja pemerintah daerah membenahi akses menuju pulau, karena Dangar Ode begitu layak menjadi salah satu destinasi utama Pesona Indonesia di Sumbawa. Keindahan bawah laut, dan panoramanya kelas satu, ditambah ketenangan yang semakin sulit didapatkan di dunia yang penuh dengan hiruk-pikuk.
PS:
Terima kasih kepada teman-teman Adventurous Sumbawa yang sudah memberiku kesempatan berkenalan dengan kalian. Foto-foto di atas juga dari Adventurous Sumbawa.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *